Share

8. Nadine Putri Gunadi

[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.]

[Kangen…]

Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap.

“Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya.

“Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?”

“Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke belakang. “Nah, gini kan rapi!”

“Mm… tahu dari mana ukuran gue?” tanya Ikarus kemudian.

“Cuma nebak aja, sih. Lo nggak mungkin pakai kemeja ukuran S atau XXL juga, kan?” Hera terkekeh. “Mau berangkat sekarang?”

“Iya. Gue bawa mobilnya Ares.”

“Sure. Gue bawa mobil sendiri, deh. Siang ini gue mau lunch meeting sama Pak Sudiro dan koleganya soalnya.”

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, keduanya lantas meninggalkan unit apartemen dengan langkah yang bersisian. Begitu tiba di basement, keduanya masuk ke mobil masing-masing dan detik selanjutnya mereka mulai melajukan mobilnya untuk segera menuju ke hotel.

Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh lebih lima menit, keduanya tiba di lobi hotel. Mereka mengayunkan langkah ke ruangan masing-masing bersamaan dengan suara Ares yang memanggil namanya, Ikarus kemudian berhenti dan menoleh.

“Rus!”

Hera hanya melambaikan tangannya sebelum kemudian ia bergegas menuju ke ruangannya. Ada banyak pekerjaan yang menunggu dan perempuan itu tidak ingin menghabiskan waktunya dengan berbincang bersama mereka.

“Bareng sama Hera?” tanya Ares sekali lagi.

“Gue udah resmi pindah ke apartemennya Hera.”

“Wah…” Ares menggeleng takjub. “Di antara banyak bantuan yang gue tawarkan ke lo, jadi bantuan dari Hera yang lo ambil. Kok sakit, ya?”

Ikarus tergelak. “Lo yang nyuruh gue gerak cepat, kan?”

Ares hanya mengedikkan bahu, keduanya melangkah bersisian menuju ke restoran untuk menikmati sarapan bersama. Selain sudah menjadi aktivitasnya sebagai seorang General Manager dan Executive Assistant Manager di hotel tempatnya bekerja, sudah menjadi tanggung jawab mereka melakukan quality control setiap harinya.

“Tapi lo udah yakin?” tembak Ares sambil menyesap kopinya. Suasana restoran pagi itu terlihat masih lengang mengingat bahwa belum banyak tamu-tamu hotel yang turun ke restoran. “Gimana dengan Nadine?”

Untuk selama beberapa saat Ikarus hanya diam sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ares. “Gue nggak tahu.”

“Come on, Rus. Yang tahu soal Nadine cuma gue sama Eros, doang. Lo nggak mungkin melanjutkan semua ini kalau hati lo masih tertahan di Nadine, kan?”

“Nadine akan menikah dalam waktu dekat ini. Dia terpaksa menerima perjodohannya dengan putra konglomerat pemilik real estate di kawasan Pecatu karena kondisi nyokapnya yang kritis. Itu permintaan nyokapnya Nadine.”

“Bangsat!” maki Ares murka. “Kenapa lo nggak pernah bilang soal ini? Dan lo masih mau melanjutkan hubungan lo sama Nadine? Selama ini lo diam-diam menjalin hubungan sama Nadine, Rus. Dia bahkan nggak punya keberanian untuk memperjuangkan lo, kan? Sinting memang!”

“Tapi gue tahu kalau dia sayang sama gue, Res.”

“Bulshit! Gue nggak percaya kalau Nadine beneran suka sama lo,” sanggah Ares tak terima.

Ikarus menghela napas panjang. “Hera ngajak gue nikah.”

“What the—” Ares menahan kalimatnya. “Secepat itu?”

Ikarus mengangguk. “Cuma sebatas kesepakatan tepatnya. Keputusan Hera kali ini masih ada hubungannya dengan Bima. Jadi, Bima sengaja memanfaatkan Hera biar nyokapnya bisa naikin rating-nya. Dan Hera pengen balas dendam sama cowok itu.”

