Tak ada yang mengalah untuk saling buka suara setelah perdebatan saat mereka meninggalkan rumah tadi. Fahri fokus ke jalanan yang masih saja padat meski malam telah menjelang. Jalan Margonda memang tak pernah sepi, tak memandang hari. Baik di hari biasa maupun akhir pekan. Namun, kemacetan tak menyurutkan tekad Fahri untuk menyeret Dinda memeriksakan diri ke sebuah klinik yang khusus menangani masalah kesuburan pasangan suami istri. "Menurut informasi yang uda dapat, tingkat keberhasilan klinik ini cukup tinggi lho, Nda." Fahri akhirnya mengalah membuka suara. Dia sudah terbiasa mendengar Dinda berceloteh tak tentu arah, rasanya mendadak gila didiamkan oleh istri yang cerewetnya sebelas dua belas dengan uminya itu. Dinda hanya mendengkus pelan. Fahri membuang napas berusaha meredakan gemuruh aneh yang terasa hendak meledak di dadanya. Dia bukan lelaki yang bisa mencari topik percakapan jika lawan bicaranya juga irit bicara. Selama ini Dinda yang selalu berinisiatif mengajaknya berb
"Tidak ada masalah yang serius. Hanya mungkin memang belum waktunya saja. Intensitas berhubungan bagaimana?" tanya dokter yang menangani mereka setelah membaca hasil pemeriksaan Dinda dan Fahri. "Kalau ikhtiarnya tiap hari, Dok!" Fahri tersenyum bangga. Dokter yang menangani mereka, tertawa mendengar jawaban Fahri. "Kalau bisa jangan tiap hari juga, Pak. Karena kualitas spermanya jadi nggak bagus kalau tiap hari."Fahri melongo. Sementara Dinda melipat bibir untuk menahan tawanya melihat ekspresi Fahri. Sejenak lupa rasa kesalnya terhadap lelaki itu. "Delapan bulan masih tergolong baru, kok. Di bawa santai aja," pesan sang dokter seakan turut membantu memperkuat alibi Dinda. "Tuh, kan Uda. Nda bilang juga apa. Uda nggak sabaran. Nda mau kita pacaran dulu aja baru punya anak. Nanti kalau udah punya anak bakal kangen berduaan, lho," tukas Dinda begitu mereka keluar dari ruang periksa. Fahri tak menyahut. Jika mengesampingkan ego, Fahri setuju dengan apa yang dikatan Dinda itu bena
Pagi ini Dinda kembali menyiapkan sarapan dengan pakaian yang sudah rapi. Mengenakan kemeja berwarna coklat pastel, dipadukan kerudung dan celana palazzo coklat tua. Polesan riasan tipis membuat wajah yang beberapa hari ini selalu terlihat diliputi awan mendung itu berubah sedikit cerah. Iya, sedikit cerah, karena kali ini Dinda tak seeksprerif biasa. Fahri tak tahan untuk tak memperhatikan wajah datar Dinda saat menghidangkan sarapan. Kembali niat untuk menggoda Dinda terbersit dalam benaknya. "Kalau ngelayanin suami, senyum dikit gitu, Nda. Jangan pasang muka sepet gitu, kan uda ngeliatnya juga sepet," sergah Fahri sembari memberikan senyum manis yang jarang-jarang ia tunjukkan pada Dinda. "Jangan Uda, nanti Uda kena diabet," sahut Dinda sekenanya. Kening Fahri berkerut. Dinda selalu mempunyai jawaban yang membuat ia harus berpikir lebih. "Soalnya senyum Nda manis," imbuh Dinda penuh percaya diri, sebelum Fahri melontarkan pertanyaannya. Fahri tersedak mendengar jawaban Dinda.
