Share

Part 5 : Gadis Misterius

Tak terasa sudah akhir pekan sejak masuk di Royale Academy. Tak banyak hal berarti dari pelajaran yang menurutku sedikit membosankan, meski ada hal baru juga yang menarik.

Bersosialisasi sesama bangsawan ternyata tidak seburuk dugaanku, justru aku memiliki banyak teman dari berbagai kalangan di seluruh penjuru wilayah. Ya, meski tidak terlalu akrab, tapi sebagian besar kami berhasil menjalin hubungan dengan baik, kecuali dengan Carl. Hubungan kami masih dibayangi permusuhan akibat perang 20 tahun yang lalu.

Jadwal hari ini adalah kelas dansa. Tepatnya di ballroom yang lokasinya dekat aula. Dalam kelas ini, sudah pasti semua akan berbaur menjadi satu dengan para gadis. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sesaknya tempat itu.

Hari ini, aku sudah bersiap padahal ada rasa sedikit enggan mengikuti kelas akhir pekan. Kurasa Henry pun begitu, tapi peraturan tetap peraturan. Akan ada sanksi bagi yang tak hadir tanpa alasan yang dibenarkan.

"Rein, kau sudah siap?" Henry mengetuk pintu. Cukup aneh mengingat dia yang biasanya langsung menerobos masuk.

"Ya," sahutku sembari merapikan pakaian.

Aku membuka pintu kamar dan kulihat sosoknya sedang bersandar di dinding dekat pintu. "Apa kau sedang menungguku? Bukankah biasanya kau pergi lebih dulu?"

"Sebenarnya aku masih tidak nyaman dengan kelas akhir pekan. Aku selalu gugup jika berhadapan dengan wanita. Apa menurutmu aku ini payah?"

"Tidak juga," jawabku. "Aku juga sebenarnya tak ingin mengikuti kelas ini."

"Ah, tanpa perlu kau katakan, tampangmu memang sudah terlihat enggan. Kau terlihat lebih tertarik menghabiskan akhir pekan dengan bantalmu seharian," sindirnya menyeringai.

"Di siang hari, bantal adalah segalanya bagiku," cicitku dengan wajah datar.

Kami berdua menuruni tangga dengan perasaan lesu dan tak lama, sosok Vincent muncul dari ambang pintu.

"Wah, wah. Suram sekali aura kalian. Ini adalah kelas yang paling menyenangkan karena bisa bertemu dengan para gadis, kenapa muram begitu?" cibirnya, sembari melipat tangan.

Vincent terlihat antusias dengan kelas ini, sangat berbanding terbalik denganku dan Henry.

"Itu karena kami tak berminat mengikuti kelas ini," jawab adiknya.

"Hei, jangan begitu. Kita hanya diberi kesempatan berbaur dengan para gadis seminggu sekali. Bukankah ini menyenangkan? Mungkin saja akan ada gadis yang terpesona denganmu," goda Vincent pada Henry.

"Kau juga Rein." Kini ia menatapku. "Ini akan menjadi kesempatanmu untuk mencari pasangan sebelum naik takhta, 'kan?"

"Ya, karena itu aku tetap mengikuti kelas ini meski sedikit enggan."

Memang benar, pada kesempatan kali ini mungkin aku bisa menemukan pasangan sebelum naik takhta atau bibi Erina akan meluapkan pidatonya dan malah menjodohkanku dengan gadis yang tak kukenal.

Ah, berhubung membahas gadis, aku jadi teringat pada sosok yang masuk ke wilayah terlarang. Sudah tiga kali aku melihatnya memasuki wilayah itu selama satu pekan ini. Bisa dibilang, gadis misterius itu selalu memasuki wilayah terlarang setiap dua hari sekali.

Rasa penasaran membuatku ingin membuntutinya setiap kali melihatnya. Namun, aku juga takut akan terjadi sesuatu jika menerobos masuk wilayah itu. Apa sebaiknya aku menanyakan hal ini pada Vincent?

