Hai! Penasaran gak sama sosok Marwah? Yang baca sampai part ini, please dong, kasih komentar biar Othor semangat ketik bab sekanjutnya ....
Part 17Di rumah sederhana milik Marwah, Marini menatap sebuah foto anak gadisnya yang memakai hijab. Kulit putih tanpa skincare, hidung mancung dan bulu mata yang lentik. Mata yang mirip dengan Restu. Tidak heran, jika beberapa kerabatnya mengatakan kalau Marwah akan berjodoh dengan kepala desa muda tersebut. Namun, kedudukan sosial membuat mimpi itu hancur begitu saja.Marini dan keluarga masih belum bisa menerima takdir jika Restu kini telah memiliki istri yang sah. Apalagi mereka tahu, jika Restu sempat meminta pada Marwah untuk bersabar. Pria yang menjabat kepala desa itu berjanji akan memperjuangkan cintanya.Hingga suatu ketika, kabar pernikahannya tersebar di seluruh penjuru warga dan membuat Marwah jatuh sakit.“Baik-baik di sana, Nduk,” ucap Marini sambil menangis.“Jangan ditangisi! Biarkan Marwah menenangkan diri. Dia anak yang kuat,” sahut Ruslam yang baru selesai sholat.“Dia sangat terluka, Pak. Dia pergi setelah beberapa hari tidak mau makan.”Pembicaraan mereka terhen
“Dinasehati saja adikmu itu. Malu. Jelas-jelas ibunya Mas Restu menolak Marwah.” “Iya, kita itu apa? Kita itu rakyat jelata yang tidak sepadan. Mau secantik apapun Marwah, ibunya Mas Restu tidak akan setuju.” “Marini malah bahagia. Padahal Pak Dahlan sudah dengan jelas menolak Marwah.” “Ya tidak akan mau, mana mungkin Pak Dahlan mau berbesan sama orang yang sejak kakek moyangnya jadi buruh di keluarga kaya itu.” “Mbok bapaknya Yu Siti suruh bilangin Marini ….” Berbagai macam omongan warga terngiang dalam benak Siti. Ia sudah mengingatkan seringkali, tapi tetap saja, adiknya tidak pernah mau mengerti. “Yu, aku orang muslim. Aku tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang meminta kita agar tetap menganggap bahwa semua orang itu sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanya tingkat keimanannya. Jangan menyalahkan sikapku di masa lalu. Mas Restu sendiri yang selalu datang kesini mengajak Marwah dan baik pada kami. Dan sampai saat ini, kami yakin kalau Mas Restu masih mencintai Marwah
Part 18“Tyas, bolehkah aku bertanya sesuatu hal?” tanya Isna saat berada di rumah mertuanya.Mereka hanya berdua di rumah. Hari ini, Isna diminta oleh Narsih untuk datang. Namun, wanita itu malah tidak ada. Jadilah Isna hanya berdua bersama Tyas.“Tanya apa, Mbak?” tanya Tyas sambil meletakkan cermin yang dipegang.“Kamu dekat dengan Marwah?” tanya Isna hati-hati.“Dekat sih enggak, Mbak. Paling cuma kenal saja. Ya, tahu kalau itu pacarnya Mas. Tapi, bapak dan ibu sudah melarangku untuk dekat dengan Mbak Marwah. Jadi, aku menurut saja. Lagi pula, Mbak Marwah juga tidak pernah datang ke sini. Jadi ya, ya begitulah, Mbak, hanya sebatas kenal. Mbak Marwah itu orangnya pendiam, tapi pintar. Jadi, seringnya ikut acara-acara desa gitu. Kalau ngobrol ya jarang. Atau karena memang tidak akrab kali,” jelas Tyas jujur.“Oh … kamu ada fotonya?” tanya Isna penasaran.“Ya gak punya, Mbak. Gak pernah berhubungan. Dulu ada di kamar Mas. Pernah dipajang di tembok, tapi bapak marah-marah akhirnya dil
“Bu, apa itu tidak terlalu cepat? Sementara, Mas Restu juga belum meminta aku untuk melakukan itu,” tolak Isna halus.“Restu belum meminta itu sama kamu?” tanya Narsih heran.Isna mengangguk.“Kamu harus melakukan itu. Bagaimanapun, kamu istri Restu ….”“Aku bukanlah istri yang seperti pada umumnya, Bu ….” Lirih Isna. Tidak ingin selalu ada pada posisi yang harus selalu mengalah pada kepentingan Restu.“Maksud kamu?” tanya Narsih bingung.Isna bangkit, menuju jendela yang terbuka dan memperlihatkan pemandangan kebun yang terdapat pohon-pohon yang rindang. “Pernikahan kami hanya sebatas formalitas saja. Dan itu untuk kepentingan Mas Restu sendiri. Jangan berharap lebih dari seorang aku, Bu! Karena pernikahan ini, cepat atau lambat pasti akan berakhir …,” ucapnya setelah bersandar pada tembok di samping jendela.“Isna! Jangan berkata yang tidak-tidak! Jangan mempermainkan pernikahan!” tegas Narsih.“Justru anak ibu yang sudah mempermainkan pernikahan kami. Tadinya aku tidak mau jujur, t
