Kai tertunduk dalam, enggan menatap wajah Devan yang ada di hadapannya. Kedua lelaki berbeda usia itu sedang duduk berhadapan di ruang kerja Devan. Beberapa menit yang lalu, Disya beserta teman-teman Kai sudah pergi meninggalkan rumah."Kenapa menunduk, Kai? Merasa melakukan kesalahan?" tanya Devan menatap putranya dengan tatapan yang sebenarnya menurut Devan sendiri tatapan biasa—namun tidak menurut Kai. Tatapan Devan sangat amat serius.Kai memberanikan diri, mengangkat wajahnya, menatap Devan. "Tidak!" Kai menggeleng berucap dengan tegas."Jawab dengan jujur pertanyaan Daddy, oke!"Lagi-lagi Kai mengangguk."Kamu tidak merasa melakukan kesalahan?" "Tentang apa, Dad?"Devan terlihat menghela napasnya pelan. "Tentang hari ini."Kai menatap Devan dengan wajah merajuk. "Tentang apa? Tentang aku yang minta Mommy datang ke sini? Tentang aku yang mengajak Mommy jogging sama kita? Atau tentang teman-temanku yang datang ke rumah untuk memakan kue buatan Mommy?"See, Kai bahkan menyebutkan s
"Naya tidak jadi kembali ke Lampung?"Maya mengangguk, tersenyum menjawab pertanyaan putra sulungnya. "Mamah seneng banget, Dev...."Devan juga tidak kalah senang mendengar berita itu. Setelah selesai mengantar Kai ke sekolah, Devan langsung mengunjungi rumah kedua orang tuanya, apalagi ketika mengetahui jika adiknya memutuskan untuk kembali tinggal di rumah."Naya di kamar?"Maya menggeleng. "Nay ada di halaman samping."Wajah Maya yang jelas sekali perubahannya itu menimbulkan tanda tanya di kepala Devan ketika berbicara soal Naya. "Kenapa, Mah?"Maya menatap Devan. "Mamah rasa Naya benar-benar berubah, Dev."Devan mengernyit masih berusaha memahami kenapa Mamahnya bisa berpikiran seperti itu."Naya memang masih ceria seperti dulu saat mengobrol bersama Mamah, Papah. Tapi... kadang Mamah merasa keceriaannya seperti dibuat-buat. Naya lebih suka menghabiskan waktunya sendirian di kamar. Kamu tahu sendiri kan dulu Naya sangat suka main dan berkumpul dengan teman-temannya, teman Naya se
"Bunda...." Disya menyembulkan wajahnya dibalik pintu kamar, setelah sebelumnya mengetuk pintu."Ada apa sayang... sini masuk!"Disya melengkah masuk, dan duduk di tepi kasur tepat di samping Dina."Sedang apa, Bunda?"Dina terkekeh, perempuan itu menunjukkan layar ponselnya kepada Disya. "Kamu ingat Anton? Anak panti yang pernah kamu bilang menyebalkan dan sedikit tidak pintar itu—""Anton yang bodoh itu?""Sya?" Dina menatap putrinya memperingati, padahal ia sudah menggunakan bahasa yang lebih enak di dengar, tapi Disya malah berbicara seperti itu."Iya maaf... kenapa Anton?""Dia dapat nilai seratus di ulangan matematikanya, lihat dia meminjam handphone Mba Kanti buat kirim fotonya ke Bunda," jelas Dina menunjukkan foto yang dikirim oleh seseorang yang sedang dibicarakan.Disya menyunggingkan senyumnya. "Sepertinya ia sangat bekerja keras."Dina mengangguk. "Oh iya, ada apa sayang? Butuh sesuatu?" Dina bertanya tentang tujuan Disya yang datang ke kamarnya."Disya ijin pergi hari in
"Saya tidak pantas berjuang untuk kembali menjadikan kamu istri saya, Sya."Lelaki itu mengatakan dengan nada sangat lirih, menatap Disya yang sedari tadi hanya diam menundukkan wajahnya."Saya jahat sekali ya... bahkan harusnya saya tidak pantas berada di depan kamu saat ini.""Kamu pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik, yang lebih bisa menghargai dan mencintai kamu, yang paling penting lelaki itu harus bisa selalu membahagiakan kamu... selalu."Semangat juga tekad yang sangat berkobar ketika Diky dan Naisya menyemangatinya untuk mendapatkan kembali hati Disya, entah mengapa semakin ciut saja setiap harinya. Bayangan Disya yang menangis sesenggukkan di hadapannya, bayangan Disya yang menangis histeris di pelukan Dina sembari berbicara bahwa Disya ingin bercerai dengannya. Semuanya masih terekam jelas di kepala Devan, membayangkannya saja membuat denyut nyeri di dadanya. Itu lebih terasa menyakitkan dibanding saat Naisya meninggalkannya beberapa tahun silam."Saya tidak akan berju