"Vincent, ada yang ingin kutanyakan padamu," ujarku mencoba bertanya saat kami menyusuri koridor. "Kalau boleh tahu, air terjun di dekat asrama kita kenapa dianggap wilayah terlarang? Apa kau mengetahui sesuatu tentang tempat itu? Misalnya ... ada kejadian tertentu yang membuat wilayah itu terisolir?"

Vincent nampak berpikir sejenak. "Sepertinya ... tidak ada sesuatu yang terjadi di tempat itu. Mengenai papan peringatan itu, aku juga sudah mengetahuinya. Mungkin saja, itu adalah tempat yang disakralkan oleh penduduk asli daerah ini."

"Tapi anehnya, aku selalu melihat seseorang memasuki wilayah itu setiap dua malam sekali. Apa ... orang itu sedang melakukan ritual tertentu?"

"Mungkin saja begitu," jawabnya. "Biasanya tempat yang disakralkan harus ada orang yang melakukan ritual tertentu."

Aku hanya termanggut mendengar jawabannya. Ya, mungkin saja begitu. Rasa penasaran membuatku berpikir secara berlebihan.

* * *

Kami dikumpulkan dalam satu ruangan bersama para gadis dan tak kusangka, ternyata ballroom ini sangat luas. Kukira tempat ini akan penuh sesak karena banyak orang.

Untuk pertama kalinya kami berada di tempat yang selama ini terkunci. Desain dindingnya cukup memukau dengan warna karamel yang mendominasi.

Tak lama, kami diberi aba-aba untuk berbaris secara terpisah antara laki-laki dan perempuan sebelum kelas dimulai.

Kelas kali ini dimentori oleh Putri Saraya dari Kerajaan Benriaco. Kudengar, beliau memang mengajukan diri dengan suka rela untuk menjadi mentor pada kelas dansa, karena beliau terkenal suka menari. Bukan hanya dansa, tapi juga beberapa tarian lain.

Kami semua hanya terpaku saat beliau memulai kelas dengan pidato yang menjelaskan semua prinsip gerakan tarian. Bukan hanya itu, beliau juga menjelaskan tata cara berpesta agar terasa menyenangkan di setiap tahapannya. Aku tak menyangka, akan ada pelajaran seperti ini sampai sedetil itu.

"Nah, pertama kalian harus menemukan pasangan dengan cara diundi, lalu kalian akan dipasangkan sesuai nomor yang sama dengan kalian," ujarnya menjelaskan.

Tak lama, beberapa petugas berkeliling dengan membawa wadah kaca berukuran sedang dan kami harus mengambil secarik kertas yang berisi sebuah angka secara acak. Aku mengambil salah satu kertas dari wadahnya dan membukanya perlahan.

"Nomor 30," gumamku dalam hati, kemudian menunggu giliran untuk dipanggil bersama salah satu gadis dengan nomor yang sama.

"Kira-kira siapa yang akan menjadi pasangan dansaku, ya?" racau Henry yang terlihat gugup. "Semoga saja bukan seorang putri raja."

"Memangnya kenapa?" tanyaku ingin tahu.

Pasalnya, biasanya para pria justru ingin berpasangan dengan putri keturunan raja. Namun, Henry justru menghindar.

"Kau tahu? Berurusan dengan putri raja itu lebih rumit daripada gadis bangsawan di bawahnya," jawabnya berbisik.

"Sepertinya kau berpikir berlebihan. Lagipula ini hanya kelas dansa, tidak ada pengaruhnya bagi hidupmu, kecuali jika kau memang memiliki hati untuk berurusan dengannya."

"Ah, pria tak punya hati sepertimu mana bisa mengerti kegugupanku," keluhnya, lalu menghela napas.

"Oh, aku memang berhati dingin, tapi bukan berarti aku tak punya hati."

Tak lama, akhirnya nomorku dipanggil dan aku segera berjalan untuk keluar barisan, disusul seorang gadis yang kukenal sejak lama. Luna, cucu Adipati Freedy yang pernah dikenalkan padaku di hari ulang tahunku yang ke-14.

