Aku sudah berada di arena latihan pagi ini, sesuai kesepakatan dengan Luna. Untung saja, kami diijinkan menggunakan arena latihan di luar jadwal. Gadis itu ternyata sudah menungguku lebih awal, lengkap mengenakan pakaian pelindung untuk berlatih.
"Maaf sudah membuatmu menunggu," ujarku, sembari mengenakan pakaian pelindung.
"Tidak masalah, Yang Mulia. Maaf jika permintaan saya telah mengganggu waktu istirahat Anda di hari libur."
"Sekarang, apa kita langsung mulai saja bertandingnya?"
Luna mengangguk, lalu menyodorkan sebilah pedang dengan kedua tangannya padaku.
"Saya akan melawan Anda dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya harap Anda pun begitu."
Alisku terangkat sebelah. Untuk pertama kalinya aku ditantang oleh seorang gadis yang ingin melawanku dengan sungguh-sungguh. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang menarik. Aku jadi penasaran seberapa besar kemampuannya menggunakan benda mematikan ini.
"Bersiaplah, Yang Mulia."
Suara dentingan pedang kami memecah keheningan di arena yang kebetulan sedang sepi, kecuali beberapa penjaga.
Aku dibuat terkejut saat ia memulai pergerakan lebih dulu. Tangannya begitu lihai untuk mengendalikan gerakan pedangnya, ia bahkan mampu memutar ujung pedangnya dalam waktu singkat untuk bertahan dan menyerang.
Gerakan tubuhnya juga lincah dan cepat. Meski begitu, aku masih bisa membaca arah serangannya.
Ia mampu menutupi celah saat aku berusaha menyerangnya dan mengambil kesempatan. Pertahanannya begitu kuat dengan beberapa teknik yang membuat seranganku meleset.
Aku tidak tahu bagaimana ia bisa menguasai teknik sulit seperti itu, tapi sepertinya ia memang sudah terlatih sejak lama. Staminanya juga cukup baik untuk bertarung dalam waktu yang lama.
Aku kembali mengambil kesempatan untuk menyerang saat menemukan celah besar. Namun, ia mampu menutupnya seketika dengan memutar pedangnya hingga senjata kami bersilang. Benar-benar teknik yang bagus.
Menurutku, cara bertarungnya sedikit bersifat manipulatif, seolah-olah sengaja memancingku dengan celah palsu, lalu mengambil kesempatan untuk memberi serangan telak.
Tanganku bergerak cepat untuk menangkisnya seketika, menciptakan benturan keras pada mata pedang kami hingga telingaku sedikit berdengung. Tak lama, kami mundur bersama dan menciptakan jarak sebelum memulainya lagi.
Tak kusangka, Luna yang dari luar terlihat feminin ternyata memiliki kemampuan bertarung yang sangat merepotkan lawan. Tubuhnya yang terlihat gemulai dan rapuh juga ternyata menyimpan stamina yang besar, sehingga sulit diprediksi kapan dia bisa ditumbangkan.
Setelah beberapa lama, akhirnya kami menyudahi pertarungan kami. Ia melepas pakaian pelindungnya, begitu pun denganku. Ujung poninya tampak basah oleh keringat, tapi tak ada raut kelelahan yang terlihat seolah-olah ini belum apa-apa.
"Bagaimana menurut Anda, Yang Mulia?" Luna memasukkan pedang ke dalam sarungnya.
"Sungguh, aku tak menyangka dengan kemampuanmu. Sangat berbanding terbalik dengan penampilanmu yang kutahu selama ini," jawabku sambil mengelap keringat. "Sejak kapan kau berlatih pedang?"
"Sejak pertama dikenalkan pada di hari ulang tahun Anda. Setelah pulang dari istana, keesokan harinya saya mulai berlatih, dibimbing oleh kakek saya."
"Sebenarnya apa tujuanmu melakukan hal itu?"
Kami duduk di kursi yang tersedia dan meneguk segelas air.
"Saya hanya berusaha memenuhi keinginan kakek saya. Beliau sangat berharap bahwa saya bisa mendampingi Anda. Meski kemampuan saya tidak seberapa dibanding mendiang yang mulia ratu, tapi saya harap ... saya bisa memenuhi kriteria Anda."
