Share

Part 6 : Permintaan

Aku sudah berada di arena latihan pagi ini, sesuai kesepakatan dengan Luna. Untung saja, kami diijinkan menggunakan arena latihan di luar jadwal. Gadis itu ternyata sudah menungguku lebih awal, lengkap mengenakan pakaian pelindung untuk berlatih.

"Maaf sudah membuatmu menunggu," ujarku, sembari mengenakan pakaian pelindung.

"Tidak masalah, Yang Mulia. Maaf jika permintaan saya telah mengganggu waktu istirahat Anda di hari libur."

"Sekarang, apa kita langsung mulai saja bertandingnya?"

Luna mengangguk, lalu menyodorkan sebilah pedang dengan kedua tangannya padaku.

"Saya akan melawan Anda dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya harap Anda pun begitu."

Alisku terangkat sebelah. Untuk pertama kalinya aku ditantang oleh seorang gadis yang ingin melawanku dengan sungguh-sungguh. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang menarik. Aku jadi penasaran seberapa besar kemampuannya menggunakan benda mematikan ini.

"Bersiaplah, Yang Mulia."

Suara dentingan pedang kami memecah keheningan di arena yang kebetulan sedang sepi, kecuali beberapa penjaga.

Aku dibuat terkejut saat ia memulai pergerakan lebih dulu. Tangannya begitu lihai untuk mengendalikan gerakan pedangnya, ia bahkan mampu memutar ujung pedangnya dalam waktu singkat untuk bertahan dan menyerang.

Gerakan tubuhnya juga lincah dan cepat. Meski begitu, aku masih bisa membaca arah serangannya.

Ia mampu menutupi celah saat aku berusaha menyerangnya dan mengambil kesempatan. Pertahanannya begitu kuat dengan beberapa teknik yang membuat seranganku meleset.

Aku tidak tahu bagaimana ia bisa menguasai teknik sulit seperti itu, tapi sepertinya ia memang sudah terlatih sejak lama. Staminanya juga cukup baik untuk bertarung dalam waktu yang lama.

Aku kembali mengambil kesempatan untuk menyerang saat menemukan celah besar. Namun, ia mampu menutupnya seketika dengan memutar pedangnya hingga senjata kami bersilang. Benar-benar teknik yang bagus.

Menurutku, cara bertarungnya sedikit bersifat manipulatif, seolah-olah sengaja memancingku dengan celah palsu, lalu mengambil kesempatan untuk memberi serangan telak.

Tanganku bergerak cepat untuk menangkisnya seketika, menciptakan benturan keras pada mata pedang kami hingga telingaku sedikit berdengung. Tak lama, kami mundur bersama dan menciptakan jarak sebelum memulainya lagi.

Tak kusangka, Luna yang dari luar terlihat feminin ternyata memiliki kemampuan bertarung yang sangat merepotkan lawan. Tubuhnya yang terlihat gemulai dan rapuh juga ternyata menyimpan stamina yang besar, sehingga sulit diprediksi kapan dia bisa ditumbangkan.

Setelah beberapa lama, akhirnya kami menyudahi pertarungan kami. Ia melepas pakaian pelindungnya, begitu pun denganku. Ujung poninya tampak basah oleh keringat, tapi tak ada raut kelelahan yang terlihat seolah-olah ini belum apa-apa.

"Bagaimana menurut Anda, Yang Mulia?" Luna memasukkan pedang ke dalam sarungnya.

"Sungguh, aku tak menyangka dengan kemampuanmu. Sangat berbanding terbalik dengan penampilanmu yang kutahu selama ini," jawabku sambil mengelap keringat. "Sejak kapan kau berlatih pedang?"

"Sejak pertama dikenalkan pada di hari ulang tahun Anda. Setelah pulang dari istana, keesokan harinya saya mulai berlatih, dibimbing oleh kakek saya."

"Sebenarnya apa tujuanmu melakukan hal itu?"

Kami duduk di kursi yang tersedia dan meneguk segelas air.

"Saya hanya berusaha memenuhi keinginan kakek saya. Beliau sangat berharap bahwa saya bisa mendampingi Anda. Meski kemampuan saya tidak seberapa dibanding mendiang yang mulia ratu, tapi saya harap ...  saya bisa memenuhi kriteria Anda."

Aku meneguk kembali minumanku lalu menghela napas. "Luna, waktu itu ... aku memang pernah menginginkan sosok gadis yang seperti ibuku. Tapi bukan berarti aku memaksamu agar kau seperti beliau. Jujur, kemampuanmu tadi sangat di luar dugaan. Kau memainkan senjatamu dan membaca peluang dengan sangat baik."

"Terima kasih, Yang Mulia." Luna tersenyum dengan wajah menunduk sejenak.

