"Kamu kapan nikah?"
Pertanyaan yang paling Aleena benci saat acara kumpul keluarga seperti sekarang. Tiap orang yang mendatanginya pasti hanya akan bertanya tiga hal padanya. "Gendutan, ya sekarang." "Kerja di mana?" Dan ada satu yang paling Aleena benci. "Kamu kapan nikah?" Menurutnya, pertanyaan seperti itu sudah terlalu basi untuk ditanyakan. Apalagi di waktu momen lebaran seperti sekarang. Momen di mana semua orang saling meminta maaf dan saling memaafkan atas segala kesalahan. Namun justru tidak jarang, sebagian dari mereka setelah meminta maaf tanpa sadar kembali menggoreskan luka di hati orang lain. Ibaratnya, percuma saja meminta maaf tapi ujung-ujungnya tetap menyakiti hati. Dan setelah Aleena mendengar pertanyaan yang terlontar dari Tantenya, entah yang keberapa kali. Dirinya hanya bisa tersenyum palsu. Ia sudah terlalu malas untuk menanggapi ataupun sekadar menjelaskan jika dirinya masih belum memiliki niat untuk menikah dalam waktu dekat. "Cepatan nikah, Nak. Umurmu udah 25 tahun, 'kan sekarang. Masa kalah sama sepupu mu, yang 20 tahun aja udah lagi hamil," perkataan Tante Diana lagi-lagi hanya dibalas senyum tipis oleh Aleena. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang dimaksud Tantenya itu. Seorang perempuan dengan gamis berwarna baby blue juga perut buncit itu tampak tersenyum saat beberapa Tante juga kerabat lain menghampiri dan mengelus baby bump nya. Aleena tentu ingat betul bagaimana salah satu sepupu cantiknya itu sampai bisa menikah di usia yang begitu muda. "Kebobolan." Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah pasangan telah lebih dulu memiliki keturunan daripada ikatan pernikahan itu sendiri. Aleena tentu masih ingat saat dirinya yang harus menemani sang sepupu ke Kantor Urusan Agama untuk mengucapkan janji sumpah pernikahan. Aleena jadi berpikir, apa lebih memalukan saat seorang perempuan dewasa belum menikah, ketimbang seseorang yang mendapatkan 'bonus' lebih dulu? Aleena tentu saja tidak bermaksud membandingkan. Ini hanya pemikirannya saja sudah merasa muak dengan pertanyaan seputar pernikahan. Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah perlombaan yang mengharuskan untuk sampai di garis finish lebih dulu. Semuanya bergantung dari tiap-tiap orang itu sendiri. Ada yang memang sudah siap dengan kehidupan pernikahan di usia muda, tapi ada juga yang masih ingin menikmati hidup dan belum mau untuk terikat dengan hubungan seserius pernikahan. Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tentu kebanyakan orang menginginkan pernikahan mereka hanya akan terlaksana sekali dalam hidupnya. Begitu pula dengan Aleena. Trust issue soal pernikahan, cerita pengalaman teman-temannya yang telah gagal juga melihat sendiri bagaimana kehidupan pernikahan sepupunya. Hal itu sudah cukup membuat Aleena kembali berpikir masak-masak untuk menikah di usia muda. Ia tidak ingin menyesal saat membuat keputusan besar dalam keadaan tidak siap. Kehidupan pernikahan miliknya adalah keputusannya, bukan orang lain. "Ngelamun aja, kamu. Udah sungkem sama Eyang, belum?" Sebuah tepukan halus mendarat di bahu Aleena. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita dengan hijab coklat muda tengah tersenyum ke arahnya. "Udah, dong," jawab Aleena pendek. "Kenapa nggak gabung di dalem, malah nongkrong sendirian di teras begini." Aleena menoleh sebentar ke arah Tante Rindu yang masih tersenyum manis ke arahnya. Wanita itu tahu apa yang tengah dipikirkan keponakannya ini. Tante Rindu adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya orang yang bisa mengerti Aleena sekarang. Tante Rindu juga satu-satunya orang di rumah itu yang tidak menanyakan hal-hal aneh pada Aleena sejauh ini. Dan karena alasan itulah Aleena merasa nyaman. Ia pernah beberapa kali bercerita pada Tante Rindu soal keluhannya itu. "Nggak usah dipikirin kalo ada yang nanya soal kapan kamu nikah. Pernikahan bukan