Aku meneguk kembali minumanku lalu menghela napas. "Luna, waktu itu ... aku memang pernah menginginkan sosok gadis yang seperti ibuku. Tapi bukan berarti aku memaksamu agar kau seperti beliau. Jujur, kemampuanmu tadi sangat di luar dugaan. Kau memainkan senjatamu dan membaca peluang dengan sangat baik."
"Terima kasih, Yang Mulia." Luna tersenyum dengan wajah menunduk sejenak.
"Tapi Luna, mengenai perjodohan yang kau maksud ... aku belum bisa memberi keputusan apa pun sebelum aku menanyakan hal ini pada bibiku."
"Ya, inilah yang ingin saya katakan pada Anda, Yang Mulia." Luna menatapku lembut, juga serius. "Saya ... menunggu keputusan Anda. Tapi saya harap Anda tidak memaksakan diri jika tidak setuju. Sungguh, saya tidak ingin menjadi beban Anda dalam masalah ini. Jika Anda ingin menolaknya, mohon tolak saya dengan cara yang baik."
Aku terdiam sejenak atas kalimatnya. Ia terlihat tak keberatan jika aku tak menyetujui perjodohan ini, benar-benar gadis yang memiliki hati lapang.
"Lalu ... bagaimana dengan latihanmu selama ini? Apa kau melakukannya di bawah tekanan atau memang keinginanmu sendiri? Kau sudah berlatih keras untuk memenuhi kriteriaku, apa kau sungguh tak keberatan jika aku menolakmu?"
"Yang Mulia, saya sama sekali tak menyesali apa yang telah saya lakukan selama ini demi Anda. Saya menerima dengan senang hati jika Anda mau menjadikan saya sebagai permaisuri," ungkapnya. "Tapi jika tidak, mungkin ... saya bisa berbakti pada Anda dan Vainea dengan menggantikan posisi kakek saya."
"Oh, jadi maksudmu ... kau akan mewarisi posisi adipati?"
Luna mengangguk. "Seperti yang Anda tahu, kakek saya sudah berusia lanjut dan kesehatan beliau juga mulai sedikit terganggu. Ayah saya yang seharusnya menjadi adipati berikutnya telah gugur di medan perang saat itu. Dan saat itu, saya masih terlalu kecil sehingga beliau masih bertahan di posisinya. Karena itu, jika Anda menolak saya menjadi permaisuri, saya ajan menggantikan posisi kakek saya nanti."
Aku terdiam sejenak dan menatapnya. "Jadi itu sebabnya kau tak kecewa karena harus berlatih pedang meski aku menolakmu?"
"Benar, Yang Mulia. Semua itu tergantung keputusan Anda nanti. Apakah anda ingin menjadikan saya permaisuri atau adipati yang melayani Vainea, saya akan menerimanya."
Ya, jika dipikir-pikir memang benar. Tuan Fredy sudah memasuki usia lanjut dan sudah seharusnya menikmati masa tuanya.
"Apa beliau tahu tentang keinginanmu menggantikannya?"
Ia terdiam sejenak lalu menggeleng. "Saya akan memberi tahu beliau jika Anda sudah mengambil keputusan atas perjodohan ini."
"Baiklah, aku akan membicarakannya terlebih dahulu dengan bibiku. Setelah itu, aku akan memberi kabar padamu mengenai keputusanku."
"Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menunggu kabar dari Anda."
* * *
Lima hari sudah berlalu sejak aku mengirim surat ke Vainea. Jika bibiku langsung membalas setelah menerima suratku, seharusnya surat balasannya sampai padaku hari ini.
Aku meneguk teh soreku di balkon sambil membolak-balikan halaman buku yang terbuka. Pencarianku terhadap penyihir Necromancer itu belum berakhir. Aku tidak tahu kapan bertemu mereka, yang jelas aku harus mencari tahu sebanyak mungkin informasi mengenai penyihir ini.
"Rein, ada surat untukmu." Henry datang dan langsung duduk berhadapan denganku. Ia meletakkan surat itu tepat di hadapanku. "Dari asrama 'Putri'."
