[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.]
[Kangen…] Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap. “Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya. “Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?” “Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke belakang. “Nah, gini kan rapi!” “Mm… tahu dari mana ukuran gue?” tanya Ikarus kemudian. “Cuma nebak aja, sih. Lo nggak mungkin pakai kemeja ukuran S atau XXL juga, kan?” Hera terkekeh. “Mau berangkat sekarang?” “Iya. Gue bawa mobilnya Ares.” “Sure. Gue bawa mobil sendiri, deh. Siang ini gue mau lunch meeting sama Pak Sudiro dan koleganya soalnya.” Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, keduanya lantas meninggalkan unit apartemen dengan langkah yang bersisian. Begitu tiba di basement, keduanya masuk ke mobil masing-masing dan detik selanjutnya mereka mulai melajukan mobilnya untuk segera menuju ke hotel. Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh lebih lima menit, keduanya tiba di lobi hotel. Mereka mengayunkan langkah ke ruangan masing-masing bersamaan dengan suara Ares yang memanggil namanya, Ikarus kemudian berhenti dan menoleh. “Rus!” Hera hanya melambaikan tangannya sebelum kemudian ia bergegas menuju ke ruangannya. Ada banyak pekerjaan yang menunggu dan perempuan itu tidak ingin menghabiskan waktunya dengan berbincang bersama mereka. “Bareng sama Hera?” tanya Ares sekali lagi. “Gue udah resmi pindah ke apartemennya Hera.” “Wah…” Ares menggeleng takjub. “Di antara banyak bantuan yang gue tawarkan ke lo, jadi bantuan dari Hera yang lo ambil. Kok sakit, ya?” Ikarus tergelak. “Lo yang nyuruh gue gerak cepat, kan?” Ares hanya mengedikkan bahu, keduanya melangkah bersisian menuju ke restoran untuk menikmati sarapan bersama. Selain sudah menjadi aktivitasnya sebagai seorang General Manager dan Executive Assistant Manager di hotel tempatnya bekerja, sudah menjadi tanggung jawab mereka melakukan quality control setiap harinya. “Tapi lo udah yakin?” tembak Ares sambil menyesap kopinya. Suasana restoran pagi itu terlihat masih lengang mengingat bahwa belum banyak tamu-tamu hotel yang turun ke restoran. “Gimana dengan Nadine?” Untuk selama beberapa saat Ikarus hanya diam sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ares. “Gue nggak tahu.” “Come on, Rus. Yang tahu soal Nadine cuma gue sama Eros, doang. Lo nggak mungkin melanjutkan semua ini kalau hati lo masih tertahan di Nadine, kan?” “Nadine akan menikah dalam waktu dekat ini. Dia terpaksa menerima perjodohannya dengan putra konglomerat pemilik real estate di kawasan Pecatu karena kondisi nyokapnya yang kritis. Itu permintaan nyokapnya Nadine.” “Bangsat!” maki Ares murka. “Kenapa lo nggak pernah bilang soal ini? Dan lo masih mau melanjutkan hubungan lo sama Nadine? Selama ini lo diam-diam menjalin hubungan sama Nadine, Rus. Dia bahkan nggak punya keberanian untuk memperjuangkan lo, kan? Sinting memang!” “Tapi gue tahu kalau dia sayang sama gue, Res.” “Bulshit! Gue nggak percaya kalau Nadine beneran suka sama lo,” sanggah Ares tak terima. Ikarus menghela napas panjang. “Hera ngajak gue nikah.” “What the—” Ares menahan kalimatnya. “Secepat itu?” Ikarus mengangguk. “Cuma