Share

7. Roommate with Benefits

“Lo mau tidur di mana malam ini?” tanya Hera dengan hati-hati, sadar jika Ikarus masih marah kepadanya.

Setelah berhasil membujuk Ikarus untuk tetap tinggal di apartemennya, keduanya duduk berhadapan di meja makan. Ada satu bungkus nasi goreng yang sempat dibeli Ikarus sebelum tiba di apartemen Hera. Masing-masing dari mereka memegang sendok di tangannya.

“Kenapa lo bisa seceroboh itu, sih?” ujar Hera lagi. “Lo kan hacker. Lo seharusnya—” Bibir Hera terkatup rapat saat suaranya naik satu oktaf. “Maksud gue… kenapa lo bisa kecolongan gini, coba.”

“Namanya juga halangan,” jawab Ikarus dengan datar. “Nggak ada yang tahu kapan gue ditimpa musibah.”

“Terus rencana lo apa setelah ini?” tanya Hera dengan hati-hati.

“Nggak tahu. Gue bahkan nggak pegang duit sepeserpun sekarang,” ujar Ikarus berbohong. 

Hera menghela napas panjang sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke depan agar bisa menatap Ikarus dengan lekat. “Miskin banget, ya?”

“Kenapa? Lo nggak mau temenan sama gue yang miskin gini, ya?” tembak Ikarus dengan tatapannya yang tajam.

“Nggak gitu… lo kenapa sih, sensi banget sama gue?”

“Yang mulai siapa?” sahut Ikarus. “Dah ya, gue mau—”

“Tidur di sini aja.” Hera menghela napas pendek. “Kalau nggak di sini, lo mau numpang di mana emangnya, hm? Ke kosan Eros yang sempitnya kayak kuburan? Atau ke tempat Ares atau Zeus yang setiap hari lo nggak bakalan tenang gara-gara digangguin anak-anak mereka?” Hera menggigit bibirnya bagian dalam. “Cuma di sini yang ada dua kamar. Lo bisa pakai—”

“Gue nggak mau numpang di tempat cewek yang statusnya tunangan orang.”

“Dan lo ngomong begitu seolah-olah lupa sama kejadian semalam?” sembur Hera tak terima.

Ikarus mengedikkan bahu. “Lo sendiri yang minta gue ngelupain apa yang terjadi semalam, kan?”

“Lo bahkan menolak permintaan gue, kali aja lo lupa.”

Ikarus menghela napas panjang sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Habisin nasi goreng lo!”

Tidak ada percakapan apa-apa selama beberapa saat. Hera sibuk mengunyah nasi gorengnya tanpa suara. Terus terang saja ia memang sejak tadi kelaparan. Salahkan tingkahnya yang kekanakan. Hanya karena ada yang mengganjal di hatinya terkait kejadian semalam, ia bahkan melakukan hal-hal bodoh hanya untuk sekadar menarik perhatian Ikarus.

“Rus…”

“Hm?”

“Lo mau nggak nikah sama gue?”

Mendengar pertanyaan itu, Ikarus tiba-tiba tersedak. Ia sedikit menegakkan posisi duduknya sembari menekan dadanya kuat-kuat yang kini terasa perih.

“Lo bisa hati-hati nggak, sih? Diminum!” ujar Hera sembari mengangsurkan segelas air putih kepadanya.

“Lo yang bikin gue keselek.” Ikarus sudah mendelik sembari mengusap bibirnya yang basah. “Lo kenapa sih, Ra. Lo lagi stres atau banyak pikiran, ya? Mending lo sekarang tidur aja, deh.”

Hera lantas bangkit dari duduknya lalu membereskan sisa-sisa tempat nasi gorengnya. Baru setelahnya ia bergerak menuju wastafel dan langsung mencucinya.

“Gue serius, Rus.” Hera mendesah gusar. “Katanya lo mau tanggung jawab.”