Aku menghentikan aktivitasku sejenak sembari menatap surat itu dengan heran. "Kau yakin surat itu untukku?"
"Di surat itu ada namamu, sudah pasti itu untukmu. Tapi tak ada nama pengirim di amplopnya."
Aku meraih surat itu dan membukanya perlahan. Jika ini dari asrama 'Putri', ada dua orang yang terbesit dalam benakku. Kalau surat itu dari Zora, sudah pasti berisi ancaman. Namun, mungkin saja ini dari Luna yang ingin memberitahuku soal informasi dari Vainea.
.
.
Untukmu, Yang Mulia Rein.
Ini untuk pertama kalinya saya memberanikan diri mengirim surat pada Anda. Mungkin saya adalah salah satu orang yang mengagumi Anda. Jadi ... bolehkah saya berharap Anda bersedia untuk menjadi pasangan dansa saya pada kelas dansa pekan ini?
Dari Putri Keylion, Clara.
.
.
Aku terdiam sejenak. Yang kutahu, Putri Clara adalah putri kedua Raja Aiden dengan permaisurinya, yang berarti kakak Zora. Aku heran dengan kakak beradik itu. Yang satu mengajak pria duluan tanpa rasa malu, yang satu hobi membuat masalah. Tak kusangka Putri Clara termasuk gadis yang sedikit merepotkan juga.
Aku meletakkan surat itu di meja dengan malas. Ini adalah pertama kalinya seorang gadis mengajakku berdansa lebih dulu, membuatku harga diriku merasa jatuh seketika. Pasalnya, aku tidak suka didahului.
"Ada apa, Rein?" tanyanya sambil menuang teh. "Kau terlihat habis dilamar perempuan."
"Apa terlihat begitu jelas?"
Henry ternganga sejenak. "Sungguh kau dilamar? Padahal aku hanya asal menebak untuk mengejekmu."
Aku menyentil surat itu ke arah Henry. Kertas itu bergeser dan mendarat dengan halus di tangannya.
"Kau baca saja."
Henry meraih surat itu seketika dan membacanya, kemudian ia terkekeh beberapa saat.
"Astaga, permintaan dansa? Sepertinya kau tak boleh menolaknya atau dia akan menanggung malu."
"Bagaimana kalau kau yang menggantikanku nanti?"
Ia menggeleng cepat. "Kau tahu 'kan putri raja itu bukan tipeku?"
"Padahal kau seorang pangeran. Bukankah sudah sewajarnya jika bersama putri raja?"
"Kau sendiri juga tidak mau, 'kan?"
"Aku tidak suka diajak dansa duluan. Akan lebih baik jika menggunakan sistem undi seperti kelas dansa kemarin."
Henry menghela sejenak. "Kau benar-benar pangeran yang rumit."
"Kau juga," sahutku.
"Baiklah, lihat saja nanti."
* * *
Aku menuruni tangga dengan enggan sembari memikirkan cara untuk menolak permintaan Clara. Jika saja dia tidak mengirim surat itu, mungkin tidak masalah. Entah kenapa, aku sedikit tersinggung hanya karena hal itu.
"Rein, kau sudah siap berdansa dengan gadis itu?" Henry menyeruput teh terakhirnya.
"Aku akan cari cara untuk menolaknya."
"Ah, kau benar-benar keras kepala."
Aku mengerutkan kening sejenak sambil menatapnya. "Tidak biasanya kau terlihat semangat."
Henry tersenyum sejenak kemudian menyeringai. "Aku sedang menantikan momen istimewa."
"Apa itu?"
Ia tersenyum miring. "Rahasia."
Tak butuh waktu lama untuk sampai di ballroom. Ruangan besar itu sudah ramai saat aku sampai di sana. Henry segera memisahkan diri dariku dan berjalan menuju sudut ruangan.
Mataku masih mengawasinya dengan penasaran, karena menurutku hari ini ia terlihat aneh.
Benar saja, dia menghampiri seorang gadis berambut hitam legam yang berdiri di sana. Mereka tampak akrab, tak ada rasa canggung sedikit pun.
"Yang Mulia."