Cinta itu buta?Sepertinya kalimat seperti itu sudah sering sekali di dengar atau dibaca oleh banyak orang. Kenapa bisa disebut seperti itu? Disya juga salah satu orang yang bertanya-tanya tentang itu.Yang ia tahu... Devan adalah seorang laki-laki yang berhasil bersemayam di hatinya. Kenapa? Jika ada yang bertanya seperti itu, Disya juga tidak mengerti.'Bukankah cinta juga tidak mengenal alasan apapun?'Benar. Kesalahan Devan memang tidak pantas untuk dimaafkan, lelaki itu sudah sangat jahat sedari awal, menjadikan Disya alat untuk balas dendam, namun ujung-ujungnya Disya yang disakiti, dan di selingkuhi. Bahkan, calon buah hati mereka pergi meninggalkan mereka tanpa diketahui kehadirannya sebelumnya.Harusnya Disya bisa membuka hati, mencari lelaki yang jauh lebih baik sebagai pengganti Devan. Namun, itu sangat sulit sekali. Disya hanya mencintai Devan."Pak Devan pelet Disya ya?"Devan yang baru selesai memarkirkan mobilnya di parkiran rumahnya, lansung mengalihkan pandangannya se
"Saya masuk saja ya, Sya?"Disya menggeleng dengan bibir yang dikerucutkan. "Antar Disya sampai di sini saja, Pak Devan langsung pulang saja ya....""Kamu tadi di jemput saya, Bunda juga sudah tahu kamu pergi dengan saya. Saya justru merasa tidak enak jika tidak berpamitan dengan Bunda."Lagi-lagi Disya menggeleng, tidak mengijinkan Devan untuk masuk ke dalam rumahnya. Saat ini, mereka berdua masih berada di dalam mobil, mobil milik Devan terparkir cukup jauh dari rumah Disya—terparkir tepat di rumah keempat dari sebelah kanan rumah Disya. Devan berniat untuk mengantar Disya sampai masuk ke dalam rumah, lelaki itu juga berniat akan menemui dulu kedua orangtua Disya dengan maksud menyapa dan sekedar basa-basi—maksudnya tidak mungkin 'kan Devan mengantar Disya tapi tidak ada omongan apapun kepada kedua orang tuanya?"Pak Devan pulang saja ya. Dan... tentang hubungan kita, bisa tidak jika kita merahasiakannya dulu?" Saat mengatakan kalimat itu, Disya menundukkan wajahnya dalam, dengan ja
"Mommy!" Kai berbinar ketika matanya menangkap sosok Disya yang sedang berjalan ke arah mobil yang ditumpanginya. Membuka pintu mobil, keluar dari dalam lalu berlari memeluk Disya."Selamat pagi sayang!" Disya mengelus kepala Kai lembut dengan senyum lebar yang menghiasi bibirnya."Pagi, Mom!""Sudah sarapan?" tanya Disya, menggandeng tangan Kai untuk kembali berjalan menuju ke mobil.Kai menggeleng. "Nanti kita ajak Daddy sarapan bubur ayam yang dekat sekolahan, Mom. Daddy belum pernah mencobanya."Disya mengangguk, lalu menatap Devan yang sedari tadi berdiri di samping badan mobil, memperhatikan interaksi Disya dan Kai dengan penampilan sudah rapih mengenakan kemeja berwarna hitam dipadukan celana bahan berwarna senada. Tampan, Disya selalu terpesona."Daddy harus mencicipi bubur ayam favorit kita, ya," kata Disya semangat sambil tersenyum menatap Devan."Tentu saja!" Kai menjawab.Mereka langsung masuk ke dalam mobil."Tidak ada yang mau duduk di samping Daddy?" Devan menengokkan w
Devan menengokkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, memperhatikan sekitaran rumah. Setelah memastikan keadaan aman, tangan kanannya terangkat untuk mengetuk pintu kayu di depannya."Sya? Ini saya," kata Devan disela kegiatan mengetuk pintu rumah."Pak Devan. Masuk saja pintunya ngga dikunci," kata Disya dari dalam rumah dengan suara yang cukup kencang.Devan memegang handle pintu, membukanya perlahan. Benar, pintu tidak dikunci, lelaki itu langsung masuk ke dalam, mengendap-endap, menatap ke setiap penjuru rumah berlaga seperti seseorang yang akan mencuri saja. Tersadar dari gelagat aneh yang lelaki itu lakukan, Devan menegakkan tubuhnya, kembali memanggil Disya, "Sya?""Disya di kamar, Pak Devan masuk aja."Dengan langkah pasti Devan melangkahkan kakinya menuju ke kamar Disya. Sekitar tiga tahun yang lalu, Devan pernah mengunjungi rumah ini, tentu dia hafal di mana letak kamar Disya. Pintu kamarnya terbuka lebar, saat Devan baru melangkahkan kakinya di depan pintu, dia melihat Disya yan