Safiyya melangkahkan kaki masuk ke apartemen Nalen dengan perasaan ragu. Di sampingnya Kalyra tetap keukeuh membawanya ke sini meski Safiyya terus menolak. Jalan pikiran sepupu Nalen memang susah sekali ditebak."Kaly, apa ini tak masalah? Aku takut Nalen marah karena aku belum izin padanya."Kalyra memutar mata jengah. "Siapa yang peduli. Kau kan istri Nalen, jadi lebih berhak hilir mudik di sini daripada si Jalang itu," ujar Kalyra meyakinkan.Tak berapa lama mereka pun akhirnya sampai di unit apartemen Nalen. Safiyya sempat merasa takjub dengan bangunan dalam dan interior mewah di penthouse itu. Bergaya modern klasik dengan dominasi warna coklat dan krem. Selama dirinya dengan Nalen, sang suami memang belum pernah mengajak Safiyya ke sini. Karena setahunya penthouse ini memang jarang ditempati. Nalen lebih sering pulang ke rumah Safiyya atau ayahnya."Sini aku bantu membawa semua barangmu. Sebentar lagi Nalen pulang kita akan menyiapkan makanan untuknya," sambung Kalyra lalu berlal
Safiyya menyeret kopernya keluar dari kamar Nalen. Ia memutuskan akan tidur di kamar lain setelah tahu bahwa kamar itu ditempati suaminya."Kamu kenapa keluar kamar sambil bawa koper, Safiyya?" tanya Kalyra.Safiyya terdiam sejenak. "Aku nggak akan tidur di sana. Itu kamar Nalen. Biar aku tidur di kamar lain saja sama Nafis. "Tidak, ini kamar kamu juga. Jadi jangan coba-coba keluar dari sini. Lagi pula Nafis bisa tidur denganku.""Tapi-""Tak ada tapi-tapi. Kalau kamu keluar dari kamar ini, Anna bisa saja tiba-tiba menyelinap masuk lalu memaksa suami mu untuk bercinta dengannya. Kamu jangan bodoh, Safiyya. Aku sengaja mengajakmu ke sini demi menghindari ini semua."Safiyya diam sejenak, perkataan Kalyra memang benar. Anna tak akan puas sebelum keinginannya terkabul. Safiyya pun akhirnya mengangguk, dan kembali membawa barang-barangnya masuk.Begitu ia meletakan koper di dekat ranjang, Nalen tiba-tiba keluar dengan handuk di kepala. "Maaf, karena masuk ke kamarmu tanpa izin. Kalyra men
Maira menilik jam di pergelangan tangannya dengan gelisah. Sudah sekitar lima belas menit ia menunggu seseorang yang memintanya untuk datang. Tak berapa lama Kalyra terlihat masuk ke restoran. Maira melambaikan tangan saat melihat wanita itu memindai seluruh sudut ruangan untuk mencarinya. Kalyra pun tersenyum saat melihatnya."Apa kau sudah lama menunggu?" tanya Kalyra, lalu duduk di depan Maira."Nggak terlalu, ngomong-ngomong di mana putramu?" tanya Maira saat ia tak mendapati ada si kembar."Ah, mereka aku titipkan pada asisten rumah tangga Safiyya. Kamu ke sini sendiri, kan?""Ya, tadinya aku mau mengajak Safiyya ikut makan siang bersama. Tapi katanya dia ada kunjungan lapangan dengan Pak Yusuf keluar kota."Kalyra mengangguk paham. "Aku perhatikan Yusuf memiliki perasaan khusus pada Safiyya, benar, kan?"Maira diam sejenak mendengar pertanyaan itu. "Yah, sepertinya begitu dari cara Yusuf menatap Safiyya. Tapi mereka berdua belum pernah mengakuinya secara langsung.""Apa kau baik
Safiyya menjatuhkan diri di kursi ruang tengah dengan lelah yang mendera. Wanita itu baru saja pulang usai melakukan perjalanan dinas ke luar kota sejak tiga hari lalu. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam saat ia sampai. Meski terkantuk-kantuk, ia tetap ingin menemui Nafis lebih dulu. Putrinya tentu saja sudah terlelap. Setalah merasa cukup ia pun kembali ke kamarnya."Apa yang sebenarnya terjadi selama aku di Surabaya, Mbak?" Gibran tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar sang kakak. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Safiyya kaget. Sebab sang adik tak mengatakan akan pulang ke Jakarta. "Gibran, kamu kapan datang? Kenapa nggak bilang sama Mbak."Gibran memutar mata jengah karena Safiyya terkesan menghindari pertanyaannya. Laki-laki bertubuh jangkung tersebut lalu berjalan menghampiri wanita di depannya dan duduk di tepi ranjang. "Apa ada yang Mbak sembunyikan?" ulang Gibran.Safiyya menatap Gibran sejenak, lalu menggeleng lemah. Dari ekspresi itu saja, Gibran tahu bahwa kakanya
Maira terlihat duduk dengan gelisah di sebuah restoran. Ia melihat ke arah pintu masuk berkali-kali. Berharap orang yang ia tunggu segera datang."Kenapa gugup sekali," gumam Maira sambil meggerak-gerakan kakinya gelisah.Tak berapa lama, Yusuf telihat masuk ke sana bersama orang tuanya. Maira pun menarik napas saat ketiganya semakin dekat."Siang, Umi, Abi," sapa Maira ramah. Lalu memcium punggung tangan mereka."Kamu pasti sudah lama menunggu, ya?" tanya Fatimah, ibu Yusuf, memeluk Maira.Maira tersenyum canggung lalu melepas pelukan. Ia lebih dulu menarik kursi untuk ibu Fatimah."Nggak kok, Umi. Baru beberapa menit lalu," jawab Maira lalu duduk di samping Yusuf.Setelah saling menyapa, mereka pun langsung memesan makanan."Kata Yusuf kamu asli Jogja, ya?" Ahmad, ayah Yusuf, memulai obrolan di tengah acara makan.Maira pun menghentikan kunyahan lalu mengangguk. "Ya, Bi. Kebetulan Maira asli sana. Tapi memutuskan ke Jakarta karena ingin mencari pengalaman," jawab Maira apa adanya."