Aku menoleh ke belakang saat seseorang menyapaku. "Oh, Luna."
"Seperti biasa, kedatangan Anda selalu menarik perhatian sebagian para gadis yang ada di sini."
"Ya ... sebenarnya aku sedikit kurang nyaman dengan situasi seperti ini, tapi aku tak bisa menghindarinya."
"Anda tak perlu mengindarinya. Ini adalah risiko menjadi diri Anda."
Aku tertawa ringan karena merasa lucu. "Kau berkata seolah-olah hidupku penuh risiko."
"Ya, tentu saja. Bisa dibilang ... Anda adalah sosok ideal di mata para wanita. Ketampanan, kedududukan, popularitas, Anda memiliki itu semua. Seharusnya Anda sudah terbiasa ketika hampir semua mata tertuju pada Anda," ujarnya tersenyum ramah.
"Kalimatmu mengingatkanku pada bibiku yang menyebalkan itu."
Ia terkekeh sejenak. "Saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Putri Erina, Yang Mulia. Jika beliau pernah mengatakan hal yang sama, berarti memang seperti itu lah Anda."
Aku hanya termanggut sambil tersenyum masam. Sejenak sebuah ide terbesit dalam kepala.
"Oh ya, Luna. Bagaimana ... kalau kita memperbaiki latihan dansa kita minggu lalu. Sepertinya ... aku ada bagian yang salah saat kita latihan waktu itu," ujarku sembari memutar otak.
"Benarkah?" Luna tampak mengingat sejenak. "Tapi ... sepertinya latihan dansa waktu itu tidak ada kesalahan. Anda sudah melakukannya dengan baik."
"Ya, mungkin terlihat seperti itu. Tapi aku sedikit merasa ada beberapa gerakanmu yang sulit kuimbangi," kataku, mencari alasan.
Ya, saat ini hanya Luna yang bisa menjadi alibiku untuk menolak permintaan Clara.
"Bagaimana kalau dansa kemarin kita ulang untuk memastikannya kembali?" imbuhku.
Luna terdiam sejenak dengan wajah sedikit tersipu, tapi matanya sedikit mengisyaratkan penolakan yang sangat disayangkan.
"Maaf, Yang Mulia. Untuk latihan hari ini ... saya sudah memiliki pasangan dansa. Mungkin lain kali kita akan latihan bersama untuk memperbaiki kesalahan yang Anda maksud."
"Oh begitu?" Aku termanggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewa. Aku tidak mungkin memaksanya hanya untuk sebuah alibi. "Baiklah, lain kali kita ulang lagi latihannya."
"Dengan senang hati, Yang Mulia," sahutnya tersenyum lalu mengangguk hormat. "Kalau begitu, saya permisi."
Aku hanya mengangguk dan membiarkannya pergi. Kini aku mendesah kesal, kupandangi seisi ruangan untuk mencari gadis yang terlihat belum memiliki pasangan dansa untuk kujadikan alibi berikutnya.
"Yang Mulia."
Tubuhku mematung saat Clara menghampiriku. Kuharap, ia tak berpikir aku sedang mencarinya.
"Putri Clara?"
Ia mengangguk hormat saat dihadapanku. "Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia. Apa ... Anda sudah membaca surat dari saya?"
"Ya, aku sudah membacanya," jawabku canggung.
"Lalu bagaimana dengan permintaan saya?" tanyanya dengan wajah harap-harap cemas.
Aku menghela sejenak sambil berpikir lagi. "Putri Clara, maaf sebelumnya. Sepertinya aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Sebelum kau mengirim surat, aku sudah menemukan pasangan dansaku dalam latihan kali ini," jawabku dusta. "Sekali lagi, maaf."
"Oh begitu?" sahutnya kecewa, tapi ia masih berusaha tersenyum. "Baiklah, tidak apa-apa. Saya jadi penasaran dengan pasangan dansa Anda kali ini. Apa ... kali ini Anda akan latihan dengan Nona Luna lagi?"
"Tidak. Luna sudah latihan dengan yang lain."
"Oh, saya jadi penasaran, gadis beruntung mana yang menjadi pasangan dansa Anda kali ini."