Dinda menyusut ujung matanya yang mendadak basah. Setiap kali melepas Fahri seperti ini, hatinya merasa takut. Takut jika suatu hari Fahri tak lagi kembali. Takut jika nantinya Fahri kembali mengejar masa lalunya seperti drama-drama yang ia tonton selama ini. Semakin Dinda berusaha untuk mencegah dirinya tak jatuh cinta sebelum Fahri mencintainya, semakin dalam perasaan Dinda pada lelaki yang telah mengambil semua yang berharga dari dirinya itu. "Nda! Ngapain bengong di situ?" Dinda terkesiap saat menyadari sebuah sedan hitam metalik yang ia kenal pemiliknya itu berhenti di hadapannya. "Eh, Uda Gibran." Dinda balas menyapa dengan senyum lebarnya. "Nda lagi ngitung mobil yang lewat, kali aja nanti ditanya pas interview," imbuh Dinda sekenanya. Gibran terbahak mendengar jawaban Dinda. Perempuan itu tak berubah, masih saja suka melontarkan jawaban yang tak masuk akal. "Ya sudah, jangan lama-lama ngitungnya, ntar lagi udah mau dimulai," pungkas Gibran sembari melirik jam di pergelang
Hal ditakutkan Fahri akhirnya terjadi juga saat Dinda pagi ini berkata, "Uda Nda lulus tesnya." Dengan mata merebak Dinda reflek memeluk dan bebenamkan wajahnya di dada Fahri. Hatinya terlalu bahagia, hingga lupa rasa canggung yang terkadang masih saja ada di antara mereka. Sesaat sebelum Dinda membenamkan wajahnya, Fahri melihat mata istrinya itu basah, tetapi Fahri dapat melihat binar bahagia di mata itu. Tadinya ia ingin melontarkan kalimat tajam seperti biasa, mengutarakan rasa berat yang ia rasakan untuk melepas Dinda bekerja di luar rumah. Namun, kali ini mulutnya sedikit berbaik hati. Dengan mengatakan, "Selamat, Nda." Tak hanya itu, tangan Fahri bergerak begitu saja mengusap punggung Dinda dan melabuhkan kecup di puncak kepala yang masih membenam nyaman di dadanya. Seperti ada hangat yang ia rasa saat tangan mungil Dinda melingkar di sekililing tubuhnya. Aroma shampo yang melekat di helaian rambut Dinda memenuhi rongga hidungnya, menghadirkan rasa tenang yang terasa asing. F
"Nda bingung deh sama Uda," tukas Dinda setelah hening panjang yang mencekam di sepanjang perjalanan mereka menuju Bandung sore itu. "Sebenarnya, Uda sayang nggak sih, sama umi?"Fahri yang tengah fokus ke jalanan, menoleh sekilas pada Dinda, kemudian kembali menatap jalan raya bebas hambatan yang mulai memadat. Pemandangan akhir minggu yang sudah lumrah menuju luar kota, terutama menuju kota Bandung. "Ya sayang, lah. Makanya uda mau nikah sama Nda walaupun kepaksa."Dinda manyun. Walaupun ia sudah terbiasa dengan kalimat itu, tetapi hatinya masih saja memerih setiap kali Fahri mengungkit masalah perjodohan mereka. "Kalau Uda sayang, kenapa mukanya selalu kesal begitu setiap kali umi suruh pulang ke Bandung.""Nda masih belum paham juga alasan uda malas pulang ke Bandung?""Iya paham.""Terus kenapa nanya terus, sih!""Ya ... maksud Nda, kalau umi nanya lagi masalah anak, bilang aja, sih, kita masih usaha. Nggak usah dipikirin.""Kita? Kayaknya uda aja deh yang usaha sendiri—""Ih! Te
Dinda tengah membantu Bu Mus mencuci piring bekas pakai pada saat acara makan malam tadi ketika Fahri memanggil. "Ayo kita jalan," ajak Fahri begitu Dinda mendekat sembari mengeringkan tangannya pada baju. Kening Fahri berkerut melihat ke arah Dinda."Nda jorok banget sih! Memangnya nggak ada kain lap? Malah ngeringin tangan ke baju gitu?" "Kurang afdol kalau nggak dikeringin pakai baju," sahut Dinda sekenanya. Fahri mencebik, memilih tak mempermasalahkan lebih lanjut, karena pada akhirnya Dinda pasti mempunyai banyak jawaban untuk membalas perkataannya, yang ujung-ujungnya akan membuat dirinya naik darah. "Jalan, yuk!" Fahri mengulang kembali mengajak istrinya itu. "Kemana?""Ke Dago.""Ih, nggak mau Dago kan jauh, Nda capek jalan kaki.""Siapa yang ngajakin jalan kaki Markonah! Ya naik mobil!" sungut Fahri merasa gemas. "Ih, Uda. Mulai lagi deh ingat si Markonah—""Nda, jangan mulai lagi, deh. Buruan sana ganti baju, uda mau ngajak Nda malam mingguan," potong Fahri cepat."Wah!
Jam di pergelangannya sudah menunjukkan pukul 11.10 begitu mobil Fahri berhenti di parkiran sebuah kafe yang terletak di dataran tinggi kota Bandung. Kafe yang sering dijadikan base camp oleh para sahabat Fahri setiap kali mereka bertemu. Angin yang bertiup, menambah rasa dingin udara malam. Dinda memeluk tubuh dengan kedua tangannya untuk mengusir dingin yang menyapa."Pakai ini." Tiba-tiba saja udara dingin berubah hangat, tatkala jaket jeans yang dikenakan Fahri telah berpindah ke pundak Dinda. "Tapi Uda ntar kedinginan.""Udah biasa."Dinda hendak mengatakan sesuatu, tetapi langsung dipotong Fahri. "Nggak usah kege-eran, kalau kamu sakit, aku yang repot." Lalu Fahri meninggalkannya begitu saja, melangkah ke dalam bangunan kafe tanpa repot-repot menggandeng tangan istrinya. Dinda memanyunkan bibir. "Siapa yang ge-er."Begitu pintu kafe terbuka dan kedua suami istri itu melangkah masuk. Mereka disambut riuh sapaan para sahabat Fahri."Woi! Datang juga si kampret!" teriak Gustaf me