Ia nampak syok saat melihatku, begitu pun denganku yang hanya terdiam. Rasa canggung dan kegugupannya tersirat dari iris kelabu miliknya dan ia langsung menundukkan kepala.

Kami berdiri berdampingan di luar barisan sambil menunggu pemanggilan nomor selesai seluruhnya.

"Senang bisa bertemu Anda di sini, Yang Mulia," ujarnya memulai percakapan, berusaha menutupi ketegangan yang ia rasa.

"Bagaimana kabar Adipati Freedy? Beliau sehat?" tanyaku basa-basi.

"Ya, beliau baik-baik saja dan dalam keadaan sehat," jawabnya. "Yang Mulia, berhubung kita sedang bertemu, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan pada Anda."

"Apa itu?"

"Sebelumnya ... saya ingin minta maaf pada Anda. Apa ... Anda sudah mendengar berita tentang perjodohan kita?"

"Belum." Keningku mengerut seketika. "Tidak ada yang memberitahuku tentang hal itu. Meski kau termasuk dalam kandidat sebagai permaisuriku nanti, tapi aku tidak tahu kalau kita dijodohkan."

"Yang Mulia, jujur ... saya merasa tertekan. Saat hari ulang tahun Anda yang ke-14 waktu itu, kakek saya tak sengaja mendengar pembicaraan Anda dengan Putri Erina. Katanya ... Anda ingin pendamping dengan kriteria yang hampir sama seperti mendiang Yang Mulia Ratu, benar begitu?"

"Lalu?"

"Mungkin tak seharusnya saya mengatakan ini pada Anda. Tapi--" Ia terdiam sejenak. "Saya ingin suatu hari nanti, Anda bersedia untuk menghadapi saya di arena pelatihan."

"Untuk apa?"

"Bertarunglah dengan saya, Yang Mulia," jawabnya. "Di saat itu, saya akan mengatakan semuanya termasuk keinginan terbesar saya."

Aku terdiam sejenak atas kalimatnya. "Apa itu ... berkaitan dengan perjodohan yang kau katakan barusan?"

Luna mengangguk. "Benar."

Aku terdiam penuh tanya, apa Bibi Erina yang merencanakannya bersama Tuan Adipati di luar sepengetahuanku?

Ya, sepertinya aku harus mengirim surat untuk menanyakannya. Aku tak habis pikir, kenapa beliau mengurusi masalah ini tanpa persetujuanku.

Tak lama, proses pemanggilan nomor selesai dan seluruh penghuni ballroom sudah berdiri dengan pasangan dansanya masing-masing dalam posisi siap untuk menari.

"Jujur, saya merasa terhormat bisa menjadi pasangan dansa Anda dalam kelas kali ini," ujar Luna tersenyum, cukup manis dengan bola mata sedikit kecoklatan yang baru kusadari, kukira kelabu.

"Saya usahakan Anda tidak akan kesulitan," imbuhnya.

Musik mulai mengalun lembut, tarian pertama diawali dengan nada lambat. Sesuai ucapannya, sepertinya dia sudah pandai dalam berdansa. Gerakannya yang lembut dan lihai memang membuatku tak kesulitan untuk mengimbanginya.

Jujur, aku penasaran atas ucapannya tadi. Dia bilang ingin mengajakku bertarung? Apa selama ini dia berlatih pedang agar perjodohan ini bisa diterima olehku dan membuatku puas?

Ah, padahal ucapanku waktu itu hanya sebuah keluhan anak-anak yang sedang menggerutu.

"Luna."

"Ya, Yang Mulia," sahutnya di tengah tarian.

"Kapan kau akan melawanku di arena latihan?"

"Sebisa waktu Anda saja," jawabnya. "Jika Anda sudah siap dan bersedia, mohon beri kabar pada saya."

"Baiklah, kita akan bertanding besok pada hari libur."

"Baik. Dengan senang hati, Yang Mulia."