“Ya nggak… begini juga, kan?” ujar Ikarus ragu. “I mean, ini nikah, Ra. Bukan semacam lo ngajakin ngopi atau nongkrong sama anak-anak.”

“I know. Tapi gue sekarang lagi buntu.” Hera menghela napas panjang sembari satu tangannya ditopangkan di kepala.

“Buntu kenapa? Lo lagi ada masalah?” tanya Ikarus.

Ada jeda selama beberapa saat dan Ikarus bisa melihat setitik keraguan di balik mata lelah Hera. “Yang kalian bilang benar… Bima nggak cukup baik untuk dijadikan pasangan hidup buat gue.” Hera membalikkan badan lalu bersandar di pinggiran kabinet dapur. “Bima sengaja deketin gue agar dia bisa jadi artis terkenal.”

“Lo tahu dari mana?” tanya Ikarus menanggapi ucapan Hera.

“Gue dengar sendiri dari mulutnya. Dia bicara seolah-olah itu hal yang terlalu biasa… dia bicara dengan teman sesama artis, dan gue nggak sengaja mendengar semuanya.” Hera terkekeh pelan. “Silakan kalau lo mau menertawakan gue. Ditambah dia dengan penuh percaya dirinya bilang kalau mau cicipi tubuh gue.” Hera menghela napas. “In his dream.”

“Lo nggak tampar dia?”

Hera tersenyum getir sambil menggelengkan kepalanya. “Terlalu mudah… gue pengen dia membayar apa yang sudah dia lakukan ke gue. At least, dia harus hancur karirnya karena sudah berani main-main sama gue.” Perempuan itu bersedekap, menatap lekat ke arah Ikarus. “Karena itulah gue butuh lo untuk bantu gue, Rus. Gue bakalan kasih tumpangan di sini buat lo, dan sebagai gantinya… lo bantu gue buat balas dendam ke dia.”

“Lo udah punya planning? Nyokap lo tahu soal ini?”

Hera lagi-lagi menggeleng. “Ya itu tadi… lo nikah sama gue. Nyokap sih belum tahu. Karena tadinya gue pikir dia bakalan serius sama gue dan dia juga udah berhasil meyakinkan nyokap gue.”

“Gue bisa bikin karirnya Bima hancur dalam sekejap. Gue bisa bikin namanya viral dalam hitungan detik.”

“No! Itu terlalu… cepat nggak, sih? Gue harus memastikan dia benar-benar tersiksa dulu, Rus. Kalau perlu… kita nikah dalam waktu dekat ini? Gimana?”

Ikarus menghela napas pendek. “Dasar orang gila! Nggak lo, nggak Artemis, sama aja.”

“Kasusnya kan beda, Rus. Kalau Artemis karena dia didesak sama bokapnya, ditambah dia nggak mungkin menjalin hubungan sama si Om yang punya istri itu, kan? Sementara gue, gue kan pengen balas dendam sama Bima karena udah berani manfaatin gue.”

“Terus menurut lo, nyokap lo nggak bertanya-tanya gitu? Secara nyokap lo suka banget sama Bima. Apa nggak kaget tiba-tiba lo nikah sama gue?”

“Mama kan juga kenal sama lo, Rus. Nggak bakalan kaget-kaget amat lah.”

“Terus gue dapat apa?” tembak Ikarus langsung.

“Gue udah ngasih tumpangan buat lo di sini, by the way. Masih kurang?”

“Nggak sebanding dong, Ra.” Ikarus ikut bangkit dan berjalan mendekati Hera. “Gue bakalan bilang apa ke bokap sama nyokap gue, hm?”

“Ya anggap aja… lo cinta sama gue. Karena itu lo nikahin gue. Selesai, kan?” Ikarus menggeleng dan Hera kembali melanjutkan ucapannya. “Terus lo mau apa dari gue?”

“Temenin gue kondangan.”

Hera tertegun cukup lama. “Wah… cuma itu doang?”

