Zsalsya terus mengayunkan kakinya menuju mobil. Ibram membuka pintu mobil itu dan mempersilakan Zsalsya masuk, namun entah kenapa seperti ada bisikan yang meminta Zsalsya untuk menoleh ke samping. Intuisi tajamnya seakan mengatakan sesuatu."Kenapa aku merasa ada yang mengintaiku?" batin Zsalsya, curiga. Ia memutar perlahan tubuhnya dan melihat ke segala penjuru di tempat parkir, tetapi ia tak menemukan orang yang mencurigakan seperti apa yang dirasakan oleh hatinya melalui insting.Ibram yang keheranan pun ikut melihat ke arah sebagaimana Zsalsya melihat. "Ada apa, Nona? Apa ada sesuatu?" tanyanya.Namun, Zsalsya memasuki mobil dengan jawaban singkat. "Tidak ada. Ayo antar saya ke kantor sekarang!" pintanya."Baik, Nona."Blam! Ibram menutup pintu mobil itu kembali. Ia berjalan memasuki mobil menuju tempat dirinya menyetir. Kala itu, Zsalsya duduk di jok tengah. Dahinya berkerut sembari berpikir keras memikirkan apa yang terjadi sebelumnya. "Hanya perasaanku saja atau apa?" gumamnya
Di depan komputer, Zsalsya terus fokus dengan tugasnya, walau masalah yang ada di hidupnya terus gentayangan di kepala. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana, tetapi ia berusaha untuk melupakannya melalui kesibukan yang dimiliki.Tak lama dari itu, Mariana yang masih ada di kantor masuk. Tanpa mengetuk pintu, wanita licik itu masuk begitu saja.Dengan langkah santai dan pasti, kedatangan Mariana membuat Zsalsya tidak fokus bekerja karena beberapa pertanyaan tiba-tiba muncul dalam kepala."Mama?" gumam Zsalsya.Wanita itu mendekat dan langsung duduk di kursi langsung mendekati. Rasa khawatir semakin bertambah ketika tatapan mata Mariana seperti memiliki maksud buruk. "Sepertinya kau sangat sibuk? Bagaimana dengan harimu?""Ya, seperti yang terlihat."Mariana menyinggung remeh. "Setelah kejadian waktu itu, rupanya kau tidak tahu malu. Wajahmu cukup tebal dalam menyembunyikan masalah yang ada."Zsalsya mencoba menahan kekesalannya ketika Ibu tiri membuatnya tambah kesal. "Jadi, apa tuju
"Duduk!" pinta Firman.Zsalsya menurunkan tubuhnya dan duduk di kursi sofa itu. Dirinya menaruh tas selempang yang ada di bahu dan perlahan mulai menyiapkan diri untuk bicara."Ada apa kamu datang ke ruangan Papa? Bagaimana dengan pekerjaanmu, apa kau mengalami kesulitan?" tanya Firman."Pa, Zsalsya mau bilang dan minta sama Papa supaya mereka tidak datang ke ruangan saat Zsalsya sedang bekerja."Firman mengerutkan kening. "Mereka siapa yang kamu maksud itu?""Nana dan Ibu tiriku. Jangan biarkan mereka masuk. Zsalsya tidak mau diganggu, Pa!""Tapi memangnya mereka itu menganggu apa? Mereka datang pasti mau menemani kamu di ruangan itu supaya todak sendirian~"Sekalipun Zsalsya memintanya dengan sangat, tetap saja Firman masih tidak percaya dengan alasan Zsalsya. Ia hanya peduli dengam penilaiannya saja tentang mereka tanpa mau mendengarkan saran dari Zsalsya."Sebelum tanggal 17, Papa mau kamu segera menyelesaikan desain itu. Karena Papa akan mengeluarkan berbagai jenis pakaian baru
Drama kehidupan tak ada habisnya. Seperti bidak batur yang dimainkan oleh pemilik permainan yang sesungguhnya. Lelah dan lebih kerap menjadi bagian dalam perjalanannya. Sesuatu yang tampak sangat merepotkan dan pasti ingin lari dari keadaan itu."Aku merasa tidak enak hati. Apa aku kembali lagi ke ruangan Papa? Tapi .... Aku sangat malu kalau harus kembali, karena tadi tampak marah. Aku juga lupa meninggalkan sesuatu di sana yang bisa aku jadikan alasan tertentu."Zsalsya terus mondar-mandir di ruangannya. Ada rasa aneh dalam hatinya yang tak dapat terhindarkan. "Oh ya, sebaiknya aku telpon saja untuk memastikan keadaan Papa. Lagi pula, aku bisa mengatakan alasan apapun supaya tidak terdengar aneh."Pada saat Firman hendak menelan obatnya dengan mulut yang sudah terbuka lebar, dering telepon membuatnya mengurungkan niat itu."Minum obat saja dulu, Pa, jangan khawatirkan telepon yang berdering. Biar aku yang menjawabnya," desak Mariana.Akan tetapi, Firman memiliki pilihannya sendiri