POV RESTUAku mendengarnya. Isna, seorang wanita yang sudah aku sakiti dan hanya aku manfaatkan sosoknya demi meraih mimpi dan keinginanku, hampir saja buka mulut di hadapan ibu. Bukan hampir saja! Namun sepertinya, ibu sudah mulai curiga dengan apa yang terjadi diantara kami. Ah, tidak bisakah dia bersabar dengan berpura-pura kami ini pasangan yang bahagia? Apa itu susah buatnya? Sehingga menempatkanku pada posisi yang sulit seperti sekarang.Tatapan ibu terasa menakutkan. Tatapan yang sama seperti saat aku pulang menjemput Marwah dari sekolahnya di kota saat SMA. Pertama kalinya ibu marah besar akan hubungan kami. Isna yang aku harapkan bias meloloskanku dari keadaan ini, justru pergi sambal berucap kalimat yang semakin menydutkanku.“Aku akan menyusul Isna,” ucapku pada ibu, saat tubuh wangi itu pergi dari kamar ini.“Berhenti, Restu!” teriak ibu.Jantungku seakan hendak lepas dari tempatnya kala mendengar hardikan dari wanita yang telah melahirkanku itu.“Apa yang dimaksud Isna de
Untung rumah kami berada di tengah-tengah pekarangan yang luas, berjarak beberapa meter dari rumah warga lain. Jika tidak, harga diriku jelas hancur. Seorang kepala desa yang biasa disegani dan dihormati harus terhina dipukul ibu seperti anak kecil.“Kalau kamu tidak segera melakukan ritual malam pertama dengan Isna, aku akan menyuruh anak buahmu mencoret bantuan keluarga miskin yang diberikan pada keluarga Marini!”Ibu benar-benar tidak punya etika. Hal semacam itu diucapkannya.Namun, aku bersyukur karena akhirnya, pukulan di pantatku berhenti. Kini, kusandarkan tubuh di tepi ranjang dan meluruskan kaki yang terasa pegal. Meratapi nasibku yang malang. Di hadapan masyarakat aku disegani, tapi di depan ibuku sendiri ….“Pulang cepat! Minta maaf sama Isna dan segera laksanakan kewajiban kamu sebagai suami!” Aku melonjak kaget, saat ibu kembali datang dan berujar keras.“Aku istrirahat dulu, Bu. Ini sakit semua,”“Seharusnya tadi Isna jangan pulang dulu. Seharusnya dia yang melakukan ha
POV IsnaFahri. Sebuah nama yang sebenarnya sempat mampir dalam hati ini selain Restu. Dia kakak kelas dua tingkat di atasku waktu SMA. Aku sekolah di sebuah sekolah islam yang ada pondok pesantrennya. Dan Fahri adalah kakak kelas yang selalu memberiku perhatian sejak pertama kali mengenalku dalam acara orientasi sekolah.Sebagai kakak senior yang akhirnya aku tahu dia menaruh rasa, sudah tentu saat pertama kali berjumpa—terlebih dalam situasi aku menjadi siswa baruu—ia selalu jahil. Mulai dari sering menghukum, menyuruh bernyanyi dan masih banyak lagi.Bapak selalu berpesan agar aku sekolah dengan benar. Jangan sampai terlibat pergaulan bebas. Itu sebabnya, meski teman-teman yang lain punya pacar, aku memilih menjadi jomblo sejati dan sepertinya benar-benar sejati karena sampai saat ini, tidak ada lelaki yang benar-benar menjalin ikatan batin denganku.Fahri sempat kuliah di Institute Agama Islam, tapi kemudian memilih keluar setelah lolos mendaftar di secaba. Ia bertugas masih di wi
“Marwah, eh, Isna maksudnya. Aku minta maaf. Aku ….”“Mau berapa kali kamu meminta maaf, Restu? Tidak cukup puaskah dengan segala perasaanmu? Kenapa sampai foto wanita itu kamu pindah ke rumahku? Ke kamarku? Jawab!” gertakku masih dengan volume suara kecil.“Isna, aku tidak tahu harus menyimpan dimana. Kalau aku letakkan di rumah dan ketahuan ibu atau bapak, aku sudah pasti kena marah. Jadi, aku bawa ke sini ….”“Apa kamu tidak bisa hidup tanpa foto itu? Apa kamu pikir aku baik-baik saja dengan foto itu di kamar ini? Otak dan pikiran kamu kemana, Restu?” tanyaku heran dan menahan emosi.“Isna, aku suami kamu. Hormatilah aku dengan berbicara sopan. Jangan menyebut kata otak untuk suami kamu, itu tidak pantas.” Restu terdengar tidak suka.“Kamu berbicara kepantasan? Bahkan aku berpikir kalau kamu pantas mendapatkan umpatan yang lebih kasar dari itu. Asal kamu tahu, aku tidak pernah bersikap tidak sopan atau memaki orang seperti saat ini. Kali pertamanya aku melakukan adalah pada kamu. J