Tak lama, kami dikejutkan oleh suara seseorang jatuh di tengah tarian. Semua mata memandang ke arah sumber suara dan kulihat Carl sudah tersungkur di lantai. Ia menatap tajam ke arah pasangan dansanya yang tidak lain adalah Putri Zora.

Kami semua terdiam, tapi sebagian ada yang menahan tawa. Untuk pertama kali, aku melihat Carl dipermalukan seperti itu.

"Maaf, dansa saya terlalu buruk," ujar gadis itu menatap dingin lawannya.

"Kau sengaja melakukannya, 'kan?" Carl berusaha untuk berdiri dengan wajah marah.

Zora terlihat menyeringai puas. "Sekali lagi, maaf untuk dansa saya yang buruk."

"Maaf menyela, tapi aku melihat kau sengaja menggerakkan kakimu agar pasanganmu terjatuh," ujar Putri Saraya yang sedari tadi mengawasi selaku mentor.

"Kalau begitu, beri saya hukuman yang setimpal, Putri. Saya siap untuk menerima segala sanksi atas tindakan saya barusan."

Kalimat yang cukup membuatku tercengang atas sikapnya. Zora terlalu berani untuk mengambil tindakan yang entah bagaimana awal mulanya. Ia memakai pita merah pada lengannya sendiri, seolah-olah sengaja menantang aturan.

"Setelah kelas dansa selesai, ikutlah ke ruanganku. Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan."

"Baik, Putri."

Dari kejauhan aku hanya menggelengkan kepala, tak mengerti. Dia memang gadis yang berbeda dan sepertinya memiliki banyak musuh. Selain itu, katanya Zora juga tidak memiliki hubungan baik dengan sesamannya entah kenapa.

Bisa-bisanya aku dulu menolong gadis itu.

"Putri Zora, sebenarnya gadis yang menarik," bisik Luna sembari menatap gadis itu. "Tapi sayang, banyak pihak Keylion yang tak mendukungnya, alih-alih memusuhinya."

"Kau juga tahu hal itu?"

"Benar, di asrama 'Putri' pun dia selalu mendapat cibiran di balik punggungnya. Tapi hebatnya, dia seperti tak terusik sedikit pun. Bahkan ia terlihat sengaja menjadikan dirinya bahan gunjingan."

Aku menghela sejenak. "Dibanding menarik, lebih tepatnya ... dia gadis yang aneh."

"Waktu itu saya pernah mencoba menyapanya. Sebenarnya dia cukup ramah dan bisa diajak bicara. Tapi ... memang sisi buruknya dia terkenal tukang mabuk dan bicara lantang jika tidak menyukai sesuatu, tanpa memandang siapa lawan bicaranya," ujar Luna bercerita.

Aku termanggut sambil menyangga dagu. "Sepertinya kau lebih tahu tentang dirinya."

"Tentu saja. Dia teman seruangan saya di asrama 'Putri'. Jujur, saya sering lihat dia setiap dua malam sekali pergi keluar diam-diam entah kemana. Sangat mencurigakan, tapi saya yakin Putri Zora orang yang baik."

Keningku mengerut lagi, merasakan kejanggalan yang terjadi. "Dua malam sekali? Kapan terakhir kau melihatnya pergi malam-malam?"

"Lusa kemarin malam, Yang Mulia. Mungkin ... malam ini dia juga akan pergi lagi, karena semalam dia berada di kamarnya," jawabnya sambil melipat tangan dan mengawasi sosok Zora yang tengah duduk.

Lusa kemarin malam adalah hari dimana aku melihat sosok misterius itu memasuki wilayah terlarang. Apa mungkin sosok itu adalah Zora? Tapi untuk apa dia malam-malam ke tempat itu?

Sepertinya, gadis ini perlu diselidiki. Mungkin saja sosok yang masuk wilayah terlarang itu memang dia. Jika benar, aku harus mengikutinya pergi malam ini untuk mencari tahu apa yang dia lakukan.

* * *

Seperti dugaanku, sosok itu kembali terlihat menuju wilayah terlarang malam ini, sesuai jadwal kepergian Zora. Kini aku sudah berdiri di balik bayang-bayang sudut dinding yang gelap untuk mengawasinya.