Hingga pada sore harinya, Zsalsya keluar dari ruangan itu untuk pulang. Ia membawa tas di bahu dan berjalan menuju lift. Ting! Pintu lift terbuka.Zsalsya keluar dari dalam sana dan melanjutkan langkah kakinya untuk keluar dari kantor. Tetapi, ponselnya kembali berdering. Langkah kakinya pun ia hentikan sejenak. Perlahan, tasnya dibuka dan tangan itu meraih ponsel yang terdapat di dalamnya."Endrick?" gumamnya. Tanpa berlama-lama, ia pun menggeser layar pada tombol warna hijau di ponselnya.[Kamu jangan ke mana-mana? Saya ke sana sekarang!]Tidak ada basa-basi apapun, Endrick langsung mengatakan maksudnya. Bahkan, pria itu sama sekali tidak menanyakan keberadaan Zsalsya.[Kenapa tidak bertanya dulu tentang keberadaan saya?][Tidak perlu. Ke manapun kamu pergi, saya pasti akan menemukanmu.]Tutt.Selepas mengatakan hal itu, Endrick pun mematikan teleponnya. Ia bergegas pergi menuju kantor Zsalsya dengan Ibram.Zsalsya pun akhirnya tidak bisa menolak. Ia memilih untuk menunggu Endric
"Malam ini .... Apa kamu sibuk?" tanya Zsalsya. Ia memberanikan diri untuk bertanya, agar dirinya bisa mengajak kerjasama karena pikirnya harus merealisasikan apa yang sudah ia rencanakan sejak tadi."Ti..dak. Kenapa bertanya begitu?" balas Endrick, yang merasa heran dengan pertanyaan Zsalsya. "Apa ada sesuatu? Atau mau mengajak saya kencan?" Dengan percaya dirinya Endrick berpikir demikian. Sebab, menurutnya pada malam minggu ini Zsalsya mungkin butuh teman."Iya, tapi lebih tepatnya bukan kencan. Saya butuh kamu untuk menolong saya malam ini."Ucapan Zsalsya bagi Endrick ini seperti seseorang yang dalam keadaan bahaya. "Tolong apa?" Endrick masih tidak mengerti. Ia bahkan tidak bisa menebak maksud Zsalsya sama sekali."Kalau kita reservasi restoran buat makan sama Papa, bagaimana?" Aneh. Itulah yang langsung muncul dalam benak Endrick. Ia bertanya-tanya mengenai maksud Zsalsya yang tiba-tiba ingin mengadakan makan malam bersama di restoran."Kenapa tidak di rumah saja? Biar saya mi
Namun, kemudian Zsalsya teringat pada janjinya untuk merubah masa depan menjadi lebih baik. Yang datang padanya kali ini adalah kesempatan kedua dan ...."Ah, tidak seharusnya aku mengeluh. Ini 'kan memang keinginanku," batinnya sembari mengunyah makanan dan memasukkan sedikit demi sedikit makanan itu.Endrick yang ada di hadapannya terud memperhatikan gerak-gerik Zsalsya. Ia mengambil tisu dan menyeka tangannya. "Apa yang membuatmu banyak melamun?" tanyanya dengan santai.Zsalsya terhenyak kaget. "Tidak ada.""Habiskan makananmu, setelah ini kita pulang."Zsalsya segera menaruh sendok dan garpunya. Ia mengambil tas kecil yang ada di samping dan langsung beranjak. "Kita pulang sekarang saja!" ajaknya. Mengambil air minum dan meneguknya sedikit sebelum ia meninggalkan tempat itu."Makananmu masih banyak.""Biar saja."Endrick bangkit dari duduknya, ia berjalan mengikuti langkah kaki Zsalsya yang sudah terlebih dahulu keluar. Langkah yang ringkih dan seolah kurang tenaga, Zsalsya be
Bruumm!Zsalsya dan Endrick keluar dari dalam mobil. Mereka berjalan memsuki rumah itu. Zsalsya sedikit malu-malu, ia berjalan di belakang Endrick, tetapi segera pria itu menariknya ke samping. "Kamu itu bukan pembantu, jadi jangan berjalan di belakang saya!" "Tapi saya malu, tidak enak. Kita ini 'kan sebetulnya memang belum menikah," bisik Zsalsya sembari celingak-celinguk ke sana kemari. Memastikan bahwa tidak ada yang mendengar omongannya."Sudah tahu begitu, kenapa terlalu memperlihatkan? Nanti ada orang yang curiga!" balasnya dengan nada pelan pula."Tidak akan. Tidak ada orang di sini."Mereka terus berjalan, hingga semua pelayan wanita berjajar membentuk dua barisan, mereka membungkuk begitu Zsalsya dan Endrick datang."Selamat sore, Tuan muda dan Nona Zsalsya~!" Semuanya serentak menyambut.Zsalsya menggaruk kepalanya, batinnya bertanya-tanya mengenai apa yang dilihatnya saat itu. "Ada apa ini? Memangnya di rumah ini mau adakan acara apa?" batinnya. Pertanyaan itu terus meny