Devan menatap cermin sembari mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk agar kering. Sebuah senyuman kecil tercetak begitu saja ketika kembali mengingat pertemuannya dengan Disya tadi. Tentu saja Devan merasa sangat senang ketika melihat dilayar ponsel tertera nama Disya yang menghubunginya.Sedikit terkejut ketika melihat ada Naya bahkan Samudra saat Devan sampai di store.Canggunng.Itu yang Devan rasakan, sepertinya Disya juga—bahkan mantan istrinya terlihat sangat canggung, dan seperti sedang mengalami perasaan yang tidak baik. Apa bertemu dengan Devan berdampak buruk untuk hati Disya? Sepintas pemikiran itu melintas di kepalanya. Namun dia mencoba menepisnya, ya bagaimanapun Disya sendiri yang menghubunginya dan memintanya untuk datang ke store. Tapi, mungkin itu hanya akal-akalan Naya saja, meyuruh Disya untuk menghubunginya—itulah alasan wajah Disya tampak muram? Devan terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang jauh pemikiran-pemikiran yang ada di kepalanya.Keluar
"Mau buat apa?" tanya Disya menatap Devan yang masih berdiri di dekat tangga.Kai sudah pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian, meninggalkan Disya dan Devan di ruang tengah."Hanya nasi goreng," jawab Devan seadanya.Disya mengangguk."Kai mau sama kamu. Jadi, saya membuat nasi goreng untuk sarapan. Setidaknya kami sarapan bersama-sama sebelum Kai pergi ke rumah kamu, Sya."Disya bangun dari duduknya, berjalan menuju ke arah dapur yang tentu dibuntuti oleh Devan. Menatap isi dapur yang luar biasa berantakan, Disya tentu saja menganga melihatnya. "Ya ampun, berantakan banget," komentar Disya tanpa mengalihkan pandangan ke arah Devan, matanya masih menatap keadaan dapur.Devan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Ya... saya buruk dalam memasak sepertinya."Disya menghela napasnya, menatap Devan dengan tatapan kesal. "Ya buruk sekali."Devan mengulum bibirnya, menatap Disya dengan tatapan bersalah. Disya yang melihat Devan seperti itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya
Kai tertunduk dalam, enggan menatap wajah Devan yang ada di hadapannya. Kedua lelaki berbeda usia itu sedang duduk berhadapan di ruang kerja Devan. Beberapa menit yang lalu, Disya beserta teman-teman Kai sudah pergi meninggalkan rumah."Kenapa menunduk, Kai? Merasa melakukan kesalahan?" tanya Devan menatap putranya dengan tatapan yang sebenarnya menurut Devan sendiri tatapan biasa—namun tidak menurut Kai. Tatapan Devan sangat amat serius.Kai memberanikan diri, mengangkat wajahnya, menatap Devan. "Tidak!" Kai menggeleng berucap dengan tegas."Jawab dengan jujur pertanyaan Daddy, oke!"Lagi-lagi Kai mengangguk."Kamu tidak merasa melakukan kesalahan?" "Tentang apa, Dad?"Devan terlihat menghela napasnya pelan. "Tentang hari ini."Kai menatap Devan dengan wajah merajuk. "Tentang apa? Tentang aku yang minta Mommy datang ke sini? Tentang aku yang mengajak Mommy jogging sama kita? Atau tentang teman-temanku yang datang ke rumah untuk memakan kue buatan Mommy?"See, Kai bahkan menyebutkan s
"Naya tidak jadi kembali ke Lampung?"Maya mengangguk, tersenyum menjawab pertanyaan putra sulungnya. "Mamah seneng banget, Dev...."Devan juga tidak kalah senang mendengar berita itu. Setelah selesai mengantar Kai ke sekolah, Devan langsung mengunjungi rumah kedua orang tuanya, apalagi ketika mengetahui jika adiknya memutuskan untuk kembali tinggal di rumah."Naya di kamar?"Maya menggeleng. "Nay ada di halaman samping."Wajah Maya yang jelas sekali perubahannya itu menimbulkan tanda tanya di kepala Devan ketika berbicara soal Naya. "Kenapa, Mah?"Maya menatap Devan. "Mamah rasa Naya benar-benar berubah, Dev."Devan mengernyit masih berusaha memahami kenapa Mamahnya bisa berpikiran seperti itu."Naya memang masih ceria seperti dulu saat mengobrol bersama Mamah, Papah. Tapi... kadang Mamah merasa keceriaannya seperti dibuat-buat. Naya lebih suka menghabiskan waktunya sendirian di kamar. Kamu tahu sendiri kan dulu Naya sangat suka main dan berkumpul dengan teman-temannya, teman Naya se
