“Kita ke rumah ibu dulu,” ucap Restu setelah mobil dekat dengan rumahnya. Aku diam saja.Kulihat beberapa kerabatku yang ikut sedang bercengkrama dengan beberapa kerabat Restu. Hati berusaha untuk meredam amarah agar tidak terlihat. Muak. Harus bersandiwara di hadapan mereka. Rasanya, ingin mempercepat kelender agar tiga bulan bisa terlewati. Setelah itu, aku akan menyusun rencana untuk berpisah dengan Restu. Jika selama tiga bulan ini dia setidaknya, tidak membuatku tambah sakit hati, maka perpisahan akan terjadi dengan tidak diiringi huru hara. Namun, jika dia membuatku sakit hati, maka aku, Arisna Pertiwi binti Ahmad Hasyim akan memberikan pelajaran yang sangat berharga di akhir pernikahan ini.Setelah basa-basi sebentar, keluargaku pamit. Ingin rasanya ikut serta bersama mereka yang naik mobil pick up. Agar bisa menghidu banyak angin di jalan, untuk stok di kamar yang seringnya kurasa sesak. Akan tetapi, ibu mertua bilang ingin berbicara penting setelah ini.Restu masih duduk di r
Part 15“I-ibu, dari mana tahu kalau aku sudah suka anak ibu sejak masih SMA?” Pertanyaan bodoh yang aku lontarkan, jelas menegaskan jika apa yang dikatakan ibu mertua adalah benar. Setelah mengatupkan bibir, aku menyesal bertanya demikian.“Restu cerita, kalau kamu sering melihat dan memandangnya saat dia datang ke rumah. Dan, saat aku tanya sama ibu kamu, Rahayu pun mengiyakan … maafkan kami, Isna. Kami menjodohkan Restu dengan kamu, itu karena kami tahu, kamu bakal menerimanya. Tapi, masalah Restu yang belum bisa melupakan Marwah, kamu tidak keberatan bukan? Ibu yakin, dia tidak akan berani bertemu Marwah. Ibu sangat paham sifatnya ….”Apa yang bisa aku katakan untuk membela perasaanku? Untuk menyalahkan mereka? Jika sejak awal saja, perasaanku sudah sangat salah terhadap Restu. Ah, mulutku terpaksa memanggil mas pada dia, demi menghormati ibu mertua.“Jangan pernah mau kalah dengan keluarga Marwah, Isna. Mari, kamu dan ibu bekerjasama untuk hal ini. ibu sudah mendengar desas desus
Ah, suamiku? Apa Restu sudi aku sebut dengan sebutan itu. Hatiku teriris sakit.“Saya pamit.”“Hati-hati di jalan Mas Restu ….”Setelah melirik Restu memberi uang, mataku mengatup lagi. Dan kurasakan mobil mulai bergerak.“Isna, tolong letakkan ini di belakang.”Aku membuka mata mendengar Restu memerintah.Plastik hitam dengan minyak masih terlihat mengkilat terulur padaku.“Sepertinya berminyak. Tanganku sudah bersih. Kamu saja yang meletakkan di belakang.” Aku menolak agak kasar. Enak saja, ogah sekali bersentuhan dengan bekas tangan dari orang yang ikut membuatku sakit hati.Kini aku paham, mengapa Restu masih mencintai wanita itu. Karena dari kedua belah pihak memang masih berharap dan berusaha menciptakan peluang untuk bisa bersama lagi. Ah, ibu mertua yang malang, pasti sangat muak melihat sikap keluarga Marwah ….***Aku melihat plastik hitam yang dibawa Restu dari mobil kini berpindah ke atas meja makan. Ingin segera membuangnya, tapi akal sehat dan hati nurani melarang. Aku t
POV RESTUAku menatap ransel yang berisi berkas yang harus diserahkan ke kabupaten besok. Di sana, sebagian kertas sudah terkena minyak dari masakan teri yang ada di plastik. Lagi pula, kenapa juga Bu Marini tidak meletakkannya pada toples? Sehingga minyak ataupun teri itu tidak akan tumpah.Ah, Bu Marini hanya wanita tidak berpengalaman. Memberikan makanan kesukaanku saja sudah termasuk hal yang baik. Mulia sekali hati wanita itu. Di saat aku sudah menyakiti anak gadis kesayangannya, masih saja perhatian. Semua ini karena Isna. Ia kenapa gegabah meletakkan masakan teri ke dalam tas? Jika tidak suka, seharusnya cukup bilang saja padaku. Namun, hendak marah? Aku takut dia akan bercerita pada bapak dan ibunya. Terpaksa, kupendam sendiri saja rasa kesalku. Dan terpaksa lagi, harus ngeprint ulang. Sementara sesuai rencana, pagi buta aku akan langsung berangkat ke kabupaten.Kulihat Isna yang santai memainkan ponsel. Ada raut wajah sedih di sana. Itu yang membuatku urung pula untuk memprot