Tak ada pilihan lain, aku langsung menyambar tangan siapa pun yang posisinya paling dekat denganku saat ini.
"Hei, apa-apan kau?!"
Mataku melebar saat menyadari tangan siapa yang baru saja kutarik. Ia pun sama terkejutnya denganku.
"Rein?"
Sial, di antara banyak gadis, kenapa harus gadis menyebalkan itu?
"Oh, jadi pasangan latihanmu kali ini Pangeran Rein, Zora?"
Zora tampak bingung. "Huh?"
"Ya, Putri Zora akan menjadi pasangan latihanku kali ini," sahutku cepat.
"Tu-tunggu, bukan begitu---"
"Aku akan menepati janjiku untuk latihan denganmu hari ini," ujarku menatap Zora, berharap gadis ini peka oleh situasiku.
"Kapan?" desisnya.
"Ah, kau pura-pura lupa atau kau memang sudah pikun?" sergahku kesal. Pasalnya, Zora sulit diajak kerja sama.
"Aku tak pernah ingat membuat janji denganmu untuk latihan."
"Ah, kau benar-benar membuatku kecewa, Putri Zora. Padahal aku sudah berusaha menepatinya dengan senang hati."
Sial, kenapa aku malah terjebak sandiwara seperti ini? Aku harus segera pergi dan mengakhirinya sekaligus memberi pelajaran pada gadis tak peka ini.
"Sekali lagi maaf, Putri Clara. Aku tak bisa menjadi pasangan latihanmu sebelum aku menepati janjiku padanya. Permisi."
Aku segera menarik tangan Zora dengan kesal dan pergi menjauh ke sudut ruangan.
"Hei, kau pikir aku sudi menjadi alibimu?" Zora memberontak agar tangannya terlepas.
"Jadi kau sudah sadar kalau aku bermaksud menjadikanmu alibi?" tanyaku dingin.
"Kau pikir aku bodoh dengan sandiwar yang kau buat?"
"Dan kau berusaha mempersulit situasiku?"
"Memangnya apa susahnya latihan dansa dengan kakakku? Kau tahu? Dia sudah lama mengagumimu bahkan dia sudah mengumpulkan keberanian untuk menulis surat padamu."
"Dengan mengajakku berdansa lebih dulu, sama saja sudah menjatuhkan harga diriku. Aku tak suka didahului wanita."
"Oh, aku jadi penasaran, setinggi apa harga dirimu sampai takut jatuh? Apa lebih tinggi dari langit?"
Astaga, sungguh, gadis ini benar-benar menyebalkan. Kalau saja tadi yang kutarik bukan tangannya, pasti tidak akan seperti ini.
"Yang jelas, aku tak ingin menerima permintaannya," tegasku.
_______To be Continued_______
Setelah lama berdebat, akhirnya ia setuju untuk latihan denganku. Sebenarnya aku sedikit enggan, tapi aku sudah terlanjur menggandengnya.Aku berdansa dengan gelisah, tak tahu apa yang gadis ini pikirkan. Ekspresinya sangat mengkhawatirkan, seolah-olah sedang merencanakan sesuatu."Rein, sebenarnya aku tak terlalu mahir berdansa. Jangan salahkan aku jika latihanku sangat buruk, bahkan bisa merugikanmu," ujarnya di tengah gerakan.Alisku terangkat sebelah, membaca ekspresinya lebih intens. "Kita lihat seburuk apa dansamu."Alunan musik masih mengalun dalam hitungan konstan. Aku masih waspada pada tindakannya. Pasalnya, gadis ini sedikit cerdik untuk menjatuhkan lawan.Benar saja, dalam sekejap ia menyilangkan kakinya saat gerakan memutar, membuatku jatuh tersungkur.Aku yang sudah membaca gerakannya, tak tinggal diam. Kukencangkan rengkuhan di pinggangnya hingga ia ikut jatuh saat aku tersungkur.Kami menjadi tontonan banyak orang dan kami berdua saling menatap sengit satu sama lain. A
