Disya bukan sengaja memberi tahu Alif tentang hubungan Disya dan Devan yang adalah mantan pasangan suami istri untuk membuat Alif membencinya—ia hanya mengatakan yang sebenarnya tentang masa lalunya. Alif memutuskan untuk bersama Disya, mengambil hati Disya, menjalin hubungan dengan Disya—itu artinya Alif harus mengetahui tentang ini, Disya tidak ingin ada rahasia yang disembunyikan. “Jujur gue kaget, Sya. Tapi... thanks udah mau jujur sama gue. Ngga heran sih hubungan lo sama Pak Devan udah terlalu jauh banget ya dulu, lo sama Kai aja deket banget keliatannya.” “Gue ngga masalah, Sya. Itu bagian dari masa lalu lo sama Pak Devan. Gue ngga akan kepo dan maksa lo cerita tentang kenapa lo sama Pak Devan pisah, tapi barangkali lo mau cerita sama gue, gue akan siap dengerin.” Positif sekali Alif ini ‘kan? Dia menjawab seperti itu tentang pernyataan Disya sebelumnya. Entahlah Disya harus bersyukur atau bagaimana tentang ini. Mobil gray civ
H-3 menuju acara pernikahan Samudra dan Naya—semua orang semakin sibuk berkali-kali lipat dari hari sebelumnya. Walaupun acara sudah diserahkan kepada tim wedding organizer untuk mengurus segalanya, tetapi tetap saja yang namanya orang tua akan tetap menyibukkan dirinya sendiri—ada saja yang dikerjakan, dikhawatirkan ada yang kurang atau tidak sesuai keinginan untuk acara nanti.“Katanya mereka ini ngga mau hadir di acara nanti—kita sudah menawarkan sejak awal, mereka menolaknya, tetapi sekarang tiba-tiba menanyakan kapan pakaian mereka akan dikirim?!” Gina menunjukkan layar handphonenya kepada Dina dan Doni dengan wajah kesal.“Siapa itu? Mba Yanti?” tanya Dina memastikan.“Ya mereka-mereka itu Mba, belum anak-anak, dan menantunya!” balas Gina frustasi.Dina menampilkan senyum manis di bibirnya, mengelus bahu Gina pelan. “Yasudah mau gimana lagi, bersyukur mereka berniat akan datang—”“Pakaiannya, Mba? Masa mau dibuat dadakan sih?” gerutu Gina.“Masih ada waktu tiga hari, Na....”“Ka
“Oh shit!” Devan mengumpat. Memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, mematikan mesin mobil, lalu membuka pintu mobil untuk ke luar setelah sebelumnya melepaskan safety belt yang dipakainya, melangkah mengecek ban mobil bagian belakang.Menatap ke sekeliling, untuk memastikan tidak ada orang mencurigakan yang sudah menunggunya. Devan bisa melihat ban mobilnya bocor disebabkan oleh ranjau paku yang sepertinya memang sengaja disebar di jalanan sepi ini—bisa jadi yang menyebar ranjau adalah para pelaku begal yang berniat jahat, tetapi beruntungnya Devan tidak menemukan seseorang yang menghampirinya dengan mencurigakan.“Kenapa, Pak Devan?” tanya Disya yang sudah berada di sampingnya, sesekali matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan takut-takut—ini sudah malam, jalanan yang dilaluinya juga sangat sepi sekali, Disya takut.“Bannya bocor, saya akan menelepon—”“Apa?!” teriak Disya sangat kenecang sekali, memotong cepat penjelasan Devan. Memejamkan mata dengan bibir yang dikerucutkan sed
“Udah ngga papa, Pak. Tempatnya bersih kok—” jelas Disya ketika melihat Devan tidak juga melangkah masuk ke dalam kamar, hanya berdiri dengan pandangan mengedar menatap sekeliling dengan ekspresi tidak suka.“Pak Devan bakalan baik-baik aja kok, ayo masuk!” ajak Disya lagi.Devan beralih menatap Disya yang sudah melangkah duduk di pinggiran kasur, sibuk mengeluarkan handphone dan chargerannya dari dalam tas. Benar! Akan baik-baik saja karena Devan bersama Disya di sini. Melangkah masuk menghampiri Disya, Devan terus memperhatikan perempuan di depannya.“Pak Devan juga mau charger handphone kan?” tanya Disya mendongak menatap Devan, detik berikutnya memperhatikan kembali sekitar mencari stop kontak lainnya yang ada di kamar ini— “Stop kontaknya cuman satu ya?” tanya Disya karena tidak menemukan stop kontak lainnya, hanya ada satu menempel di dinding dekat meja nakas samping tempat tidur.“Handphone kamu saja dulu, biar bisa hubungi orang rumah, Alif juga pasti khawatir.”Ekspresi wajah
