Pukul sembilan lima belas saat Aleena tiba di satu cafe yang menjadi tempat janji temunya dengan Syifa.
Gadis itu duduk diam di pojok ruangan dengan ponsel yang ada dalam genggamannya. Ia masih saja berfokus pada benda pipih tersebut sampai-sampai tidak sadar jika sudah ada orang lain yang duduk di hadapannya. Aleena baru menyadari hal itu saat ia merasakan seseorang tengah memperhatikannya dengan lekat. "Lama amat, s," perkataan Aleena terhenti saat ia menyadari jika orang yang duduk di hadapannya ini bukanlah Syifa. Melainkan seorang lelaki dengan postur tubuh tegap, dan juga rambut hitam mengkilat yang ia buat ke samping kanan. Pria itu tersenyum cerah dan mengulurkan tangannya, mengajak Aruna untuk berjabat tangan. "Nama saya Aksa, apa benar kamu yang bernama Aleena?" tanya nya. Bahkan suaranya yang sedikit berat serasa menyempurnakan penampilannya kini. Menurut Aleena, pria di hadapannya ini mirip dengan Aktor Korea yang dramanya belum lama ia tonton. Dengan ragu Aleena menjabat tangan si lelaki, ia menyebutkan namanya dengan suara lirih. "Aleena." Lelaki bernama Aksa ini tersenyum tipis, ia menoleh ke sekitar sebelum mendekatkan wajahnya ke arah Aleena yang secara otomatis memundurkan tubuhnya. Hampir saja dirinya memberikan pukulan keras pada pria di hadapannya ini. "Besok, temui saya di sini pukul sepuluh pagi. Ada hal yang ingin saya sampaikan," ucapnya tanpa aba-aba. Ia kemudian berdiri dan beranjak, meninggalkan Aleena yang masih terdiam kebingungan di tempatnya. Tidak lama setelah kepergian Aksa, Syifa datang dengan tergopoh. Wanita dengan celana jeans juga baju lengan panjang itu segera menggantikan Aksa duduk di depan Aleena. "Gimana? Cakep, 'kan?" tanyanya tiba-tiba. Aleena yang masih shock dengan kehadiran Aksa kini dibuat mengernyit oleh pertanyaan Syifa. Apa kehadiran Aksa ada hubungannya dengan Syifa? "Apaan?" "Cowok tadi, cakep, 'kan? Tajir juga loh dia. Kalo kamu mau nikah sama dia, auto terjamin hidupmu. Tinggal ongkang-ongkang kaki bisa beli apa aja yang dimau," ujar Syifa dengan mata berbinar. Benar dugaannya. Kehadiran Aksa memang ada sangkut pautnya dengan Syifa. Apa wanita ini coba untuk menjodohkannya lagi? "Sil, please, lah. Aku masih bisa cari suami sendiri, nggak usah kamu jodoh-jodohin sama orang asing. Apalagi sampe kamu kayak begini, kamu tahu, aku justru ngerasa kalo saat ini kamu lagi ngerendahin aku," jawab Aleena dengan tegas. Ia memang tipe orang yang tidak suka basa-basi. Ia akan mengatakan apa yang memang ingin ia katakan. "Iya, aku tahu. Tapi niatku cuma biar kamu cepet nyusul aku, aku udah pengen liat Rendy punya temen main," ucap Syifa. Aleena hanya bisa menghela napas. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali bagi Syifa untuk menjodohkannya dengan beberapa lelaki yang ia kenal. Jika dihitung ini adalah kali ke empat dalam sebulan Syifa menjodohkannya. Meski pada akhirnya semuanya gagal karena penolakan Aleena. "Aku paham niat kamu baik, paham banget malah. Tapi aku harap kamu juga ngerti gimana posisiku sekarang, udah cukup aku dapet tekanan dari keluarga dan orang tua aku soal pernikahan. Ketemu sama kamu pada awalnya aku pikir bisa buat aku sharing soal