"Tapi Luna, mengenai perjodohan yang kau maksud ... aku belum bisa memberi keputusan apa pun sebelum aku menanyakan hal ini pada bibiku."

"Ya, inilah yang ingin saya katakan pada Anda, Yang Mulia." Luna menatapku lembut, juga serius. "Saya ... menunggu keputusan Anda. Tapi saya harap Anda tidak memaksakan diri jika tidak setuju. Sungguh, saya tidak ingin menjadi beban Anda dalam masalah ini. Jika Anda ingin menolaknya, mohon tolak saya dengan cara yang baik."

Aku terdiam sejenak atas kalimatnya. Ia terlihat tak keberatan jika aku tak menyetujui perjodohan ini, benar-benar gadis yang memiliki hati lapang.

"Lalu ... bagaimana dengan latihanmu selama ini? Apa kau melakukannya di bawah tekanan atau memang keinginanmu sendiri? Kau sudah berlatih keras untuk memenuhi kriteriaku, apa kau sungguh tak keberatan jika aku menolakmu?"

"Yang Mulia, saya sama sekali tak menyesali apa yang telah saya lakukan selama ini demi Anda. Saya menerima dengan senang hati jika Anda mau menjadikan saya sebagai permaisuri," ungkapnya. "Tapi jika tidak, mungkin ... saya bisa berbakti pada Anda dan Vainea dengan menggantikan posisi kakek saya."

"Oh, jadi maksudmu ... kau akan mewarisi posisi adipati?"

Luna mengangguk. "Seperti yang Anda tahu, kakek saya sudah berusia lanjut dan kesehatan beliau juga mulai sedikit terganggu. Ayah saya yang seharusnya menjadi adipati berikutnya telah gugur di medan perang saat itu. Dan saat itu, saya masih terlalu kecil sehingga beliau masih bertahan di posisinya. Karena itu, jika Anda menolak saya menjadi permaisuri, saya ajan menggantikan posisi kakek saya nanti."

Aku terdiam sejenak dan menatapnya. "Jadi itu sebabnya kau tak kecewa karena harus berlatih pedang meski aku menolakmu?"

"Benar, Yang Mulia. Semua itu tergantung keputusan Anda nanti. Apakah anda ingin menjadikan saya permaisuri atau adipati yang melayani Vainea, saya akan menerimanya."

Ya, jika dipikir-pikir memang benar. Tuan Fredy sudah memasuki usia lanjut dan sudah seharusnya menikmati masa tuanya.

"Apa beliau tahu tentang keinginanmu menggantikannya?"

Ia terdiam sejenak lalu menggeleng. "Saya akan memberi tahu beliau jika Anda sudah mengambil keputusan atas perjodohan ini."

"Baiklah, aku akan membicarakannya terlebih dahulu dengan bibiku. Setelah itu, aku akan memberi kabar padamu mengenai keputusanku."

"Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menunggu kabar dari Anda."

* * *

Lima hari sudah berlalu sejak aku mengirim surat ke Vainea. Jika bibiku langsung membalas setelah menerima suratku, seharusnya surat balasannya sampai padaku hari ini.

Aku meneguk teh soreku di balkon sambil membolak-balikan halaman buku yang terbuka. Pencarianku terhadap penyihir Necromancer itu belum berakhir. Aku tidak tahu kapan bertemu mereka, yang jelas aku harus mencari tahu sebanyak mungkin informasi mengenai penyihir ini.

"Rein, ada surat untukmu." Henry datang dan langsung duduk berhadapan denganku. Ia meletakkan surat itu tepat di hadapanku. "Dari asrama 'Putri'."

Aku menghentikan aktivitasku sejenak sembari menatap surat itu dengan heran. "Kau yakin surat itu untukku?"

"Di surat itu ada namamu, sudah pasti itu untukmu. Tapi tak ada nama pengirim di amplopnya."

Aku meraih surat itu dan membukanya perlahan. Jika ini dari asrama 'Putri', ada dua orang yang terbesit dalam benakku. Kalau surat itu dari Zora, sudah pasti berisi ancaman. Namun, mungkin saja ini dari Luna yang ingin memberitahuku soal informasi dari Vainea.

.

.

Untukmu, Yang Mulia Rein.

Ini untuk pertama kalinya saya memberanikan diri mengirim surat pada Anda. Mungkin saya adalah salah satu orang yang mengagumi Anda. Jadi ... bolehkah saya berharap Anda bersedia untuk menjadi pasangan dansa saya pada kelas dansa pekan ini?

Dari Putri Keylion, Clara.

.

.

Aku terdiam sejenak. Yang kutahu, Putri Clara adalah putri kedua Raja Aiden dengan permaisurinya, yang berarti kakak Zora. Aku heran dengan kakak beradik itu. Yang satu mengajak pria duluan tanpa rasa malu, yang satu hobi membuat masalah. Tak kusangka Putri Clara termasuk gadis yang sedikit merepotkan juga.

