Sadnya menjaga konsentrasi. Sembari bersila, tangan kanannya tak pernah lepas dari gagang Golok Melasa Kepappang. Sedangkan mata pendekar muda itu tetap terpejam. Penglihatannya kini semata-mata mengandalkan mata batin.Didepannya, sosok Antu Banyu mulai beringsut, memainkan rambut dan lidah yang mulai terjulur panjang. Seolah hendak melilit dan menghisap darah siapapun yang berada di depannya.Dalam situasi yang terus mendesak, anehnya, Rampog dan Pisau Terbang yang berada di dekat Sadnya sama sekali tak bisa melihat Antu Banyu. Mereka tahu ada pertempuran besar yang bakal terjadi. Pertempuran hidup mati di level yang sulit dijelaskan oleh nalar. Tapi anehnya, walaupun mereka tahu apa yang akan terjadi, mereka sama sekali tak bisa melihat pertarungan itu sendiri.Di pihak Antu Banyu, ia berkali-kali berusaha membuyarkan konsentrasi Sadnya. Pola yang ia lakukan tak berubah. Menyerang dan melemahkan sisi manusiawi Sadnya. Tapi usaha kerasnya kali ini menemui jalan buntu. Sadnya sama se
Suasana ruang tamu rumah panggung Pak Cik berubah jadi lebih santai. Kilat mata Nadir yang semula menampakkan ketidaksukaan dan curiga, kini terlihat lebih bersahabat.Suasana jadi lebih hidup saat Pak Cik meminta Nadir mengeluarkan seteko tuak lengkap dengan cangkir bambunya."Naaaah...sekarang kita bisa lebih santai. Kalian berdua dan aku sekarang bisa berbagi cerita dengan tenang," ujar Pak Cik pada Aditya dan Candra dengan senyum renyah dibibirnya.Aditya dan Candra menyambut sikap ramah Pak Cik dengan baik."Ahhh...kami berdua terlalu merepotkan Pak Cik," sambut Aditya berbasa-basi."Haha...pandai kau berbasa-basi Aditya! Ayo...kita minum bersama-sama!""Terimakasih Pak Cik!"Ketiganya, mulai menikmati tuak aren yang dituangkan Nadir pada cangkir bambu masing-masing. Tapi itu tak cukup untuk membuat Pak Cik mengurungkan desakannya pada kedua telik sandi muda Melayu untuk bercerita."Segaaar...! Tapi kenapa kalian belum cerita padaku?" desak Pak Cik kembali."Ehmmm...baiklah Pak C
Fokus pertama Sadnya adalah puluhan tentakel berbahaya milik Antu Banyu. Jika puluhan tentakel mengerikan tersebut berhasil dilumpuhkan, maka Sadnya tinggal memiliki pekerjaan untuk menyelesaikan sisanya.Dengan cepat ruh Sadnya berkelebat, mengejar Antu Banyu yang terluka dan menarik seluruh tentakel yang semula mengerubuti tubuh Sadnya. Keduanya bergerak cepat.Golok pusaka haus darah di tangan Sadnya bergetar. Seolah memberikan isyarat pada Sadnya jika ia tak rela Antu Banyu berhasil meminimalisir serangannya. Makin lama, getaran Golok Melasa Kepappang makin keras. Kini lebih bisa dikatakan sebagai berontak supaya bisa terlepas bebas dari genggaman tuannya.Sadnya tak membiarkan kondisi itu terjadi. Sang pendekar paham, jika golok haus darah tersebut sampai lepas, maka malapetaka baru akan hadir. Jika sampai terlepas, maka Golok Melasa Kepappang akan memburu siapa saja untuk menggenapi haus darahnya. Ia akan menyerang membabi buta. Tak peduli kawan ataupun lawan.Dalam kondisi kala
Saat alam pikir Pak Cik akan lebih jauh merantau, sekonyong-konyong Aditya membuyarkannya."Bagaimana teman-teman? Bukankah ceritaku begitu memikat?"Sebuah pertanyaan satire dari Aditya menghidupkan kembali heningnya suasana."Apanya yang memikat Aditya? Bagiku ceritamu memuakkan!" tiba-tiba Candra menindas pertanyaan Aditya dengan sengit.Pak Cik dan Nadir yang sedari tadi mendengarkan jadi bingung dengan keadaan yang ada. Nadir melayangkan pandang pada Pak Cik. Meminta persetujuan Pak Cik untuk bicara. Pak Cik menganggukkan kepala memberi persetujuan."Temanku, Aditya dan Candra, aku sejujurnya jadi bingung dengan arah percakapan ini," tanya Nadir dengan polos."Kenapa kau bingung Nadir?" tanya Aditya singkat."Kau Aditya, kudengar sedari tadi memuja puji Sriwijaya. Seolah tak ada yang jelek dari Sriwijaya. Sementara di satu sisi, Candra menyatakan ketidaksukaannya akan ceritamu. Sesungguhnya apa yang hendak kalian berdua sampaikan?"Terkekeh Aditya merespon pertanyaan Nadir."Kau