sebatas kesepakatan tepatnya. Keputusan Hera kali ini masih ada hubungannya dengan Bima. Jadi, Bima sengaja memanfaatkan Hera biar nyokapnya bisa naikin rating-nya. Dan Hera pengen balas dendam sama cowok itu.” “Brengsek! Udah gue bilang kalau feeling gue nggak pernah meleset.” Ares mendecak. “Terus keputusan lo?” “Gue kepikiran memanfaatkan Hera juga untuk bisa melepaskan diri dari Nadine.” “Fuck! Nadine dan Hera dua cewek yang berbeda, Rus. Gue tahu kalau hubungan lo sama Nadine baik-baik saja selama ini, tapi sebelum adanya kabar kalau Nadine akan menikah dalam waktu dekat ini. Dan lo nggak mungkin menunggu Nadine jadi janda dulu, selagi lo nikah sama Hera, dong? Hera sahabat kita, Rus. Dia cewek terlarang yang boleh lo sakiti.” “So what?” Ikarus mengedikkan bahu. “Apa bedanya gue sama Hera? Hera memanfaatkan gue untuk membalaskan dendamnya terhadap Bima. Sementara gue memanfaatkan Hera untuk menunggu Nadine menyelesaikan urusannya. Nggak ada bedanya, kan?” Ares mendecih. “Dan lo yakin Nadine bakalan bercerai setelah itu?” Sementara Ikarus tidak mengatakan apa-apa. Sampai saat waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Ikarus mulai melajukan mobilnya meninggalkan Sixty Season Resort. Pria itu melajukan mobilnya menuju ke salah satu restoran yang ada di kawasan Seminyak. Begitu Ikarus turun dari mobil, pria itu mengayunkan langkahnya masuk ke restoran tersebut. Matanya mengedar ke sekitar sembari satu tangannya yang memegang ponsel yang melekat di telinga. Panggilan itu tersambung, namun tidak ada jawaban di sana. Lalu, “Mas!” Ikarus mengulas senyuman kecil lalu melangkah menghampiri Nadine yang saat ini sudah duduk di salah satu bangku yang paling dekat dengan jendela. “Udah lama nunggunya?” tanya Ikarus sembari menarik kursi di hadapannya. Keduanya kini duduk berhadapan dengan kedua tangannya yang dilipat di atas meja. “Belum, kok. Aku juga barusan sampai. Mau langsung pesan dulu?” Ikarus mengangguk lalu tangannya mulai membuka menu makanan dan minuman yang ada di sampingnya. Untuk selama beberapa saat hanya ada hening yang hadir di antara mereka. “Mas Ikarus mau pesan apa?” Nadine kemudian memanggil salah satu waiter yang berdiri tak jauh dari mejanya lalu menyebutkan pesanan mereka. Setelah pesanan mereka dicatat, waiter itu meninggalkan meja mereka. Lagi-lagi kembali hening. “Mas…” “Mm? Kenapa, Nad?” “Mas Ikarus marah, ya?” “Kenapa Mas harus marah?” Ikarus meneguk minumannya dengan pelan, berusaha untuk tetap tenang meskipun dadanya kini bergemuruh hebat. “Maaf, Mas…” ujar Nadine sembari meraih tangan Ikarus ke dalam genggamannya. “Mas tahu kan, kalau aku sayang sama Mas Ikarus? Tapi, keadaan yang membuatku… sulit. Kondisi Mama udah kritis dan aku nggak mungkin menolak permintaan Mama kali ini.” “Ya.” “Ya?” Nadine menghela napas pendek, matanya mengerjap sayu, merasa bersalah karena harus memutuskan segalanya secepat ini. “Please, Mas…” “Yang penting kamu bahagia, Nad. Apapun pilihan kamu, Mas pasti akan mendukungnya.” Nadine menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada raut kecewa dan sedih yang bercampur menjadi satu. Mati-matian Ikarus menahan diri untuk tidak bangkit dan menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. “Aku bahagianya sama Mas Ikarus,” ujar Nadine dengan suara lirih. “Aku janji, Mas. Satu tahun saja. Setelah itu aku bakalan menceraikan dia.” “Ya.” “Resepsi pernikahannya akan diadakan dua minggu lagi. Mas bakalan datang, kan?” “Iya. Aku pasti akan datang nanti.” Batin Ikarus tengah berperang hebat. Entah mengapa ia merasa tidak berkutik saat melihat raut penuh penyesalan yang tercetak jelas di mata Nadine Putri Gunadi—sosok perempuan yang selama setahun belakangan ini mengisi hatinya. Pun ketika kini Ikarus sedang dalam perjalanan kembali ke hotel. Pikirannya mendadak penuh memikirkan perkataan Nadine. Saat tiba di hotel, Ikarus memarkirkan mobilnya di area basement. Ia turun dari mobilnya lalu melangkah menyusuri lobi. Saat ia tiba di ruangannya, ia melemparkan punggungnya di sofa dengan lengannya yang kini menutupi wajah. Kepalanya mendadak terasa pening. “Rus! Lo—” Bibir Hera seketika terkatup rapat. “Lo kenapa?” tanya perempuan itu sembari mendekati pria itu. Ikarus menurunkan lengannya. Tidak mengatakan apa-apa. Sampai saat tiba-tiba Ikarus menarik tengkuk leher Hera dan langsung melumat bibir perempuan itu dengan membabi buta. “Rus! Mmpph—” Hera yang baru saja memberontak, tak cukup memiliki tenaga lantaran tangan Ikarus sudah lebih dulu menahannya. Napas keduanya terengah-engah. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Sampai akhirnya Ikarus menunggu Hera menamparnya atau memukulnya karena perbuatannya barusan. Namun tidak ada yang dilakukan perempuan itu. Lalu, “Jadi, kapan kita menikah?” ***“Belum balik?” Ikarus mendongakkan wajah dan mendapati Ares berdiri di ambang pintu ruangannya. “Mau ngopi dulu, nggak? Kayaknya lo lagi banyak pikiran.”Ikarus tidak menjawab namun ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Mereka mengayunkan langkahnya menuju ke Sixty Lounge—cafe yang ada di pinggir pantai, masih di bawah naungan Sixty Season Resort.Begitu tiba di Sixty Lounge, mereka kemudian memesan dua cangkir kopi dan langsung duduk di salah satu meja yang kosong. Ditatapnya kerlap-kerlip di seberang lautan sana. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Lalu, “Gue tadi siang ketemu sama Nadine. Dua minggu lagi dia akan menikah.”“So?”Ikarus menggeleng. “Gue udah feeling lama sebenarnya, Res. Hubungan gue sama Nadine nggak akan berhasil. Lo masih ingat waktu lo minta gue untuk melepaskan dia dan memilih untuk deketin Hera, kan?” Pria itu menyesap kopinya. “Gue sempat memikirkannya.”“Memikirkan Hera?”Ikarus mengangguk. “Iya. Hanya saja waktu itu Nadine yang nggak mau gue l
“Karena lo nggak bilang gue mesti pakai dress yang gimana, gue ambil dress asal. Semoga aja gue nggak saltum.”Mendengar perkataan itu, Ikarus yang terlihat resah sejak tadi lantas menoleh ke belakang dan langsung tertegun.“Gimana? Gue udah cocok digandeng ke kondangan, kan?” ujarnya lagi. Perempuan itu memutar tubuhnya, seolah ingin memperlihatkan betapa sempurnanya penampilannya kali ini.Ikarus yang melihatnya lantas bangkit dari duduknya dan langsung menerbitkan senyuman kecilnya. “Perfect!”Sudah hampir satu bulan lebih Ikarus tinggal di apartemen Hera. Dan selama itu pula mereka menjadi partner yang saling menguntungkan satu sama lain.“Gue nggak habis pikir kenapa Bima nggak seriusin lo aja,” celetuk Ikarus sembari membelai bahu Hera. “Lo cantik, lo sempurna, lo juga… enak.”Mendengar kalimat kurang ajar Ikarus, Hera menatap pria itu dengan tatapan galak. “Bilang aja lo ketagihan!”Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas. “Lo juga, kan?”Hera lantas menundukkan wajahnya. Pura-