lomba balap, kok. Bukan soal siapa yang menikah lebih dulu, tapi soal siapa yang benar-benar siap dengan kehidupan setelah pernikahan. Itu yang lebih penting." "Tapi nggak semua orang bisa punya pikiran se terbuka, Tante. Bahkan, Mama aja sering nanya kapan aku nikah, padahal Mama tahu kalo aku masih belum ada niatan buat ke situ. Aku sampe capek kalo Mama nanya soal pernikahan," tanpa sadar Aleena mengeluh. Tante Rindu mengusap perlahan kepala Aleena. Wanita itu tentu tahu perasaan gadis muda di sampingnya ini, karena dulu ia 'pun mengalaminya. "Tahu, nggak. Dulu Tante juga sama kayak kamu, loh." Aleena menoleh cepat, bertanya lewat sorot matanya. Menuntut agar wanita yang lebih dewasa menjelaskan lebih jauh soal perkataannya. "Kamu pasti nggak nyangka kalo dulu, Tante nikah sama Om Bima pas umur tiga puluh tahun," ucap Tante Rindu dengan senyum simpul. Ekspresi yang ditunjukan Aleena membuat Tante Rindu terkekeh, jelas gadis itu terkejut dengan perkataannya. "Dulu, Tante sampe mau dijodohin sama seorang ustadz gara-gara nggak kunjung menikah, padahal temen-temen dan saudara Tante udah pada menikah dan punya anak. Tapi tante nggak mau. Kamu tahu apa alasannya?" Aleena menggeleng. Kisah Tante Rindu sejauh ini sama dengannya. "Karena Tante percaya, cinta sejati dan kebahagiaan cuma berasal dari diri sendiri. Mungkin kita bisa bikin orang lain mengubah cara pandang mereka setelah kita menikah ataupun setelah kita punya anak. Tapi hal itu nggak menjamin kalo kita bakalan bahagia," Tante Rindu menjeda kalimatnya. Ia menoleh ke arah Aleena yang masih menatapnya dan tersenyum kecil. "Kebahagiaan yang sebenarnya, cuma bisa ditentuin sama diri sendiri. Meski kata orang terlambat, tapi sebenarnya enggak. Bukan terlambat, hanya aja waktu kita dan mereka berbeda." Melihat senyum Tante Rindu, membuat senyum Aleena turut menggembang. Ia paham dengan apa yang dimaksud Tante Rindu. Jodoh tidak akan lari ke mana. Tidak perlu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena tiap orang punya jalan mereka masing-masing. Jika saat ini kamu belum bisa meraih apa yang telah orang lain raih, itu bukan berarti kamu gagal. Hanya saja memang belum saatnya kamu untuk mendapatkannya, atau bisa juga semesta ingin kemudian bekerja lebih keras lagi untuk hal itu. *** Pagi-pagi sekali Aleena dikejutkan dengan suara dari sering ponsel miliknya yang terasa memekakkan. Bahkan ia rasa jika sering teleponnya saat ini lebih berisik ketimbang jam weker yang biasanya membangunkannya tiap pagi. Tertera nama Silvia di layar panggilan. Dengan agama malas Aleena mengangkat panggilan telepon dari kawan semasa SMP nya itu. "Beb, ketemuan yuk. Kangen, nih," suara dari seberang panggilan terdengar. Aleena berdecak, ia menoleh ke arah jam weker nya. Tertera pukul setengah lima pagi, dan Silvia sudah mengajaknya untuk bertemu? Apa tidak salah? "Ini tuh masih pagi pake banget, gila. Ngajak ketemuan subuh-subuh begini," dumal Aleena dengan suara agak keras, membuat Silvia tertawa di seberang panggilan. "Ya, nggak sekarang dong, Beb. Nanti jam sepuluhan, mau ya. Aku udah kangen banget nih sama kamu," suara Silvia terdengar merengek. Aleena hanya bisa menghela napas keras. Jika sudah begini ia tidak bisa melakukan apapun selain mengiyakan permintaan sahabatnya itu. Karena jika ia tetap menolak, maka Silvia juga akan semakin menjadi. Bahkan wanita yang telah menjadi seorang Ibu dari dua anak itu masih saja suka merengek pada Aleena jika ia menginginkan sesuatu dari gadis itu. "Iya, iya. Bawel, ah. Udah, aku mau sholat subuh dulu." "Oke, Beb. Sampai jumpa nanti ye." Panggilan terputus. Aleena yang saat ini sudah tidak lagi mengantuk, memutuskan untuk bersiap menunaikan sholat subuh.Pukul sembilan lima belas saat Aleena tiba di satu cafe yang menjadi tempat janji temunya dengan Syifa.Gadis itu duduk diam di pojok ruangan dengan ponsel yang ada dalam genggamannya.Ia