Penderitaan Rajaputra Aruna bertambah. Pukulan terakhir Sadnya ke punggung Antu Banyu membuat luka dalamnya makin menjadi. Berulang kali ia memuntahkan darah segar kehitaman.Tapi bukan berarti hal tersebut mengurungkan niatnya untuk mengelabui Sadnya."Luka ini tak boleh menghalangi siasatku! Senapati ingusan itu harus membayar mahal semua yang dilakukannya padaku...!" rutuk Rajaputra Aruna dalam hati.Dikejauhan, tubuh Antu Banyu tak bergerak. Tubuhnya hanya bereaksi dengan muntahan darah yang makin memerahkan permukaan Sungai Komering.Sadnya mulai bernafas lega. Ketiadaan reaksi dari Antu Banyu, membuat Sadnya mengira bahwa iblis Sungai Komering itu telah berakhir. Kewaspadaannya mengendur.Sadnya bersiap berpindah ke tubuh Antu Banyu. Sebelum melompat ke atas tubuh iblis itu, Sadnya terlebih menyarungkan Golok Melasa Kepappang kesarungnya. Sebuah kesalahan fatal yang disadari.Dalam hitungan detik, Sadnya melangkah ringan dan berdiri tepat di atas tubuh Antu Banyu. Setelah berhas
Sigindo bisa membaca gerak pikir para sigindo lainnya. Sejak lama memang, para sigindo di Kerinci Rendah gelisah melihat perkembangan yang ada.Selama ini, sebelum Kedatuan Melayu berhasil ditaklukkan oleh Kedatuan Kedatuan Sriwijaya, mereka hidup tenang, damai, dan makmur. Tapi kini semua telah berubah.Jika sebelumnya Kerinci Rendah merupakan bandar pengepul hasil bumi dari berbagai daerah di Kerinci Tinggi yang dikenal sebagai penghasil utama komoditi ekspor berupa rempah dan hasil bumi lainnya, kini Kerinci Rendah mengalami masa-masa suram akibat kekalahan Melayu dari Sriwijaya. Kekalahan tersebut mengakibatkan pajak yang dikenakan untuk semua barang ekspor yang melewati Melayu dan bandarnya melambung tinggi. Hampir tak masuk akal untuk dibayar.Tak hanya soal pajak, para Sigindo Kerinci Rendah kini juga merasa ancaman Sriwijaya juga mengarah pada sumber daya ekonomi utama mereka, emas dan kedaulatan mereka."Ehm...Tuan-Tuan Sigindo yang aku hormati. Sejujurnya aku paham apa yang
Dengan tergopoh-gopoh, Laksmi akhirnya sampai di gubuk tepi danau. Dihadapannya, seorang lelaki tua bertubuh pendek telah menunggunya. Raut muka si lelaki tua tampak tak sabar menunggu kedatangan Laksmi."Aaaah...kali ini kau lambat sekali Laksmi cucuku!""Begitulah Datuk? Ada apa gerangan Datuk tampak begitu cemas?""Laksmi, berkemaslah! Aku tak punya waktu untuk menjelaskannya! Segeralah menyusulkunke kamar waktu! Jangan telat lagi Laksmi!" perintah Datuk tua itu dengan lantang pada Laksmi.Mendengar teriakan si datuk tua, Laksmi mau tak mau mematuhinya. Dengan sigap ia segera masuk ke dalam gubuk dan mengemasi perlengkapannya. Tak sempat sama sekali ia beristirahat barang sebentar. Setelah itu, segera ia menyusul si datuk tua ke sebuah ruangan yang disebut sebagai "kamar waktu".Setibanya dalam kamar waktu, ia mendapati si datuk tua sedang menunggunya dengan posisi duduk bersila. Tanpa banyak tanya, Laksmi segera duduk di samping belakang si datuk tua. Ia mengikuti si datuk tua dud
Awal tahun 606 Saka. Pinggiran hilir Sungai Batang Lintang mulai hiruk pikuk sejak pagi. Ratusan lelaki hilir mudik dengan dada terbuka. Tampak peluh mereka bercucuran di sekujur tubuh bak air hujan jatuh dari atap.Beratus-ratus kubik tanah dibongkar dan diangkut menggunakan keranjang bambu dari gundukan-gundukan tanah di balik semak belukar. Tanah-tanah itu kemudian disusun jadi benteng pertahanan di sepanjang pinggiran Sungai Lintang.Di tempat-tempat tertentu yang memungkinkan, parit-parit pertahanan digali. Sementara ratusan prajurit lainnya sibuk menebang, memotong, dan membuat tombak-tombak kayu panjang di muka benteng pertahanan.Pembangunan benteng pertahanan berupa tanggul parit bukanlah hal umum yang dilakukan suatu negeri untuk menghadapi perang di zaman itu. Hal ini keluar dari kebiasaan yang biasanya dilakukan di tempat terbuka dan lapang.Strategi membangun benteng pertahanan berupa parit sepanjang Sungai Lintang itu merupakan hasil dari kesepakatan para sigindo Kerinci