keluh kesah aku akan hal ini, tapi ternyata pemikiran ku kurang tepat," Aleena mendorong kursi yang di dudukinya. Gadis itu berdiri dan tersenyum tipis ke arah sang kawan sebelum melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah ia berbalik dan berkata. "Mungkin apa yang kamu lakuin emang bertujuan baik, tapi nggak semua orang bisa membedakan itu sebagai kebaikan atau justru penghinaan." *** Sekali lagi hari berlalu dengan membosankan. Hari ini pun, Aleena baru menyelesaikan tugasnya pada pukul tujuh malam. Ia sudah duduk di depan laptop miliknya selama lima jam non-stop, dan saat ini ia ingin merebahkan dirinya di atas ranjang barang sebentar. Baru saja Aleena hendak memejamkan mata, suara ketukan pintu membuatnya kembali terbangun. "Masuk aja, nggak dikunci," katanya. Pintu terbuka, sang Ibu masuk ke dalam kamar Aleena dengan senyum mengembang lebar juga wajah yang terlihat cerah bukan main. Wanita itu kini duduk di ambang ranjang, menarik tangan Aleena yang saat itu masih berbaring di atas ranjang dengan wajah terheran. "Kenapa sih, Mah?" tanya Aleena dengan satu alis terangkat, merasa heran. Sang Ibu hanya tersenyum tipis, wanita itu kemudian meminta agar Aleena cepat-cepat berganti pakaian dan bersiap-siap. "Udah, kamu nggak usah pura-pura nggak tahu. Kamu ini pake ngasih kejutan segala, sekarang mendingan kamu mandi terus dandan yang cantik. Tapi jangan lama-lama, Mama tunggu di bawah, ya," ujar sang Ibu masih dengan senyum cerah nya. Aleena yang masih saja merasa heran, juga kebingungan. Memilih untuk menuruti perkataan sang Ibu. Ia berganti pakaian dengan sebuah dress biru laut selutut juga memberi riasan sedikit pada wajahnya. Ia juga sengaja menggerai rambutnya karena lebih simpel dan cepat. Belum sempat Aleena membuka pintu, pintu tersebut lebih dulu dibuka oleh seseorang. Kali ini bukan sang Ibu, melainkan Syifa. Wanita dengan anak kecil laki-laki yang ia tuntun itu tersenyum simpul ke arah Aleena. Sebelum membiarkan Aleena bertanya atau mengatakan sesuatu, Syifa lebih dulu menggandeng lengan sang kawan dan membawanya ke lantai satu. Langkah keduanya pelan, sampai tidak lama kemudian dua wanita itu sampai di ruang tamu. Tempat di mana sudah ada empat orang yang sedang menunggu mereka. "Dia," batin Aleena saat matanya tanpa sengaja melihat atensi pria yang terasa tidak asing. Gadis itu diarahkan untuk duduk di antara sang Ibu dan Syifa. Sementara matanya sendiri masih berfokus pada pria yang tengah tersenyum simpul di hadapannya. Pria dengan setelan jas rapi juga rambut yang nampak serupa itu masih belum mengalihkan pandangannya dari Aleena, sampai kemudian sebuah suara menginterupsi nya. "Jadi, tujuan kedatangan kami ke mari adalah untuk melamar Nak, Aleena. Kami ingin meminang Nak, Aleena untuk anak kami, Aksa," ucap seorang pria baya dengan pakaian batiknya. Aleena menoleh cepat, matanya melotot dengan alis terangkat ke atas. Apa katanya? Ia tidak salah dengar 'kan? "Maaf? Apa maksudnya dengan melamar?" Aleena bertanya dengan suara lirih. Berusaha untuk terlihat se normal mungkin. "Iya, saya ingin kamu jadi istri saya." Aksa, pria di hadapan Aleena menginterupsi dengan cepat. Aleena menatap pria