Satu tahun kemudian…
Valerie menerima kabar. Seorang anak perempuan baru saja lahir dari rahim Vania.
Hela nafas lega berikut ekspresi bahagia disertai hembusan angin dingin, membuat senyum Valerie mengembang bak layar perahu di tengah samudera tak berombak.
Pikiran menerawang, menembus ruang dan waktu, membayangkan Vania sedang bersama seorang bayi lucu.
Akhirnya, kesempatan untuk jua memiliki anak menghampiri sang kakak.
Valerie terharu. Sebab, prahara anak sangat mendominasi hidup Vania.
Bangkit dari kursi seraya meletakkan gagang telepon, Valerie lantas mencari Leo, tak sabar ingin
Sementara Rendi, akhirnya memutuskan untuk mengadopsi anak, sebanyak dua sekaligus. Bayi laki-laki, yang diambil dari panti asuhan.Keputusan besar itu dibuat, berdasarkan saran dari Leo.Dulu pernah memiliki ide, mengambil anak untuk mengelabui kehamilan Vania. Tak disangka, malah kakaknya lah yang melakukan itu namun dengan tujuan berbeda.Alin dan Delia membutuhkan tawa anak-anak di rumah megah mereka. Karena, terus merasa kesepian, bila di rumah hanya ada mereka berdua di saat Rendi berangkat bekerja.‘’Aku kasih nama Rico, Lin.’’‘’Yang ini aku kasih nama Raffi.’’
‘’Mbak Van, bisa kan nanti datang ke ulang tahun Rico dan Raffi?’’ ucap Valerie dari seberang telepon. ‘’Tumben gak dirayain di Kalimantan, Val?’’ Meski tak pernah datang walau kerap kali diundang, Vania sadar diri akan posisinya di keluarga Arka. Apalagi perayaan si kembar selalu diadakan di tempat Naya dan Arka, yang artinya hanya untuk keluarga terdekat saja. Dan sekarang, Vania bukan siapa-siapa keluarga tersebut. ‘’Valerie nggak tau, Mbak. Mungkin Mas Rendi, Delia dan Alin ingin suasana baru.’’ Mungkin kali ini Vania harus datang, sebab dirayakan di Jakarta. Sehingga tak memiliki alasan untuk tidak hadir.
‘’Oma. Oma, Papa!’’ Gavi menggendong Gia, namun setelahnya menatap Vania meminta penjelasan. Vania benar-benar serba salah. Sulit memberitahu, di saat Vania berada dalam intimidasi tatapan sang mertua. Buru-buru Vania memasang senyum palsu, seolah tidak terjadi hal serius yang perlu dikhawatirkan. ‘’Biasa. Alia sudah berteriak cepat-cepat namun Gia masih belum memakai sepatu.’’ ‘’Hanya itu?’’ Kini Gavi bertanya pada Gia, tapi dengan tegas gadis cilik itu menggeleng. Lalu kembali terisak. ‘’Gestur anak kita berkata tidak. Sebenarnya ada apa?’’
‘’Raffi dan Rico? Gia mau datang, Pa. Gia mau, Ma. Boleh ya, Papa?’’ Gia melompat-lompat dalam pelukan Gavi. Memohon antusias dengan bibir mencebik. Seolah melupakan tangisan akibat ulah Yura beberapa waktu lalu.Tidak heran reaksi Gia seperti itu. Sebab, di sekolah, si kembar memang sangat akrab dengan Gia dan Alia. Bisa dikatakan, keempatnya merupakan teman sepermainan.‘’Tentu saja boleh.’’‘’Hore!’’Peluk cium diterima Gavi, dari putri semata wayang hasil buah cintanya dengan Vania.‘’Terimakasih papa. Papa memang yang terbaik.’’