"Kau tahu betapa khawatirnya kami?" maki Vincent saat kami sudah berkumpul di asrama. "Kau tiba-tiba hilang dan kami mencarimu ke mana-mana sampai melewatkan makan malam!"Ya, sudah kuduga. Mereka pasti mencariku. Aku hanya terdiam, membiarkan kakak-beradik itu meluapkan kekesalannya padaku."Jika kau ada urusan mendesak yang membuatmu harus pulang, seharusnya kau memberi tahu kami. Jangan pulang sendiri dan meninggalkan kami tanpa memberi tahu apa-apa!" imbuhnya."Ya, aku minta maaf. Tadi itu ... sangat mendesak," sahutku seadanya. Tidak mungkin 'kan kuberi tahu pertemuanku dengan Zora. "Lain kali takan kuulangi.""Kak, kau sudah dipanggil oleh penjaga kamarmu." Henry muncul, menyembulkan kepala di pintu dan menginterupsi Vincent yang masih ingin meluapkan makiannya."Ah, sialan. Padahal aku masih ingin memakimu," gerutu Vincent padaku. "Baiklah, lain kali aku akan datang lagi dan aku takan lupa hari ini, Rein.""Apa kau akan membuat perhitungan denganku?""Tentu saja. Lain kali aku
"Rein, dari mana saja kau?"Aku terdiam di ambang pintu saat kudapati Henry sedang duduk di sofa dengan buku dan rambutnya yang berantakan. Tak kusangka, ia sudah bangun di pagi buta."Aku ... dari halaman belakang," jawabku dusta.Henry menutup buku dan menatapku curiga. "Dengan celana basah dan rambut acak-acakan seperti itu?" Ia mendekatiku perlahan. "Apa yang kau lakukan di sana?""Aku hanya mencari udara segar. Itu saja." Aku menutup pintu dan melepas sepatu."Kau ... mabuk?""Tidak. Aku tidak mabuk, sungguh.""Aku tahu kau minum anggur. Aromanya menyengat" Henry menghela sejenak. "Rein, kau pasti paham dengan aturan di sini.""Aku memang minum anggur, tapi tidak sampai mabuk. Lagi pula, aku minum di luar area akademi dan aku masuk dalam keadaan tidak mabuk.""Lalu kenapa kau basah kuyup begitu? Kau tidak terpleset dan jatuh ke kolam ikan, 'kan?""Itu--" Aku terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. "Ya, aku jatuh ke kolam ikan saat kemari."Aku tidak mungk
Aku membuka mata perlahan dan menatap langit-langit beraroma serbuk kayu yang khas. Ukiran klasik nan megah terpampang begitu jelas. Di dinding terdapat logo Royale Academy. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa aku sudah berada di ruang kesehatan."Akhirnya Anda sadar juga, Yang Mulia."Aku menoleh ke sumber suara dan di sana sudah ada wanita dengan pakaian medis."Anda ditemukan di dasar jurang. Untung saja tidak ada luka fatal," lanjutnya lagi.Sejenak aku teringat kelompok itu. Ternyata mereka benar-benar melemparku ke jurang."Bagaimana dengan Vincent dan Henry?" tanyaku memastikan."Itu--" Ia terdiam sejenak. "Mereka berdua ditemukan terluka. Pangeran Vincent yang paling parah.""Lalu bagaimana kondisi mereka sekarang? Sudah ditangani dengan tepat?""Pangeran Henry sudah membaik, tapi Pangeran Vincent belum sadarkan diri dan masih membutuhkan perawatan intens. Saat ditemukan, beliau benar-benar sekarat," jawabnya."Di mana mereka sekarang? Apa mereka dirawat di sini?""Tidak
Seusai makan siang, aku segera menyendiri di perpustakaan untuk mengerjakan hukuman. Yang membuatku masih kesal karena ini jam tidurku. Semestinya detik ini aku sudah berada di kasur dengan nyaman, bukan berkelut dengan buku setebal ini.Benar saja, baru menulis dua lembar mataku sudah terasa berat. Kantuk menyerang tanpa ampun hingga kepalaku terasa pening jika dipaksa terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengacak-acak rambut dengan lesu.Aku mengamati keadaan sekitar yang hening. Mungkin aku perlu tidur sebentar, sebelum melanjutkan hukuman. Kepalaku terkulai di atas meja dan terlelap, berharap masih bisa menyelesaikannya sebelum jam makan malam dimulai.* * *"Yang Mulia, bangunlah!"Aku mengerjap saat bahuku diguncang lembut oleh penjaga perpustakaan."Jam berapa sekarang?" tanyaku cemas."Sudah jam delapan malam.""Jam delapan malam?!" jeritku membeo. "Oh astaga, tugasku belum selesai."Aku semakin panik karena baru menyalin dua lembar. Jam delapan malam, berarti jam makan malam su