"Bunda...." Disya menyembulkan wajahnya dibalik pintu kamar, setelah sebelumnya mengetuk pintu."Ada apa sayang... sini masuk!"Disya melengkah masuk, dan duduk di tepi kasur tepat di samping Dina."Sedang apa, Bunda?"Dina terkekeh, perempuan itu menunjukkan layar ponselnya kepada Disya. "Kamu ingat Anton? Anak panti yang pernah kamu bilang menyebalkan dan sedikit tidak pintar itu—""Anton yang bodoh itu?""Sya?" Dina menatap putrinya memperingati, padahal ia sudah menggunakan bahasa yang lebih enak di dengar, tapi Disya malah berbicara seperti itu."Iya maaf... kenapa Anton?""Dia dapat nilai seratus di ulangan matematikanya, lihat dia meminjam handphone Mba Kanti buat kirim fotonya ke Bunda," jelas Dina menunjukkan foto yang dikirim oleh seseorang yang sedang dibicarakan.Disya menyunggingkan senyumnya. "Sepertinya ia sangat bekerja keras."Dina mengangguk. "Oh iya, ada apa sayang? Butuh sesuatu?" Dina bertanya tentang tujuan Disya yang datang ke kamarnya."Disya ijin pergi hari in
"Saya tidak pantas berjuang untuk kembali menjadikan kamu istri saya, Sya."Lelaki itu mengatakan dengan nada sangat lirih, menatap Disya yang sedari tadi hanya diam menundukkan wajahnya."Saya jahat sekali ya... bahkan harusnya saya tidak pantas berada di depan kamu saat ini.""Kamu pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik, yang lebih bisa menghargai dan mencintai kamu, yang paling penting lelaki itu harus bisa selalu membahagiakan kamu... selalu."Semangat juga tekad yang sangat berkobar ketika Diky dan Naisya menyemangatinya untuk mendapatkan kembali hati Disya, entah mengapa semakin ciut saja setiap harinya. Bayangan Disya yang menangis sesenggukkan di hadapannya, bayangan Disya yang menangis histeris di pelukan Dina sembari berbicara bahwa Disya ingin bercerai dengannya. Semuanya masih terekam jelas di kepala Devan, membayangkannya saja membuat denyut nyeri di dadanya. Itu lebih terasa menyakitkan dibanding saat Naisya meninggalkannya beberapa tahun silam."Saya tidak akan berju
Cinta itu buta?Sepertinya kalimat seperti itu sudah sering sekali di dengar atau dibaca oleh banyak orang. Kenapa bisa disebut seperti itu? Disya juga salah satu orang yang bertanya-tanya tentang itu.Yang ia tahu... Devan adalah seorang laki-laki yang berhasil bersemayam di hatinya. Kenapa? Jika ada yang bertanya seperti itu, Disya juga tidak mengerti.'Bukankah cinta juga tidak mengenal alasan apapun?'Benar. Kesalahan Devan memang tidak pantas untuk dimaafkan, lelaki itu sudah sangat jahat sedari awal, menjadikan Disya alat untuk balas dendam, namun ujung-ujungnya Disya yang disakiti, dan di selingkuhi. Bahkan, calon buah hati mereka pergi meninggalkan mereka tanpa diketahui kehadirannya sebelumnya.Harusnya Disya bisa membuka hati, mencari lelaki yang jauh lebih baik sebagai pengganti Devan. Namun, itu sangat sulit sekali. Disya hanya mencintai Devan."Pak Devan pelet Disya ya?"Devan yang baru selesai memarkirkan mobilnya di parkiran rumahnya, lansung mengalihkan pandangannya se
"Saya masuk saja ya, Sya?"Disya menggeleng dengan bibir yang dikerucutkan. "Antar Disya sampai di sini saja, Pak Devan langsung pulang saja ya....""Kamu tadi di jemput saya, Bunda juga sudah tahu kamu pergi dengan saya. Saya justru merasa tidak enak jika tidak berpamitan dengan Bunda."Lagi-lagi Disya menggeleng, tidak mengijinkan Devan untuk masuk ke dalam rumahnya. Saat ini, mereka berdua masih berada di dalam mobil, mobil milik Devan terparkir cukup jauh dari rumah Disya—terparkir tepat di rumah keempat dari sebelah kanan rumah Disya. Devan berniat untuk mengantar Disya sampai masuk ke dalam rumah, lelaki itu juga berniat akan menemui dulu kedua orangtua Disya dengan maksud menyapa dan sekedar basa-basi—maksudnya tidak mungkin 'kan Devan mengantar Disya tapi tidak ada omongan apapun kepada kedua orang tuanya?"Pak Devan pulang saja ya. Dan... tentang hubungan kita, bisa tidak jika kita merahasiakannya dulu?" Saat mengatakan kalimat itu, Disya menundukkan wajahnya dalam, dengan ja