“Take off your underpants.”“Lo gila?!” Hera membelalak. “Di sini?”Ikarus tidak menjawabnya. Wajahnya sudah merapat, lalu ia mendaratkan kecupan di ceruk leher Hera dengan satu tangannya menurunkan dress itu hingga lirih ke pinggang.Tak hanya sampai di sana, tangannya kemudian bergerak turun. Telapak tangannya yang hangat bergerak mengusap paha di balik dress yang dikenakannya. Menurunkan celana dalam Hera dengan tangannya sendiri.Lalu, “Akh, Rush…” Jemari Ikarus sudah menyelinap dan tenggelam di bawah sana. Membuat Hera yang tidak tahan dengan sentuhan Ikarus hanya bisa menggigit bibirnya. “You’re crazy.” Meskipun dalam hatinya, Hera juga menikmati.“You look so sexy in two situations,” desis Ikarus dengan suara sensual. “When you wear the sexiest dress and when you moan my name loudly.”Hera menarik ujung bibirnya ke atas membentuk sebuah senyuman. Ia bisa merasakan dadanya berdesir hangat seiring dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Terlebih saat jemari Ikarus dengan lihai memai
Geliat tubuh Hera yang kini berada di sampingnya membuat Ikarus yang sejak tadi sudah terbangun dengan satu tangannya yang memegang iPad, kemudian menoleh. Tangannya terulur. Mengusap punggung telanjang Hera, mencoba untuk menenangkannya. Setelah melakukan percintaan panas di mobil, malamnya mereka melanjutkan aktivitas menyenangkan itu di kamar Hera lagi. Ikarus sempat memuji dirinya sendiri. Sejak kapan ia bisa membuat Hera yang baru pertama kalinya berhubungan seks bisa menjadi semaniak ini?“Lo udah bangun?” Antara masih mengantuk atau menyadari bahwa Ikarus yang tengah terbaring dengan satu tangannya memegang iPad, membuat Hera mengerjap pelan. “Jam berapa sekarang?”“Masih jam empat, Ra. Kalau lo mau tidur, tidur aja lagi. Nanti gue bangunin jam lima.”Hera hanya bergumam. Satu tangannya melingkar di perut Ikarus yang masih belum mengenakan apa-apa. Matanya kembali terpejam dan hal itu membuat Ikarus menghentikan aktivitasnya.Pria itu menaruh iPad di atas nakas lalu menyurukk
HERA mengayunkan langkahnya melewati pintu masuk Perkara Segalanya Coffee. Ia melepaskan kacamata hitam yang dikenakannya, lalu menatap ke sekitar. “Hai, Ri.” Hera melangkah menghampiri konter barista. Ia berdiri dengan satu tangannya yang menopang dagu. Menatap lekat ke arah perempuan itu. “Wah… rame banget, ya?”Sepupu Agnia itu mengulas senyuman kecil. “Eh, Mbak Hera. Iya, nih, Mbak. Mbak Hera sendirian?”“Iya. Yang lainnya sih masih jadi kacung. Gue mau nemuin si Mami Cantik itu.” Dagu Hera menunjuk ke arah Artemis yang tengah memangku Tiff—putrinya yang kini berusia tujuh bulan. “Eros shift apa hari ini?”“Hari ini dia libur, Mbak. Mbak Hera mau pesan apa? Biar sekalian aku buatin.”“Mm, boleh. Gue pesan iced cappuccino deh, Ri. Open bill aja, ya? Kali aja nanti mau nambah lagi.”“Oke.”Setelah pesanannya jadi, Hera kemudian mengayunkan langkahnya menuju toilet untuk sekadar mencuci tangannya. Sebelum kemudian ia menghampiri Artemis yang tengah duduk bersama bayinya.Artemis sen