itu dengan ekspresi beragam. Mulai dari aneh, heran, kebingungan juga amarah. Tapi seolah kebal, Aksa sama sekali tidak merasa terganggu dengan tatapan mata Aleena yang terlihat begitu mengesalkan. "Tapi kita berdua tidak saling mengenal, jadi mustahil untuk,-" lagi-lagi perkataan Aleena disela. "Itu bukanlah masalah, cinta dan pengenalan bisa dilakukan setelah kalian bertunangan," kali ini bukan Aksa yang menjawab, melainkan sang Ibu. "Kalian bisa pacaran setelah menikah, pacaran halal," imbuhnya. Aleena menghela napas kasar. Ia sempat memberikan Syifa tatapan tajam karena ia yakin wanita itu memiliki andil dengan apa yang terjadi sekarang. "Permisi. Apa boleh saya berbicara dengan Aksa secara empat mata?" Aleena bertanya. Setelah mendapat anggukan, gadis itu menarik dengan paksa tangan Aksa ke arah dapur. "Apa maksud kamu?" tanya Aleena to the point. "Apa yang mana?" Aksa justru bertanya balik, membuat Aleena mengerang frustasi. "Apa maksud kamu tiba-tiba ngelamar aku? Kita nggak saling kenal! Bahkan kita cuma ketemu satu kali dan itupun tanpa sengaja. Lalu, kamu ngelamar aku dan minta aku buat jadi istri kamu? Apa kamu nggak waras?" semprot Aleena dengan wajah kesal. Berbeda dengan Aleena, reaksi yang diberikan Aksa hanya sebuah senyum tipis. Pria itu tampak santai dengan ocehan gadis di hadapannya itu. "Apa kamu ingat saat saya memintamu datang ke Bear Cafe kemarin? Sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya katakan soal apa yang terjadi hari ini, tapi kamu nggak dateng. Jadi saya melakukan ini dengan terpaksa."Persiapan pernikahan dilakukan secara kilat, bahkan Aleena baru tahu jika ternyata orang tua Aksa adalah seorang pengusaha yang dulunya menjadi salah satu relasi bisnis mendiang sang Ayah.Wajah Aleena sejak tadi ditekuk, ia benar-benar merasa bosan sekaligus kesal sekarang. Ia sudah berada di butik tempat dirinya mencoba gaun-gaun untuk pernikahannya bersama Aksa nanti.Sudah lebih dari satu jam ia mencoba berbagai model gaun, namun masih belum menemukan yang dirasa cocok.Sebenarnya yang memutuskan cocok atau tidaknya adalah Aksa. Pria itu yang memutuskan segala hal dan mengabaikan tiap-tiap aksi protes maupun penolakan yang dilakukan oleh Aleena.Ini sudah kesekian kalinya Aleena mencoba gaun-gaun itu. Gadis itu berdiri di belakang tirai dengan menggengam se bucket bunga dengan wajah muram.Tirai terbuka, menampakkan Aleena dengan gaun berekor panjang berwarna putih. Gaun dengan model kemben berhias manik-manik itu tampak begitu pas di tubuhnya, memamerkan leher jenjangnya dengan b
Pertanyaan Aleena tidak mendapatkan jawaban apapun, Aksa hanya diam sambil terus melihat ke arahnya dengan pandangan sulit diartikan."Tapi, kenapa harus aku? Kamu pikir hidupku ini sesuatu yang bisa kamu jadiin alasan buat nutupin kalo kamu nggak bisa nikah sama perempuan?!" Aleena tentu saja merasa tidak terima. Aksa memanfaatkan dirinya demi keuntungannya sendiri."Asal kamu tahu, ya. Tuan Aksa Bumantara, yang terhormat. Hidupku bukan mainan yang bisa dengan gampang kamu atur sesuka hati kamu, bukan juga lego yang bisa kamu bongkar pasang. Hidupku aku yang menentukan!"Tangan Aleena mengepal, matanya memerah karena menahan tangis. Entah kenapa perasaanya benar-benar tidak terkontrol untuk saat ini.Ia merasa benar-benar terluka, tersinggung atas apa yang dilakukan Aksa padanya saat ini. Memang benar, dirinya agak kewalahan dengan tuntutan orang-orang di sekitarnya untuk segera menikah. Tapi bukan berarti orang asing seperti Aksa boleh untuk memanfaatkan keadaan dengan menggunakan