Aku meletakkan surat itu di meja dengan malas. Ini adalah pertama kalinya seorang gadis mengajakku berdansa lebih dulu, membuatku harga diriku merasa jatuh seketika. Pasalnya, aku tidak suka didahului.

"Ada apa, Rein?" tanyanya sambil menuang teh. "Kau terlihat habis dilamar perempuan."

"Apa terlihat begitu jelas?"

Henry ternganga sejenak. "Sungguh kau dilamar? Padahal aku hanya asal menebak untuk mengejekmu."

Aku menyentil surat itu ke arah Henry. Kertas itu bergeser dan mendarat dengan halus di tangannya.

"Kau baca saja."

Henry meraih surat itu seketika dan membacanya, kemudian ia terkekeh beberapa saat.

"Astaga, permintaan dansa? Sepertinya kau tak boleh menolaknya atau dia akan menanggung malu."

"Bagaimana kalau kau yang menggantikanku nanti?"

Ia menggeleng cepat. "Kau tahu 'kan putri raja itu bukan tipeku?"

"Padahal kau seorang pangeran. Bukankah sudah sewajarnya jika bersama putri raja?"

"Kau sendiri juga tidak mau, 'kan?"

"Aku tidak suka diajak dansa duluan. Akan lebih baik jika menggunakan sistem undi seperti kelas dansa kemarin."

Henry menghela sejenak. "Kau benar-benar pangeran yang rumit."

"Kau juga," sahutku.

"Baiklah, lihat saja nanti."

* * *

Aku menuruni tangga dengan enggan sembari memikirkan cara untuk menolak permintaan Clara. Jika saja dia tidak mengirim surat itu, mungkin tidak masalah. Entah kenapa, aku sedikit tersinggung hanya karena hal itu.

"Rein, kau sudah siap berdansa dengan gadis itu?" Henry menyeruput teh terakhirnya.

"Aku akan cari cara untuk menolaknya."

"Ah, kau benar-benar keras kepala."

Aku mengerutkan kening sejenak sambil menatapnya. "Tidak biasanya kau terlihat semangat."

Henry tersenyum sejenak kemudian menyeringai. "Aku sedang menantikan momen istimewa."

"Apa itu?"

Ia tersenyum miring. "Rahasia."

Tak butuh waktu lama untuk sampai di ballroom. Ruangan besar itu sudah ramai saat aku sampai di sana. Henry segera memisahkan diri dariku dan berjalan menuju sudut ruangan.

Mataku masih mengawasinya dengan penasaran, karena menurutku hari ini ia terlihat aneh.

Benar saja, dia menghampiri seorang gadis berambut hitam legam yang berdiri di sana. Mereka tampak akrab, tak ada rasa canggung sedikit pun.

"Yang Mulia."

Aku menoleh ke belakang saat seseorang menyapaku. "Oh, Luna."

"Seperti biasa, kedatangan Anda selalu menarik perhatian sebagian para gadis yang ada di sini."

"Ya ... sebenarnya aku sedikit kurang nyaman dengan situasi seperti ini, tapi aku tak bisa menghindarinya."

"Anda tak perlu mengindarinya. Ini adalah risiko menjadi diri Anda."

Aku tertawa ringan karena merasa lucu. "Kau berkata seolah-olah hidupku penuh risiko."

"Ya, tentu saja. Bisa dibilang ... Anda adalah sosok ideal di mata para wanita. Ketampanan, kedududukan, popularitas, Anda memiliki itu semua. Seharusnya Anda sudah terbiasa ketika hampir semua mata tertuju pada Anda," ujarnya tersenyum ramah.

"Kalimatmu mengingatkanku pada bibiku yang menyebalkan itu."

Ia terkekeh sejenak. "Saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Putri Erina, Yang Mulia. Jika beliau pernah mengatakan hal yang sama, berarti memang seperti itu lah Anda."

Aku hanya termanggut sambil tersenyum masam. Sejenak sebuah ide terbesit dalam kepala.

"Oh ya, Luna. Bagaimana ... kalau kita memperbaiki latihan dansa kita minggu lalu. Sepertinya ... aku ada bagian yang salah saat kita latihan waktu itu," ujarku sembari memutar otak.

"Benarkah?" Luna tampak mengingat sejenak. "Tapi ... sepertinya latihan dansa waktu itu tidak ada kesalahan. Anda sudah melakukannya dengan baik."

"Ya, mungkin terlihat seperti itu. Tapi aku sedikit merasa ada beberapa gerakanmu yang sulit kuimbangi," kataku, mencari alasan.

Ya, saat ini hanya Luna yang bisa menjadi alibiku untuk menolak permintaan Clara.

"Bagaimana kalau dansa kemarin kita ulang untuk memastikannya kembali?" imbuhku.