"Saf, kamu di mana?" tanya Maira di seberang sana."Kami sedang berjalan-jalan di pantai sebentar,"Jawaban Safiyya membuat Maira berdecak kesal. "Tadinya aku ingin memberi tahumu kalau kami menguntit Anna. Dia tadi bertemu seseorang di mall TA."Safiyya mengernyitkan dahi, ia mengingat kembali saat tak sengaja melihat Anna di mall itu. Wanita dengan terusan berwarna hitam dan hijab krem itu melirik Nalen yang tengah berlarian di pantai dengan Nafis. Tenyata suaminya tak berbohong."Saf, kok diem?""Nggak, aku tadi juga melihatnya di sana. Aku pikir dia ingin bertemu Nalen. Tapi ternyata Nalen nggak bohong.""Bentar-bentar bukannya kamu bilang lagi di pantai? Kapan kamu ke mallnya? Sama Nalen?"Safiyya menghembuskan nafas. Ternyata berbohong pada Maira hanya akan sia-sia. Wanita itu terlalu pintar untuk dibodohi. "Aku tadi nggak sengaja bertemu dengan Nalen di sana.""Terus akhirnya kamu mau aja, gitu, diajak pergi sama dia ke pantai?" Maira terdengar kesal di seberang sana. Ia tak ha
Nalen terlihat tengah membereskan ranjang usai membersihkan diri. Ia sengaja menunggu Safiyya kembali lagi ke kamarnya setelah pamit keluar dengan canggung. Nalen tahu Safiyya pun tengah bimbang.Tak berapa lama, pintu kamarnya terdengar dibuka. Nalen yang masih asyik membereskan tempat tidur dengan posisi memunggungi pintu akhirnya hanya bergumam. "Katanya nggak mau tidur di sini?" guraunya, karena ia mengira itu adalah Safiyya.Tak berapa lama, sebuah tangan pun melingkar di pinggangnya. "Kamu juga kangen sama aku, kan? Ngaku ka-" Nalen memotong kalimatnya begitu memutar tubuh dan mendapati Anna lah yang memeluk.Belum sempat selesai dengan keterkejutannya, Anna tiba-tiba membuat Nalen syok. Wanita itu melumat bibirnya dengan paksa. Bahkan seolah tak membiarkan Nalen menolak, Anna langsung mendorong tubuh Nalen ke ranjang. Lalu menindihnya dan terus berusaha mencumbi Nalen. Lalu tepat saat itu, Safiyya dan Nafis muncul."Itulah fakta yang sebenarnya terjadi, Safiyya. Nalen memang ng
"Bagaimana, apa Anda menerima tawaran saya, Dokter?" Kalyra menatap laki-laki berwajah oriental di depannya dengan tangan menyilang ke dada.Laki-laki bernama Adrian itu menatap Kalyra lalu berdecak. Sepertinya wanita asing di depannya adalah musuh Anna, batin Adrian menerka-nerka. "Aku sudah cukup lama dibayar oleh Anna untuk melakukan pekerjaan ini. Aku tahu ini semua melanggar kode etik profesi ku, tapi aku tak memiliki pilihan."Kalyra menatap laki-laki itu angkuh, lalu merogoh tas untuk mengambil sesuatu. "Ambil itu sebagai uang muka. Jika kau bersedia menuruti perintahku, aku akan membayarmu dua kali lipat dari yang dijanjikan Anna." Kalyra menyodorkan amplop coklat di tangannya pada Adrian.Ada hening sejenak, Kalyra membiarkan laki-laki di depannya berpikir lebih dulu. "Permintaanku gampang. Ceritakan awal mula kamu kenal Anna. Lalu setelahnya kamu hanya perlu merekam semua pembicaraanmu dengan Anna jika kalian bertemu dan kirim hasilnya padaku untuk diberikan padanya nanti s