Aksa tertawa kecil melihat reaksi Aleena yang panik. Ia kemudian menghampiri gadis itu dan merangkul bahunya dengan senyum yang terkembang jelas.Sementara Aleena sendiri hanya bisa melotot sambil melihat ke arah Aksa dengan wajah terkejut bukan kepalang. Gadis itu ingin melakukan aksi protes atas apa yang dilakukan Aksa, namun bisikkan lirih dari pria itu membuatnya urung melakukannya."Ikuti saja, buat semuanya terlihat natural atau Nenek akan curiga," bisik Aksa dengan suara lirih.Aleena kemudian mengalihkan fokusnya ke arah ruang tamu, di mana ada sang Ibu dan seorang wanita baya yang diketahui sebagai Nenek, Aksa.Wanita dengan kebaya merah juga konde khas Jawa itu melihat Aleena tanpa ekspresi. Sudah sejak tadi wanita baya itu memperhatikan Aleena dari atas sampai bawah dan mengulanginya beberapa kali."Ibu baru tahu kalo ternyata Nak Aksa ini cucunya, Oma Anya," ucap Ibu Shafira (Ibu Aleena) menginterupsi.Aksa hanya membalas hal tersebut dengan senyum tipis. Tapi tidak dengan
Malam hari rumah terasa begitu sunyi. Tidak ada suara televisi seperti biasanya, hanya terdengar suara jarum jam yang mengisi suasana rumah.Aleena berguling sekali lagi di atas ranjang. Ia memeluk boneka kucing biru di tangannya dengan erat.Sebelumnya, setelah ia selesai menyantap mie instant yang dibuatkan Aksa, dirinya berniat meminta maaf secara langsung pada pria itu.Namun saat Aleena hendak mendatangi Aksa yang kebetulan tengah berdiam di ruang televisi, langkahnya terhenti.Saat itu Aksa mendapatkan panggilan telepon dari seseorang dan bergegas pergi. Bahkan pria itu mengacuhkan dirinya saat ia memanggil pria itu beberapa kali."Dapet telepon dari siapa sih, kayaknya penting banget," gumam Aleena.Ia kembali membalikkan tubuhnya menjadi telentang, menghadap langit-langit kamar, sebelum kemudian bunyi kendaraan mengalihkan perhatiannya.Dengan bergegas Aleena mengintip dari jendela kamar. Sebuah mobil hitam tampak terparkir di depan rumahnya.Aleena tidak mengenali siapa si pe
Dua mata itu terbuka perlahan, tubuhnya terduduk pada kepala ranjang dengan satu tangan yang memegangi kepala.Kepalanya terasa nyeri, pening juga berdenyut. Atensi pria itu kemudian teralih pada sebuah kain yang jatuh ke atas pangkuan.Kain itu basah. Ia menengok ke arah nakas tempat tidur, mendapati sebuah baskom berisikan air yang ia asumsikan sebagai satu set alat kompres dengan kain dalam tangannya.Mengingat apa yang telah terjadi, Aksa baru saja menyadari jika hal terakhir yang ia ingat sebelumnya adalah, saat dirinya menghampiri Aleena di dapur pada pagi hari.Ia masih bisa mengingat raut kebingungan gadis itu, juga aroma tubuhnya sebelum dirinya kehilangan kesadaran.Tapi saat ini, ia terbaring di atas ranjang. Di kamar tamu yang sebelumnya memang ia tempati."Siapa yang bawa saya ke mari. Aleena? Badan dia kecil begitu, apa mungkin kuat?" monolog Aksa seorang diri.Selagi pria itu berpikir, pintu kamar bercat putih itu terbuka. Sosok Aleena muncul dari sana dengan membawa na