Aku seperti diseret ke lorong gelap sangat cepat , lalu seberkas cahaya muncul. Begitu menyilaukan. Udara dingin mendekap seketika dan kulihat ada salju bertebaran di mana-mana. Aku tidak tahu kenapa bisa berada di tempat ini, seperti mimpi. Ini adalah musim dingin dimana langit menjadi suram dengan hamparan putih sendu yang membeku. Suara ledakan menggema ramai diiringi dentingan pedang yang saling bersahutan. Bau anyir menyeruak di udara saat dua pasukan bertumbuk dan menciptakan genangan darah di salju. "Ini ... perang musim dingin yang pernah terjadi di masa lalu," gumamku dalam hati. Tanganku gemetar saat melihat dua sosok yang kukenal di antara pasukan. Mereka membantai pasukan lawan masing-masing dengan kalap sebelum akhirnya mereka berdua berhadapan berdua secara langsung. "Ayah, ibu!" Tubuhku hanya mematung saat mereka saling menyerang dan menyakiti. Luka sayatan bertebaran di sekejur tubuh mereka. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi yang membuatku terpaku s
Aku masih menunggunya selesai makan siang. Dari cara makannya yang lahap membuatku tahu kalau dia belum makan dari pagi. Kulirik sesekali yang hanya memakai dress mini, menampakkan bahunya yang memar.Aku menarik napas panjang, merasa bersalah karena tiba-tiba memeluknya seperti tadi. Benar-benar tak beretika.Kuedarkan pandangan sejenak, hanya hutan belantara yang lebat. Tak ada jalan setapak sama sekali, yang berarti tempat ini tak terjamah oleh manusia. Ini akan sedikit menyulitkan kami untuk pulang. Aku juga tidak tahu seberapa luas hutan ini."Rein, sepertinya mau turun hujan lagi."Aku menatap langit saat mendengar kalimatnya, begitu temaram di pertengahan hari yang seharusnya cerah."Kita harus segera pergi dari sini. Setidaknya kita harus cari tempat berlindung sebelum hujan turun. Kau sudah selesai makan?""Ya."Aku menggenggam ranting berukuran sedang untuk membuka jalan. Kabut mulai menutupi sebagian hutan yang kami lalui dan udara terasa dingin. Kutatap pohon jenjang yang
Aku berdiri di tengah taman mawar putih yang asing, terheran dengan lingkungan sekitar tanpa kata. Udara di sini terasa sejuk, juga nyaman.Kulihat seorang wanita duduk di kursi, membelakangiku. Aku mengenali postur tubuh itu dan gaya rambutnya yang tak asing, seperti--mendiang ibuku.Pikiran rasionalku mengatakan, jika sosok ini muncul di hadapanku berarti tempat ini hanya mimpi.Aku mendekatinya perlahan dengan hati bergetar sedih. Rinduku tumpah seperti air bah. Ia menoleh sebelum aku sampai padanya, lalu tersenyum melihatku.Di tangannya terdapat setangkai mawar merah kesukaannya, terlihat kontras di tengah hamparan mawar putih."Rein."Napasku tercekat saat ia memanggil namaku."Ibu senang melihatmu dewasa. Tapi--" Ibu terdiam menatapku tersenyum sendu. Ia tak melanjutkan kalimatnya."Tapi?" tanyaku penasaran.Ibu masih terdiam, lalu berkata, "Sini, duduklah, Nak!"Tangannya membentang untuk menyambutku agar duduk di sisinya. Aku masih menatapnya lekat dan duduk sesuai permintaann