Luna terdiam sejenak dengan wajah sedikit tersipu, tapi matanya sedikit mengisyaratkan penolakan yang sangat disayangkan.

"Maaf, Yang Mulia. Untuk latihan hari ini ... saya sudah memiliki pasangan dansa. Mungkin lain kali kita akan latihan bersama untuk memperbaiki kesalahan yang Anda maksud."

"Oh begitu?" Aku termanggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewa. Aku tidak mungkin memaksanya hanya untuk sebuah alibi. "Baiklah, lain kali kita ulang lagi latihannya."

"Dengan senang hati, Yang Mulia," sahutnya tersenyum lalu mengangguk hormat. "Kalau begitu, saya permisi."

Aku hanya mengangguk dan membiarkannya pergi. Kini aku mendesah kesal, kupandangi seisi ruangan untuk mencari gadis yang terlihat belum memiliki pasangan dansa untuk kujadikan alibi berikutnya.

"Yang Mulia."

Tubuhku mematung saat Clara menghampiriku. Kuharap, ia tak berpikir aku sedang mencarinya.

"Putri Clara?"

Ia mengangguk hormat saat dihadapanku. "Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia. Apa ... Anda sudah membaca surat dari saya?"

"Ya, aku sudah membacanya," jawabku canggung.

"Lalu bagaimana dengan permintaan saya?" tanyanya dengan wajah harap-harap cemas.

Aku menghela sejenak sambil berpikir lagi. "Putri Clara, maaf sebelumnya. Sepertinya aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Sebelum kau mengirim surat, aku sudah menemukan pasangan dansaku dalam latihan kali ini," jawabku dusta. "Sekali lagi, maaf."

"Oh begitu?" sahutnya kecewa, tapi ia masih berusaha tersenyum. "Baiklah, tidak apa-apa. Saya jadi penasaran dengan pasangan dansa Anda kali ini. Apa ... kali ini Anda akan latihan dengan Nona Luna lagi?"

"Tidak. Luna sudah latihan dengan yang lain."

"Oh, saya jadi penasaran, gadis beruntung mana yang menjadi pasangan dansa Anda kali ini."

Tak ada pilihan lain, aku langsung menyambar tangan siapa pun yang posisinya paling dekat denganku saat ini.

"Hei, apa-apan kau?!"

Mataku melebar saat menyadari tangan siapa yang baru saja kutarik. Ia pun sama terkejutnya denganku.

"Rein?"

Sial, di antara banyak gadis, kenapa harus gadis menyebalkan itu?

"Oh, jadi pasangan latihanmu kali ini Pangeran Rein, Zora?"

Zora tampak bingung. "Huh?"

"Ya, Putri Zora akan menjadi pasangan latihanku kali ini," sahutku cepat.

"Tu-tunggu, bukan begitu---"

"Aku akan menepati janjiku untuk latihan denganmu hari ini," ujarku menatap Zora, berharap gadis ini peka oleh situasiku.

"Kapan?" desisnya.

"Ah, kau pura-pura lupa atau kau memang sudah pikun?" sergahku kesal. Pasalnya, Zora sulit diajak kerja sama.

"Aku tak pernah ingat membuat janji denganmu untuk latihan."

"Ah, kau benar-benar membuatku kecewa, Putri Zora. Padahal aku sudah berusaha menepatinya dengan senang hati."

Sial, kenapa aku malah terjebak sandiwara seperti ini? Aku harus segera pergi dan mengakhirinya sekaligus memberi pelajaran pada gadis tak peka ini.

"Sekali lagi maaf, Putri Clara. Aku tak bisa menjadi pasangan latihanmu sebelum aku menepati janjiku padanya. Permisi."

Aku segera menarik tangan Zora dengan kesal dan pergi menjauh ke sudut ruangan.

"Hei, kau pikir aku sudi menjadi alibimu?" Zora memberontak agar tangannya terlepas.

"Jadi kau sudah sadar kalau aku bermaksud menjadikanmu alibi?" tanyaku dingin.

"Kau pikir aku bodoh dengan sandiwar yang kau buat?"

"Dan kau berusaha mempersulit situasiku?"

"Memangnya apa susahnya latihan dansa dengan kakakku? Kau tahu? Dia sudah lama mengagumimu bahkan dia sudah mengumpulkan keberanian untuk menulis surat padamu."

"Dengan mengajakku berdansa lebih dulu, sama saja sudah menjatuhkan harga diriku. Aku tak suka didahului wanita."

"Oh, aku jadi penasaran, setinggi apa harga dirimu sampai takut jatuh? Apa lebih tinggi dari langit?"

Astaga, sungguh, gadis ini benar-benar menyebalkan. Kalau saja tadi yang kutarik bukan tangannya, pasti tidak akan seperti ini.

"Yang jelas, aku tak ingin menerima permintaannya," tegasku.

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status