"Mikir apa sih aku, ini!" gumam Aleena sambil memukul pelan kepalanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya sesekali sambil menarik napas pelan, mencoba untuk menormalkan detak jantungnya sendiri yang mendadak berdegub dengan cepat."Fokus, Aleena. Itu cuma kecelakaan. Lagipula Aksa nggak bakalan inget kok," ujarnya pada dirinya sendiri.Saat gadis itu akan berbalik, ia seketika memekik saat seorang lelaki sudah berdiri di belakangnya dengan dua tangan yang terlipat di depan dada."Juan! Ngagetin, tahu!" seru Aleena marah.Sedangkan lelaki dengan hoodie berwarna abu-abu itu hanya terkekeh. Ia melongok ke arah wastafel di mana ada mangkok juga gelas bekas Aksa beberapa saat yang lalu."Dia masih di sini?" pria itu bertanya.Aleena mengangguk sekenanya, ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan duduk sambil memangku dagu.Juan mengikuti, ia duduk tepat di sebelah sang kawan."Iya, malah lagi sakit sekarang," jawab Aleena lirih.Omong-omong, Juan adalah tetangga sekaligus teman Aleena
Hari berikutnya saat Aleena terbangun kaget. Ia terkejut karena suara berisik seperti peralatan masak yang saling beradu.Dengan mata setengah terpejam ia menuruni tangga, sesekali menguap juga menggaruk rambutnya sendiri yang terlihat seperti singa jantan.Langkah setengah terseret ia bawa ke arah dapur, bersembunyi di balik tembok saat netranya tanpa sengaja melihat sosok pemuda berbahu lebar tengah berkutat dengan peralatan dapur. Tentu saja Aleena tahu siapa sosok lelaki dengan punggung tegap itu, ia adalah Aksa.Namun yang membuatnya merasa heran, sedang apa pria itu pagi-pagi sekali ada di dapur. Memangnya ia sudah baikan?"Kemari saja dan cicipi masakanku," kata pria itu tiba-tiba.Ia masih sibuk berkutat dengan beberapa makanan di depannya, berbalik dengan celemek abu-abu yang menggantung di tubuh tetapnya juga dua mangkok berisi makanan di masing-masing tangan.Untuk sejenak Aleena terdiam. Melihat Aksa dalam balutan celemek membuat pria itu terlihat berbeda.Maksudku, sudah
"Aleena! Aksa!"Wanita baya itu berseru. Dua manusia lainnya memisahkan diri dengan cepat, Aleena segera merapikan rambutnya dan Aksa hanya bisa berdeham sambil memalingkan wajah ke arah lain."Apa yang sudah kalian lakukan? Ibu meninggalkan kalian belum lama dan kalian sudah berbuat…."Perkataan wanita baya itu menggantung. Namun dilihat dari ekspresinya saja Aleena sudah mengerti dengan teramat jelas apa yang Ibunya maksud.Ia menggeleng dengan segera, juga menggoyangkan tangan dengan gestur penolakan dan membentuk tanda silang di depan dada.Membantah mentah-mentah apa yang jadi asusmsi wanita yang melahirkannya sekarang ini."Tidak, bu. Sungguh kami tidak melakukan…"Belum selesai Aleena menjelaskan, Aksa sudah menyela lebih dulu. Dengan gaya sok pahlawan (ini menurut Aleena) pria itu mengambil tempat ke depan si wanita. Membuat Aleena bisa mengukur tinggi badannya yang hanya sampai bahu Aksa saja."Maafkan saya, Bu. Semuanya adalah kesalahan saya, jadi biarkan saya bertanggung j