Ikarus mengangguk. “Untuk sementara itu dulu. Sambil gue pikir-pikir permintaan lainnya.”

“Lo nggak berniat buat nidurin gue, kan?” ujar Hera dengan cepat.

“Kalau gue udah nikah sama lo. Bukankah itu  hal wajib yang harus dilakukan, ya?”

Hera kemudian memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. “Ngg… lo menganggap pernikahan ini bakalan serius?”

“Terus lo maunya main-main?”

“Ya nggak gitu juga, Ikarus. At least lo nikahin cewek yang beneran lo cinta, deh. Tapi bukan gue orangnya, dong?”

Ikarus menghela napas. “Gue mau ambil koper di tempatnya Eros. Kalau lo udah ngantuk, tidur aja. Password apartemennya masih sama, kan?”

“Lama, nggak? Eros nggak ada di kosan katanya.”

“Kuncinya paling ada di bawah keset. Nggak lama, kok. Cuma ambil koper doang.”

“Oke.” Hera mengangguk. “Gue cuma mau memastikan aja kalau lo nggak akan kabur gara-gara gue ajak nikah.”

“Nggak. Soal pernikahan… kita bicarakan nanti. Gue nggak mau bantu cuma-cuma soalnya.”

“Dasar perhitungan!”

Sepeninggal Ikarus, Hera memilih untuk menghabiskan waktu di depan layar televisi lantaran ia belum mengantuk. Ada banyak hal yang kini berjejalan di kepalanya, membuat perempuan itu ragu dengan keputusannya. Sesekali ia menoleh ke arah paper bag yang sengaja disiapkan Hera di sana. Malam ini ia akan memberikannya kepada Ikarus.

Satu jam telah berlalu, Hera menolehkan wajah saat mendengar seseorang menekan digit-digit angka di depan pintu. Bersamaan dengan wajah Ikarus yang muncul dari balik pintu unitnya.

“Belum tidur?” tanya Ikarus sembari melirik jam yang melingkar di tangannya.

“Be-belum. Gue lagi nonton drakor tadi.”

“Oh.” Ikarus manggut-manggut. “Gue ke kamar, ya?”

“Tunggu, Rus.”

Pria itu menghentikan langkahnya. Satu alis Ikarus tertarik ke atas. “Kenapa?”

Hera tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Ia mengangsurkan sebuah paper bag dengan label nama ‘gucci’ kepada Ikarus.

“Apa ini?” tanyanya sembari menundukkan wajah. 

“Buat gantiin kemeja lo yang gue rusak semalam.” Hera menggigit bibirnya bagian dalam. “Kita… damai, kan?”

Diam-diam Ikarus menarik bibirnya. “Lo juga sebenarnya belum bisa lupa sama apa yang kita lakukan semalam, kan?”

“Ngg… nggak. Gue udah lupa, kok!” Hera menelan ludahnya dengan susah payah, lalu memalingkan wajahnya dengan cepat. Mencoba menghindari tatapan Ikarus.

“Oh ya…” Ikarus melangkah mendekati Hera, membuat perempuan itu berjengit kaget karenanya. Kini jarak keduanya tinggal sejengkal dengan tatapan mereka bertumbukan selama beberapa saat.

“Rus, lo mau ngapain?!” tanya Hera dengan antipati.

“Lo bahkan nggak berani natap gue, Ra,” ujar Ikarus lirih. “Begitu lo bilang udah lupa? Pembohong ulung!” katanya sembari menyentil dahi Hera.

Hera kemudian mendorong dada bidang Ikarus. Membuat pria itu menjauh darinya. “Nggak usah aneh-aneh, deh! Dah ah, gue ngantuk!” 

Hera melangkah cepat meninggalkan Ikarus dan segera bergegas menuju ke kamarnya. Setelah mengunci kamarnya sebanyak dua kali, perempuan itu menyentuh dadanya yang berdebar begitu kencang.

“Wah… kayaknya emang gue udah nggak waras, deh!”

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status