masih saja berfokus pada benda pipih tersebut sampai-sampai tidak sadar jika sudah ada orang lain yang duduk di hadapannya.Aleena baru menyadari hal itu saat ia merasakan seseorang tengah memperhatikannya dengan lekat."Lama amat, s," perkataan Aleena terhenti saat ia menyadari jika orang yang duduk di hadapannya ini bukanlah Syifa.Melainkan seorang lelaki dengan postur tubuh tegap, dan juga rambut hitam mengkilat yang ia buat ke samping kanan.Pria itu tersenyum cerah dan mengulurkan tangannya, mengajak Aruna untuk berjabat tangan."Nama saya Aksa, apa benar kamu yang bernama Aleena?" tanya nya.Bahkan suaranya yang sedikit berat serasa menyempurnakan penampilannya kini. Menurut Aleena, pria di hadapannya ini mirip dengan Aktor Korea yang dramanya belum lama ia tonton.Dengan ragu Aleena menjabat
Persiapan pernikahan dilakukan secara kilat, bahkan Aleena baru tahu jika ternyata orang tua Aksa adalah seorang pengusaha yang dulunya menjadi salah satu relasi bisnis mendiang sang Ayah.Wajah Aleena sejak tadi ditekuk, ia benar-benar merasa bosan sekaligus kesal sekarang. Ia sudah berada di butik tempat dirinya mencoba gaun-gaun untuk pernikahannya bersama Aksa nanti.Sudah lebih dari satu jam ia mencoba berbagai model gaun, namun masih belum menemukan yang dirasa cocok.Sebenarnya yang memutuskan cocok atau tidaknya adalah Aksa. Pria itu yang memutuskan segala hal dan mengabaikan tiap-tiap aksi protes maupun penolakan yang dilakukan oleh Aleena.Ini sudah kesekian kalinya Aleena mencoba gaun-gaun itu. Gadis itu berdiri di belakang tirai dengan menggengam se bucket bunga dengan wajah muram.Tirai terbuka, menampakkan Aleena dengan gaun berekor panjang berwarna putih. Gaun dengan model kemben berhias manik-manik itu tampak begitu pas di tubuhnya, memamerkan leher jenjangnya dengan b
Pertanyaan Aleena tidak mendapatkan jawaban apapun, Aksa hanya diam sambil terus melihat ke arahnya dengan pandangan sulit diartikan."Tapi, kenapa harus aku? Kamu pikir hidupku ini sesuatu yang bisa kamu jadiin alasan buat nutupin kalo kamu nggak bisa nikah sama perempuan?!" Aleena tentu saja merasa tidak terima. Aksa memanfaatkan dirinya demi keuntungannya sendiri."Asal kamu tahu, ya. Tuan Aksa Bumantara, yang terhormat. Hidupku bukan mainan yang bisa dengan gampang kamu atur sesuka hati kamu, bukan juga lego yang bisa kamu bongkar pasang. Hidupku aku yang menentukan!"Tangan Aleena mengepal, matanya memerah karena menahan tangis. Entah kenapa perasaanya benar-benar tidak terkontrol untuk saat ini.Ia merasa benar-benar terluka, tersinggung atas apa yang dilakukan Aksa padanya saat ini. Memang benar, dirinya agak kewalahan dengan tuntutan orang-orang di sekitarnya untuk segera menikah. Tapi bukan berarti orang asing seperti Aksa boleh untuk memanfaatkan keadaan dengan menggunakan
Aksa tertawa kecil melihat reaksi Aleena yang panik. Ia kemudian menghampiri gadis itu dan merangkul bahunya dengan senyum yang terkembang jelas.Sementara Aleena sendiri hanya bisa melotot sambil melihat ke arah Aksa dengan wajah terkejut bukan kepalang. Gadis itu ingin melakukan aksi protes atas apa yang dilakukan Aksa, namun bisikkan lirih dari pria itu membuatnya urung melakukannya."Ikuti saja, buat semuanya terlihat natural atau Nenek akan curiga," bisik Aksa dengan suara lirih.Aleena kemudian mengalihkan fokusnya ke arah ruang tamu, di mana ada sang Ibu dan seorang wanita baya yang diketahui sebagai Nenek, Aksa.Wanita dengan kebaya merah juga konde khas Jawa itu melihat Aleena tanpa ekspresi. Sudah sejak tadi wanita baya itu memperhatikan Aleena dari atas sampai bawah dan mengulanginya beberapa kali."Ibu baru tahu kalo ternyata Nak Aksa ini cucunya, Oma Anya," ucap Ibu Shafira (Ibu Aleena) menginterupsi.Aksa hanya membalas hal tersebut dengan senyum tipis. Tapi tidak dengan