Hingga malam menjelang, kami kembali tidak bertegur sapa. Rasanya, hati ingin bertanya dengan siapa ia berbicara. Namun, aku tidak berani. Sejenak, entah kenapa jadi lupa hasrat untuk memakan masakan Bu Marini yang memang selalu aku rindukan. Entahlah, aku pernah memberikan makanan itu pada teman satu kantor. Mereka bilang, rasanya biasa saja. Asin dan terkesan tidak ada bumbu. Namun , aku begitu menyukainya. Apa karena dia adalah ibu dari wanita yang aku cintai? Isna bersiap tidur. Di samping bantal selalu ada novel yang dibaca. Wanita itu menarik selimut sampai dagu. Lalu, memiringkan tubuh menghadap tembok. Beberapa kali di tengah malam aku melihat bahunya terguncang. Mungkin karena menangisi nasib pernikahan kami. Akan tetapi, tetap saja hati ini membeku. Tangan rasanya enggan meraihnya untuk hanya sekadar memberi kehangatan. Aku masih memegang teguh sebuah janji, bahwa hanya Marwah yang ada dalam pikiran dan hati ini. Entah kenapa, malam ini aku begitu nyaman berlama-lama memand
Part 17Di rumah sederhana milik Marwah, Marini menatap sebuah foto anak gadisnya yang memakai hijab. Kulit putih tanpa skincare, hidung mancung dan bulu mata yang lentik. Mata yang mirip dengan Restu. Tidak heran, jika beberapa kerabatnya mengatakan kalau Marwah akan berjodoh dengan kepala desa muda tersebut. Namun, kedudukan sosial membuat mimpi itu hancur begitu saja.Marini dan keluarga masih belum bisa menerima takdir jika Restu kini telah memiliki istri yang sah. Apalagi mereka tahu, jika Restu sempat meminta pada Marwah untuk bersabar. Pria yang menjabat kepala desa itu berjanji akan memperjuangkan cintanya.Hingga suatu ketika, kabar pernikahannya tersebar di seluruh penjuru warga dan membuat Marwah jatuh sakit.“Baik-baik di sana, Nduk,” ucap Marini sambil menangis.“Jangan ditangisi! Biarkan Marwah menenangkan diri. Dia anak yang kuat,” sahut Ruslam yang baru selesai sholat.“Dia sangat terluka, Pak. Dia pergi setelah beberapa hari tidak mau makan.”Pembicaraan mereka terhen
“Dinasehati saja adikmu itu. Malu. Jelas-jelas ibunya Mas Restu menolak Marwah.” “Iya, kita itu apa? Kita itu rakyat jelata yang tidak sepadan. Mau secantik apapun Marwah, ibunya Mas Restu tidak akan setuju.” “Marini malah bahagia. Padahal Pak Dahlan sudah dengan jelas menolak Marwah.” “Ya tidak akan mau, mana mungkin Pak Dahlan mau berbesan sama orang yang sejak kakek moyangnya jadi buruh di keluarga kaya itu.” “Mbok bapaknya Yu Siti suruh bilangin Marini ….” Berbagai macam omongan warga terngiang dalam benak Siti. Ia sudah mengingatkan seringkali, tapi tetap saja, adiknya tidak pernah mau mengerti. “Yu, aku orang muslim. Aku tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang meminta kita agar tetap menganggap bahwa semua orang itu sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanya tingkat keimanannya. Jangan menyalahkan sikapku di masa lalu. Mas Restu sendiri yang selalu datang kesini mengajak Marwah dan baik pada kami. Dan sampai saat ini, kami yakin kalau Mas Restu masih mencintai Marwah
Part 18“Tyas, bolehkah aku bertanya sesuatu hal?” tanya Isna saat berada di rumah mertuanya.Mereka hanya berdua di rumah. Hari ini, Isna diminta oleh Narsih untuk datang. Namun, wanita itu malah tidak ada. Jadilah Isna hanya berdua bersama Tyas.“Tanya apa, Mbak?” tanya Tyas sambil meletakkan cermin yang dipegang.“Kamu dekat dengan Marwah?” tanya Isna hati-hati.“Dekat sih enggak, Mbak. Paling cuma kenal saja. Ya, tahu kalau itu pacarnya Mas. Tapi, bapak dan ibu sudah melarangku untuk dekat dengan Mbak Marwah. Jadi, aku menurut saja. Lagi pula, Mbak Marwah juga tidak pernah datang ke sini. Jadi ya, ya begitulah, Mbak, hanya sebatas kenal. Mbak Marwah itu orangnya pendiam, tapi pintar. Jadi, seringnya ikut acara-acara desa gitu. Kalau ngobrol ya jarang. Atau karena memang tidak akrab kali,” jelas Tyas jujur.“Oh … kamu ada fotonya?” tanya Isna penasaran.“Ya gak punya, Mbak. Gak pernah berhubungan. Dulu ada di kamar Mas. Pernah dipajang di tembok, tapi bapak marah-marah akhirnya dil