Lentera dalam genggamannya, memberi secercah cahaya temaram untuk menerangi perjalanannya. Ia berjalan cepat memasuki hutan itu dan aku membuntutinya setelah situasi aman.

Aku berusaha melangkah tanpa suara agar ia tak menyadari keberadaanku. Jika dilihat, sosok itu memang seorang wanita, sesuai perkiraanku selama ini. Namun, aku harus memastikan apa gadis itu Zora atau bukan.

Tak lama, kami sampai di bawah air terjun yang udaranya terasa dingin. Cahaya bulan yang cerah memberi kesan temaram dengan sinar yang terpantul pada air yang mengalir.

Kini aku berdiri di balik pohon besar dengan akar yang menjalar, begitu rimbun hingga cahaya bulan tak dapat menembus tanah di bawah naungannya.

Kulihat sosok itu berhenti di tepi sungai. Ia mulai melepas mantelnya hingga menunjukkan rambutnya yang tergerai.

Lentera ia letakkan di atas batu besar di bawah pohon yang posisinya tepat di tepi sungai. Aku terus mengamati dari jarak yang lumayan dekat dan tak terlihat. Mataku melebar saat dugaanku benar, sosok misterius itu adalah Zora.

Sedang apa dia di sini? Apa dia tidak tahu kalau ini wilayah terlarang?

Aku terus berpikir sambil mengawasinya. Sebotol anggur sudah ada tangannya. Sayup-sayup terdengar rintihan darinya saat ia terduduk di samping lentera. Ia mulai meneguk anggur, lalu perlahan ia melepas pakaiannya. Untung saja, posisinya membelakangiku.

Tubuhku terpaku saat melihat punggungnya yang sudah terdapat corak yang tak asing di mataku layaknya tato. Rintihannya semakin keras saat corak itu semakin berpendar terang berwarna kemerahan.

Perlahan, ia mulai sesenggukan sambil menyengkeram batu, kemudian ia masuk ke air sambil meneguk anggurnya lagi.

Keluhan dan rintihan kesakitan semakin terdengar jelas dan disaat itu juga, semakin banyak anggur yang ia teguk hingga kepalanya terkulai di atas batu dengan tubuh setengah terendam air.

Sungguh, aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Namun, tanda sihir di punggungnya memberitahuku bahwa dia sedang menderita karenanya. Pemandangan ini, persis seperti yang kulihat saat di penginapan waktu itu. Ia juga tampak kesakitan dengan tubuh basah dan berantakan. Bedanya, saat itu aku tak melihat jelas punggungnya.

Semakin lama, ia semakin sesenggukan dan mulai mabuk. Tangannya masih sibuk menyakari batu dengan raut menahan sakit. Ia masih meneguk anggurnya dan membiarkan batu keras menjadi sandaran kepala.

Aku menarik napas panjang karena mulai khawatir dengan kondisinya. Akhirnya, kuputuskan untuk menghampirinya.

"Zora," panggilku saat di dekatnya.

Gadis itu mengangkat kepalanya dengan wajah sayu, tapi tak lama ekspresinya berubah saat melihatku yang kini sudah di tepi sungai. Wajah kesakitannya ia sembunyikan dalam sekejap.

"Sedang apa kau di sini, Sialan!" desisnya tak suka. "Kau mengikutiku?"

"Ya, aku memang mengikutimu kemari," jawabku jujur. "Kau sendiri sedang apa? Malam-malam berendam di sungai yang dingin dan mabuk? Apa kau tidak tahu kalau ini wilayah terlarang?" cecarku, meluapkan rasa penasaranku.

Ia tersenyum miring dengan raut mengejek yang menyebalkan. "Kau pasti menganggap ini wilayah terlarang karena papan di pintu masuk hutan, 'kan?" Ia tertawa sinis. "Entah kau yang mudah dibodohi atau aku yang terlalu cerdas membodohimu."

"Apa maksudmu?"