Rumah orang tua mana yang akan menutup, bila ada anaknya yang ingin masuk?Begitu pula dengan Vira, tak sampai hati meski tidak langsung mengizinkan.Vira memilih mencari tahu terlebih dulu, mengapa Vania sampai ingin kembali ke tempat di mana dirinya dibesarkan.Di umur yang sudah lanjut usia, Vira berpikir bahwa kedua anaknya sudah bahagia.Dulu pernah berselisih memperebutkan satu suami. Tapi kini, keduanya sudah memiliki pasangan sendiri-sendiri.Selain itu, baik Valerie dan Vania, tidak pernah menunjukkan lagi adanya kesulitan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.Tak ada perce
‘’Kamu harus kasih tau Gavi, Mbak!’’Lia pun pernah ingin memberitahu Gavi, tapi dengan tegas Vania melarang. Dengan alasan, tidak ingin ada perseteruan.‘’Tidak perlu dibesar-besarkan, Val. Ini hanya hal biasa.’’‘’Apanya hal biasa, Mbak? Mertuamu bersikap seperti itu!’’Vania menggenggam tangan Valerie erat. Hingga Valerie terdiam, menanti Vania ingin menyampaikan apa.‘’Val, dulu Mbak memperlakukanmu seperti itu, bukan? Bahkan sikap mama Yura tidak separah mbak.’’‘’Tapi, mbak—&rsquo
Bertanya pada Lia sia-sia. Karena, sang ART yang pengabdiannya telah menginjak dua puluh tahun terhitung sejak Gavi bayi pun, tidak memiliki informasi cukup mengenai sosok tersebut.Hanya sebatas bahwa Sandra seorang perawat di rumah sakit, tempat Gavi bekerja. Sejak saat itu, hingga saat ini Vania kembali memutar cerita lama, tak Vania ketahui siapa itu Sandra. Seperti apa rupa ataupun bagaimana kisah Gavi dengannya.Cukup lama berpisah dengan Gavi, mungkin wanita itu adalah penggantinya ketika Gavi masih sendiri.Ada rasa cemburu memburu di dada, namun Vania tak mau menyalahkan siapapun.Karena tak Vania duga, bila akhirnya kembali lagi dengan orang di masa lalunya.‘’Jawaban kamu gak bikin mama puas hati, Van. Mama mau telepon Gavi deh kalau begitu.’’Seketika Vania gelagapan. ‘’Jangan, Ma!’’ ‘’Memangnya kenapa? Kok kamu jadi panik gitu, sih?’’ Vira menatap penuh curiga.Vania segera merubah ekspresi sesaat setelah melirik Valerie. ‘’Nggak kok, Ma. Vania biasa saja. Perasaan mama
‘’Mami jangan kejar Ryan. Kejar papi saja!’’ seru Ryan dengan napas ngos-ngosan. ‘’Tadi yang bilang mau ibu dan bunda siapa?’’ Tangannya berusaha menggapai Ryan namun sengaja berpura-pura tak sampai.‘’Itu papi, Mi. Ryan kan hanya menurut.’’ Naik turun kasur. Mengitari sofa berkali-kali demi menghindari Valerie. Sukses membuat keringat Ryan mengucur deras.‘’Enggak. Kalian berdua, papi sama anak sama saja!’’ Kali ini Valerie mengejar keduanya sekaligus karena berada di arah yang sama.‘’Mami, Ryan capek. Udahan ya, Mi.’’ ‘’Mami nggak akan berhenti sebelum kalian menarik kata-kata tadi.’’‘’Papiiii…’’ Anak kecil itu merengek, meminta pembelaan Leo. Sebab karena ulahnya lah Valerie jadi seperti macan buas seperti ini.‘’Ryan, jangan mau di suruh-suruh mami!’’ teriak Leo dari depan.‘’Tapi Ryan capek, Pi. Ini semua gara-gara papi!’’ serunya kesal. Valerie senyum-senyum sendiri melihat Ryan ingin menyerah. Sangat menggemaskan ditambah wajah lucunya tampak sangat letih.‘’Kan enak, Nak,