Membuka matanya perlahan sesaat setelah merubah posisi tidurnya karena merasakan cahaya masuk melalui celah jendela kamar. Mengerjap pelan, Disya bisa merasakan perih di kedua matanya, menghembuskan napas pelan sembari menarik selimut hingga ke leher.Menatap sekeliling kamar, hening dan sepi, tidak ada siapapun di kamar itu selain Disya. Tidak berpikir Devan meninggalkannya sendirian karena jas milik lelaki itu masih berada di atas bean bag. Matanya melirik ke arah jam dinding tua yang menempel di dinding, matanya membelalak terkejut, buru-buru menyibakkan selimut lalu turun dari kasur.“Ih Pak Devan kok ngga bangunin, sih?” cerocos Disya karena kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Mondar-mandir sambil menggaruk kepalanya, Disya bingung apa yang harus ia lakukan—handphone—Disya menatap handphonenya yang berada di atas atas nakas, charger masih menempel, yang artinya handphonenya sedang diisi daya.Seratus persen, daya baterainya sudah penuh—sudah pasti Devan yang melakukan
Berhenti berdebat di depan meja resepsionis ketika seorang lelaki tua datang dengan membawa dua mangkuk bubur ayam pesanan Samudra sebelumnya. Jangan kira perdebatan mereka berhenti begitu saja—perdebatan itu dilanjut saat keempatnya masuk ke dalam salah satu kamar yang ditempati Samudra dan Naya semalaman.Disya menjelaskan keseluruhan cerita tentang bagaimana pada akhirnya ia dan Devan bisa bermalam di tempat ini—tidak ada kebohongan sedikitpun, diawali ketika keduanya yang menghadiri acara pertemuan para wali murid di sekolah Kai, dilanjut mengunjungi resto milik salah satu wali murid untuk dinner, saat di perjalan pulang mereka harus menggunakan maps untuk petunjuk jalan karena ada perbaikan jalan di beberapa jalanan yang akan mereka lalui, dan berujung terjebak di tempat ini karena ada masalah dengan mobil yang dikendari keduanya.Melingkarkan tangannya di lengan Samudra. “Abang... Disya beneran jelasin yang sebenarnya kok,” kata Disya kembali meyakinkan, ketika Samudra masih men
Melangkahkan kakinya dengan tergesa di lorong rumah sakit, manik matanya dengan teliti mencari nama ruangan yang akan dikunjunginya. Karena langkahnya yang terburu-buru, perempuan itu bahkan sampai menabrak beberapa pekerja, maupun pengunjung di sana.‘Paviliun Amarta’Disya menemukan ruangan yang sedang dicarinya—tanpa banyak berpikir ia langsung membuka pintu di depannya bahkan tidak mengetuk terlebih dahulu. Membuat beberapa orang yang ada di dalam langsung menatap ke arahnya.“Hah... hah...,” Menghembuskan napas panjang karena bagaimanapun ia sampai di ruangan ini dengan tergesa, juga jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya karena rasa khawatir—tetapi tunggu—“Dio!” Perempuan itu ingin berteriak memanggil nama salah satu temannya, tetapi masih ia coba tahan karena mengingat ini adalah rumah sakit, walaupun begitu Disya sudah melotot kesal, tangannya mengepal ketika melihat lelaki itu sedang asyik menyantap pizza bersama dengan teman-teman yang lain—termasuk Alif—lelaki
“Disya?”Menggigit bagian bawah bibirnya sembari memejamkan matanya perlahan. Disya rasanya ingin menghilang ketika suara itu terdengar memanggil namanya—salah satu suara yang selama seharian ini coba ia hindari.“Kamu menghindari kami?”Membalikkan tubuhnya dengan pelan, Disya berusaha menampilkan senyum lebar ketika ia sudah menatap beberapa orang yang duduk di salah satu meja VVIP yang tersedia. “Oma Nia..,” sapa Disya mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan perempuan tua yang sedang duduk menatapnya dengan tatapan angkuh. “Disya dari pagi sibuk ngurus beberapa hal, jadi baru bisa nyapa sekarang, maaf ya Oma, Om, Tante..,” lanjutnya.“Mau taruhan ngga, pernikahan Samudra sama salah satu keluarga Ganendra hanya bertahan beberapa tahun?” tanya Angelina menatap keluarganya yang juga sedang duduk mengitari meja dengan senyum miring.“Dua tahun? Satu tahun?” Azura menebak.“Mending kalau nyampe tahunan, siapa tahu bertahan cuman beberapa bulan doang?” Vita—perempuan berambut