Zora menghela napas sejenak lalu meneguk anggurnya. "Papan peringatan itu sengaja kubuat agar tak ada yang masuk ke tempat ini. Dari awal datang kemari, aku sudah mengincar tempat ini sebagai wilayah pribadiku."

Ah, sialan. Jadi selama ini aku dikelabuhi oleh papan peringatan itu?

"Ini bukan Keylion, Zora. Kau tak berhak menjadikan tempat ini sebagai wilayah pribadimu."

"Kenapa tidak? Aku berhak menjadikan wilayah mana pun sebagai wilayah pribadiku selama aku menetap. Aku hanya butuh ruang untuk bebas dan menjadi diriku sendiri."

"Ya, asal bukan masalah pencaplokan wilayah atas nama Keylion terhadap Axiandra, mungkin tidak masalah. Oh ya, jujur aku penasaran dengan tanda di pinggungmu itu. Dari mana kau mendapatkannya?"

Zora menatapku tajam. "Kenapa? Kau menginginkannya?" ejeknya.

"Tidak. Hanya saja ... aku seperti pernah melihat tanda itu, tapi aku lupa di mana."

"Maaf, aku tak bisa memberitahumu."

"Kenapa? Apa akan terjadi sesuatu jika kau mengatakannya?"

"Aku tidak bisa memberitahumu karena kau pria mesum yang menyebalkan," jawabnya sarkas. "Dari pada kau mengurusiku, lebih baik kau pulang dan tarik selimutmu. Aku akan memberikan ucapan selamat malam jika kau mau."

"Ah, benar-benar putri yang arogan. Kalau begitu, jangan salahkan aku jika papan peringatan di pintu masuk hutan akan kucabut."

"Silakan saja. Aku bisa menjadikan tempat ini terlihat menyeramkan dengan menggelembungkan beberapa mitos," ujarnya dengan wajah licik.

"Oh, menarik. Tapi ... memangnya apa yang bisa kau lakukan dengan tubuh kesakitan begitu?"

"Dari mana kau tahu aku kesakitan?" tanyanya, mulai terusik.

"Rintihanmu terdengar jelas, jadi aku tahu."

"Wah, wah. Tidakkah lebih baik kau lepas saja gelarmu sebagai putra mahkota? Posisi itu sangat tidak cocok untuk penguntit sepertimu."

"Oh, astaga. Ternyata kau lebih menyebalkan dari yang kukira, membuatku menyesal karena sudah menyelamatkanmu lima tahun yang lalu."

Aku segera beranjak dan pergi darinya dengan kesal. Meski menyebalkan, tapi rasa penasaranku akhirnya sedikit terobati, walau ada beberapa hal yang membuatku tak puas atas jawabannya. Aku masih penasaran dengan tanda sihir di punggungnya itu.

"Rein."

Langkahku terhenti sejenak saat ia memanggilku dengan nada sedikit hangat.

Kulihat kepalanya sudah mengadah ke langit saat berkata, "Terima kasih sudah menolongku waktu itu dan aku akan lebih berterima kasih jika kau tidak memberi tahu kebenaran tempat ini pada siapa pun."

Tak kusangka, ia mengatakan hal itu dengan wajah tanpa dosa setelah membuatku kesal.

"Maaf, sayangnya aku tak tertarik dengan negosiasi seperti itu," jawabku abai.

"Ini bukan negosiasi, tapi sebuah tawaran yang menarik. Aku tahu kau juga mengincar tempat ini, 'kan?" Ia tersenyum miring sejenak. "Aku akan memberitahumu jika kau bersedia untuk merahasiakan semua yang kau tahu malam ini. Tapi tidak sekarang."

Zora meneguk minumannya lagi. "Kau juga boleh datang kemari, tapi tidak boleh mengajak teman atau memberi tahu siapa pun. Cukup kita berdua saja yang tahu mengenai tempat ini."

"Baiklah, aku akan memikirkannya terlebih dahulu karena sikapmu yang menyebalkan," sahutku gamblang.

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status