Malam hari rumah terasa begitu sunyi. Tidak ada suara televisi seperti biasanya, hanya terdengar suara jarum jam yang mengisi suasana rumah.Aleena berguling sekali lagi di atas ranjang. Ia memeluk boneka kucing biru di tangannya dengan erat.Sebelumnya, setelah ia selesai menyantap mie instant yang dibuatkan Aksa, dirinya berniat meminta maaf secara langsung pada pria itu.Namun saat Aleena hendak mendatangi Aksa yang kebetulan tengah berdiam di ruang televisi, langkahnya terhenti.Saat itu Aksa mendapatkan panggilan telepon dari seseorang dan bergegas pergi. Bahkan pria itu mengacuhkan dirinya saat ia memanggil pria itu beberapa kali."Dapet telepon dari siapa sih, kayaknya penting banget," gumam Aleena.Ia kembali membalikkan tubuhnya menjadi telentang, menghadap langit-langit kamar, sebelum kemudian bunyi kendaraan mengalihkan perhatiannya.Dengan bergegas Aleena mengintip dari jendela kamar. Sebuah mobil hitam tampak terparkir di depan rumahnya.Aleena tidak mengenali siapa si pe
Dua mata itu terbuka perlahan, tubuhnya terduduk pada kepala ranjang dengan satu tangan yang memegangi kepala.Kepalanya terasa nyeri, pening juga berdenyut. Atensi pria itu kemudian teralih pada sebuah kain yang jatuh ke atas pangkuan.Kain itu basah. Ia menengok ke arah nakas tempat tidur, mendapati sebuah baskom berisikan air yang ia asumsikan sebagai satu set alat kompres dengan kain dalam tangannya.Mengingat apa yang telah terjadi, Aksa baru saja menyadari jika hal terakhir yang ia ingat sebelumnya adalah, saat dirinya menghampiri Aleena di dapur pada pagi hari.Ia masih bisa mengingat raut kebingungan gadis itu, juga aroma tubuhnya sebelum dirinya kehilangan kesadaran.Tapi saat ini, ia terbaring di atas ranjang. Di kamar tamu yang sebelumnya memang ia tempati."Siapa yang bawa saya ke mari. Aleena? Badan dia kecil begitu, apa mungkin kuat?" monolog Aksa seorang diri.Selagi pria itu berpikir, pintu kamar bercat putih itu terbuka. Sosok Aleena muncul dari sana dengan membawa na
"Mikir apa sih aku, ini!" gumam Aleena sambil memukul pelan kepalanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya sesekali sambil menarik napas pelan, mencoba untuk menormalkan detak jantungnya sendiri yang mendadak berdegub dengan cepat."Fokus, Aleena. Itu cuma kecelakaan. Lagipula Aksa nggak bakalan inget kok," ujarnya pada dirinya sendiri.Saat gadis itu akan berbalik, ia seketika memekik saat seorang lelaki sudah berdiri di belakangnya dengan dua tangan yang terlipat di depan dada."Juan! Ngagetin, tahu!" seru Aleena marah.Sedangkan lelaki dengan hoodie berwarna abu-abu itu hanya terkekeh. Ia melongok ke arah wastafel di mana ada mangkok juga gelas bekas Aksa beberapa saat yang lalu."Dia masih di sini?" pria itu bertanya.Aleena mengangguk sekenanya, ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan duduk sambil memangku dagu.Juan mengikuti, ia duduk tepat di sebelah sang kawan."Iya, malah lagi sakit sekarang," jawab Aleena lirih.Omong-omong, Juan adalah tetangga sekaligus teman Aleena
Hari berikutnya saat Aleena terbangun kaget. Ia terkejut karena suara berisik seperti peralatan masak yang saling beradu.Dengan mata setengah terpejam ia menuruni tangga, sesekali menguap juga menggaruk rambutnya sendiri yang terlihat seperti singa jantan.Langkah setengah terseret ia bawa ke arah dapur, bersembunyi di balik tembok saat netranya tanpa sengaja melihat sosok pemuda berbahu lebar tengah berkutat dengan peralatan dapur. Tentu saja Aleena tahu siapa sosok lelaki dengan punggung tegap itu, ia adalah Aksa.Namun yang membuatnya merasa heran, sedang apa pria itu pagi-pagi sekali ada di dapur. Memangnya ia sudah baikan?"Kemari saja dan cicipi masakanku," kata pria itu tiba-tiba.Ia masih sibuk berkutat dengan beberapa makanan di depannya, berbalik dengan celemek abu-abu yang menggantung di tubuh tetapnya juga dua mangkok berisi makanan di masing-masing tangan.Untuk sejenak Aleena terdiam. Melihat Aksa dalam balutan celemek membuat pria itu terlihat berbeda.Maksudku, sudah