Setelah memastikan bahwa Dahlia masuk kamar kembali, aku pun kembali ke meja makan untuk melanjutkan makan malamku.Hingga pukul sembilan malam aku baru selesai, setelahnya aku langsung masuk ke kamar sembari merebahkan diri. Tidak lupa sebelumnya kucuci piring kotor bekas makanku. Kembali bayangan siksaan Rowena pada Amel.Seketika aku terbangun, beranjak dari ranjang ke nakas. Kuambil tablet obat dan mengeluarkan satu untuk dimasukan ke dalam mulut. Tanpa air aku menelannya, lantas kembali naik ke ranjang dan merebahkan diri."Semoga obat ini bekerja dengan baik hingga membuatku besok segar dan fit," doaku dalam hati.Tak henti aku memandang handphone di atas nakas, namun aku menghela napas karena sampai sekarang Frans tak kunjung meneleponku balik. Lelah aku menunggu, akhirnya tubuhku membuat keputusan untuk tidur. Aku ketiduran. Mungkin juga efek dari obat yang kuminum.Keesokan harinya, aku bersiap ke toko. Kali ini aku tidak jualan nasi pecel di depan gang, Andin melarangku. Ka
Langsung aku menuju tombol dial hijau. "Frans!"Tak lama setelahnya, suara Frans menginstrupsi. Aku lekas membalas dengan terburu-buru seakan masalahku sangatlah mendesak. Suaraku itulah yang membikin Frans turut khawatir seperti halnya respon Andin."Ada apa denganmu, Sayang? Maaf jika aku lama merespon semua panggilan dan chat yang kamu kirim. Aku sedang ada operasi besar. Sekali lagi maaf!" pinta Frans yang tidak lupa dengan kata sayangnya."Hallo, Frans. Maaf ganggu kamu, aku cuma mau minta tolong sebentar sama kamu," tuturku ngos-ngosan, seperti kereta api aku sampai lupa bernapas kala berbicara."Tetapi bisakah kamu panggil aku tanpa kata sayang?" ucapku dengan nada cemberut."Hallo juga. Maaf untuk kata itu aku tidak bisa membuangnya, Mbakku Sayang," tuturnya yang kubalas dengan helaan napas berat."Hai, ada apa, Mbak?" tanya Frans kemudian.Dia tampak panik karenaku, apalagi dari semalam aku meneleponnya. Aku turut mendengar seseorang memanggil Frans yang mana hanya dibalas ka
Aku meminta Frans untuk memberiku kabar tentang Amel, istilahnya memantau gadis itu karena Rowena bisa kapan saja melakukan hal di luar perkiraan."Oke, tenang. Aku akan berusaha memantau mereka tanpa sepengetahuan. Beri aku waktu dua hari, akan kukabari setelah aku mengetahui kabar mereka berdua," tutur Frans berjanji.Aku mengangguk mengiyakan, sedikit bernapas lega. Aku sangat berterima kasih padanya. Mungkin setelah ini aku bisa sejenak tenang karena yakin Frans bisa mengatasi."Terima kasih, Frans. Maaf membuatmu repot," tuturku."Tidak mengapa, Mbak. Amel juga adikku," balas Frans lanjut menutup telepon setelah aku memintanya.Bergegas aku memasukan _handphone_ ke dalam tas. Langkah lebarku mengarah ke luar rumah, mengeluarkan motor dan bersiap melaju ke toko.Sesampainya di sana aku mendapati Andin membuka pintu toko, tak lama setelah itu karyawan lainnya menyusul. Kamipun masuk bersama-sama.Segera aku membagi tugas, masing-masing dari mereka memegang satu tugas. Sebelum itu a
Sudah hari ketiga semenjak Frans berjanji akan memberitahuku kabar tentang Yoga dan Amel, namun tak kunjung mendapat kabar dari pria itu. Hatiku resah.Dari raut wajahku tampak tidak baik-baik saja, Andin menangkap itu. Tetapi dia enggan menganggu pikiranku dengan tetap bekerja di sekelilingku. Sesekali aku membantu, walau aku lebih banyak duduk di bangku kasir.Karena sekali aku membantu maka aku akan menghancurkannya. Seperti saat ini contohnya.Aku tengah berkutat dengan adonan dan cetakan, karena cukup ramai sebagian karyawan kuwalahan hingga aku turun tangan."Bu Anna kenapa?" tanya salah satu karyawan seraya menunjuk kearahku. Dia mengatakannya pada Andin.Aku bisa mendengar karena memang jaraknya tak terlalu jauh. Namun, aku tidak marah karena keadaanku memang patut dikhawatirkan.Sudah tiga hari dan Frans belum memberiku kabar, sekalipun aku mengirim pesan dan sesekali menelepon jawabannya tetap sama, "maaf, Mbak. Belum ada kabar." Bagaimana aku bisa tenang?"Em ... Mbak, kue