Hoek!“Ra, lo baik-baik saja?” tanya Rhea yang sudah berdiri dengan satu tangannya yang membawa tasnya.Hera baru saja kembali ke hotel setelah menghabiskan sorenya bersama Artemis di Perkara Segalanya Coffee. Sebelum pulang tadi, Hera mendapatkan pesan dari seseorang. Nomor tak dikenal, namun Hera tahu siapa yang mengirimkan pesan itu.[Bisa kita ketemu? Ada yang harus kita bicarakan. Tentang Mas Ikarus.]Hera sudah bisa menebak jika Nadine tidak akan tinggal diam setelah mengetahui apa yang terjadi dengannya dengan Ikarus. Terlebih saat ia tahu bahwa Nadine tidak bisa merelakan Ikarus untuk bersamanya.“Gue nggak apa-apa kok, Rhe. Kalau Lo mau balik, balik aja.”“Lo yakin?” Rhea kemudian menyentuh kening Hera dengan punggung tangannya, sedikit hangat. “Lo nggak demam. Atau jangan-jangan lo masuk angin? Siang tadi udah makan belum?”“Udah, kok.”“Lo yakin nggak mau ke dokter?”Hera mendesah pelan sembari memutar matanya. “Gue baik-baik saja, Rhe. Sana deh kalau lo mau balik.”Rhea me
“Mas, aku kangen. Kapan aku bisa ketemu Mas Ikarus?”Ikarus menghela napas panjang. “Nad, minggu lalu kamu baru saja menikah.”“Aku tahu. Tapi aku kangen sama Mas Ikarus.” Ikarus hanya diam, dan Nadine kembali melanjutkan. “Aku tahu kalau Mas Ikarus masih sayang sama aku. Pun begitu dengan aku, Mas. Mas Ikarus masih mau ketemu sama aku, kan?”Ikarus mendesah pelan, matanya terpaku pada bahan-bahan makanan yang baru saja disiapkannya. Ikarus baru akan mulai memasak. Tinggal bersama Hera selama berminggu-minggu, membuat pria itu menjadi tahu apa saja yang disukai Hera. “Kamu di mana sekarang?” tanyanya dengan bimbang.“Aku di… luar. Mas Ikarus mau menemui aku sekarang?”“Mas kabarin di mana tempatnya.”Setelah mengakhiri panggilannya, Ikarus kemudian melanjutkan ritual memasaknya. Meskipun tidak terlalu ahli dalam memasak, nyatanya masakannya tidak terlalu buruk. Sesekali Hera memujinya dan entah mengapa Ikarus merasa senang dipuji perempuan itu.Setelah memastikan makanannya telah mata
“Sumpah ya, Kak. Lo nggak lagi kesurupan, kan tiba-tiba lo datang ke sini? Ini udah malam dan lo udah berhasil bikin gue nggak jadi party sama anak-anak.”“Makanya kalau lo mau ke sini tuh, diam-diam aja nggak, sih? Gue lagi galau, Waf. Bisa nggak, kelakuan lo nggak dajjal-dajjal amat sama kakak sendiri?”Wafa mendecak sembari memutar matanya, menatap Hera yang kini tengah menyandarkan kepala di bantal besar di pangkuannya. “Ck! Lo galau kenapa, sih? Mending kita party aja gimana? Guest star di Despresso Bar Sheila on 7, nih!” “Gue lagi males clubbing. Dan kayaknya gue udah nggak boleh clubbing, deh.”“Kenapa? Tumben?” Wafa mengerutkan keningnya. Matanya menatap Hera dengan raut penasaran.“Gue hamil.”“Oh—” Wafa kembali menoleh ke depan. “WHAT?! HAMIL?!”Hera bahkan sampai mendelik tajam mendengar teriakan Wafa. “Apaan sih, Waf! Lo bisa santai, nggak?”Wafa sudah melotot dengan mulutnya yang menganga. Kehilangan kata-kata saat melihat reaksi Hera yang biasa-biasa saja. “Sumpah ya, K