Sudah tujuh hari aku menanti dengan hati gundah gulana hingga pada akhirnya menemukan ujung yang baik. Tepatnya saat aku tengah menjaga toko terdengar nada dering sebuah panggilan yang sangat aku hapal lagunya. "Mungkinkah itu panggilan berasal dari Frans?" gumamku.Setengah malas aku melangkah ke meja kasir untuk mengambil ponsel, wajahku mendadak tegang tatkala membaca nama kontak yang muncul di layar. Frans. Pria itu meneleponku.Tak butuh waktu yang lama hanya sekadar untuk berpikir aku langsung menekan dial hijau. "Hallo, Frans," sapaku sedikit menjerit.Tak bisa dipungkiri, aku penasaran dan takut. Semua rasa berbaur menjadi satu membuat tapak tanganku bergetar, ponsel yang aku pegang pun ikut bergoyang."Hallo, Mbak. Maaf sebelumnya, alhamdullilah aku sudah menemukan kabar Amel," ujar Frans membuat hatiku lega.Mulutku seketika membuka lebar, gegas kututup dengan tapak tangan kiriku. Sedangkan tangan kananku memegang ponsel yang menempel di telinga, suara Frans sedikit bergel
"Aku akan mengeceknya di terminal, berharap Amel berada di sana," lanjutnya membuatku sadar."Bukankah sudah lewat hari, Frans? Memangnya kapan si Amelnya kabur?" tanyaku."Pagi buta tadi, dia hanya berbekal uang tabungannya berkisar seratus ribu dan beberapa pakaiannya," jawab Frans.Aku terdiam membayangkan putriku yang pergi hanya berbekal uang seratus ribu, mungkin uang itu cukup untuknya sampai di Kota Madiun. Pikiranku melayang tidak karuan, entah apa yang terjadi dengan perjalanan Amelia. Semoga engkau selamat tidak kurang suatu apapun, Nak. Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu."Aku akan menunggu kabar darimu, Frans!" kataku tegas."Tunggu, ini aku sedang dalam perjalanan menuju terminal Bungurasih," balas Frans yang kudengar suara klakson saling bersahutan.'Baiklah, aku tunggu!" Hening. Frans, hanya kudengar mengembuskan napas kasarnya berulang kali. Sama halnya denganku yang tidak bisa tenang. Hatiku kembali gundah. Pikiranku terus melayang, sepertinya aku harus segera
Amel masih kecil untuk berpergian jauh tanpa orang tua di sisinya, bahkan sampai ke Madiun dengan transportasi bis."Madiun keras, Din. Aku takut dia kenapa-kenapa," ujarku tak sepenuhnya salah. Andin tidak membantah dia menyetujuiku._Tring!_Dering ponsel yang sama menginstrupsi aku dan Andin. Frans meneleponku. Dengan gesit aku menjawab telepon."Amel gimana, Frans?" tanyaku drngan khawatir."Maaf, Mbak. Aku sudah berkeliling di terminal, Amel sama sekali nggak ada di sini," tuturnya mengagetkanku.Tubuhku yang semula berdiri sangking khawatir, sontak jatuh ke kursi dengan lemas. Andin turut menghela napas sembari beristigfar, dia mendengarnya karena aku membuka suara dari seberang."Terus gimana?" tanyaku frustasi. Tak bisa lagi aku berpikir jernih, yang ada di pikiranku sekarang adalah kemungkinan-kemungkinan buruk."Mbak tenang dulu, aku akan berusaha mencari lagi. Mbak jangan stress!" tekan Frans memberiku nasehat.Aku tak menghiraukan, mataku seketika kosong. Tak kuangap suara
Aku semakin hancur. Perasaan gelisah dan khawatir yang semula reda kembali menikam tubuhku. Aku tidak bisa lagi berpikir otakku kosong dan pandanganku tak menemukan cahaya.Andin menatapku lekat, dia tidak berhenti memperhatikan selepas telepon terakhir dari Frans. Entah apa yang dia pikirkan, aku tidak tahu persis.Sampai sore hari tiba, waktunya toko menutup gerai aku tak berniat beranjak sekalipun beberapa karyawan berpamitan padaku seraya mengajakku pulang bersama. Namun, aku enggan. Seakan akan suatu waktu Amelia akan berlari memanggilku lalu memeluk tubuh ini.Semua karyawanku masih saling berbisik, lebih tepatnya aku tidak tahu apa yang mereka katakan, yang kurasakan hanya suara mereka masuk ke telinga kiri kemudian keluar dari telinga kanan. Begitu terus. Sampai akhirnya tubuhku terhuyung ke depan hingga terantuk pinggiran meja.Seketika aku terhenyak dari pikiran panjang yang menyesatkan. Masih untung ada Andin yang mampu gerak cepat dalam menangkap limbungnya tubuhku. Aku h