“Brengsek! Udah gue bilang kalau feeling gue nggak pernah meleset.” Ares mendecak. “Terus keputusan lo?”

“Gue kepikiran memanfaatkan Hera juga untuk bisa melepaskan diri dari Nadine.”

“Fuck! Nadine dan Hera dua cewek yang berbeda, Rus. Gue tahu kalau hubungan lo sama Nadine baik-baik saja selama ini, tapi sebelum adanya kabar kalau Nadine akan menikah dalam waktu dekat ini. Dan lo nggak mungkin menunggu Nadine jadi janda dulu, selagi lo nikah sama Hera, dong? Hera sahabat kita, Rus. Dia cewek terlarang yang boleh lo sakiti.”

“So what?” Ikarus mengedikkan bahu. “Apa bedanya gue sama Hera? Hera memanfaatkan gue untuk membalaskan dendamnya terhadap Bima. Sementara gue memanfaatkan Hera untuk menunggu Nadine menyelesaikan urusannya. Nggak ada bedanya, kan?”

Ares mendecih. “Dan lo yakin Nadine bakalan bercerai setelah itu?”

Sementara Ikarus tidak mengatakan apa-apa. Sampai saat waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Ikarus mulai melajukan mobilnya meninggalkan Sixty Season Resort. Pria itu melajukan mobilnya menuju ke salah satu restoran yang ada di kawasan Seminyak.

Begitu Ikarus turun dari mobil, pria itu mengayunkan langkahnya masuk ke restoran tersebut. Matanya mengedar ke sekitar sembari satu tangannya yang memegang ponsel yang melekat di telinga. Panggilan itu tersambung, namun tidak ada jawaban di sana.

Lalu, “Mas!”

Ikarus mengulas senyuman kecil lalu melangkah menghampiri Nadine yang saat ini sudah duduk di salah satu bangku yang paling dekat dengan jendela. 

“Udah lama nunggunya?” tanya Ikarus sembari menarik kursi di hadapannya. Keduanya kini duduk berhadapan dengan kedua tangannya yang dilipat di atas meja.

“Belum, kok. Aku juga barusan sampai. Mau langsung pesan dulu?”

Ikarus mengangguk lalu tangannya mulai membuka menu makanan dan minuman yang ada di sampingnya. Untuk selama beberapa saat hanya ada hening yang hadir di antara mereka. 

“Mas Ikarus mau pesan apa?”

Nadine kemudian memanggil salah satu waiter yang berdiri tak jauh dari mejanya lalu menyebutkan pesanan mereka. Setelah pesanan mereka dicatat, waiter itu meninggalkan meja mereka. Lagi-lagi kembali hening. 

“Mas…”

“Mm? Kenapa, Nad?”

“Mas Ikarus marah, ya?”

“Kenapa Mas harus marah?” Ikarus meneguk minumannya dengan pelan, berusaha untuk tetap tenang meskipun dadanya kini bergemuruh hebat. 

“Maaf, Mas…” ujar Nadine sembari meraih tangan Ikarus ke dalam genggamannya. “Mas tahu kan, kalau aku sayang sama Mas Ikarus? Tapi, keadaan yang membuatku… sulit. Kondisi Mama udah kritis dan aku nggak mungkin menolak permintaan Mama kali ini.”

“Ya.”

“Ya?” Nadine menghela napas pendek, matanya mengerjap sayu, merasa bersalah karena harus memutuskan segalanya secepat ini. “Please, Mas…”

“Yang penting kamu bahagia, Nad. Apapun pilihan kamu, Mas pasti akan mendukungnya.”

Nadine menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada raut kecewa dan sedih yang bercampur menjadi satu. Mati-matian Ikarus menahan diri untuk tidak bangkit dan menarik perempuan itu ke dalam dekapannya.

“Aku bahagianya sama Mas Ikarus,” ujar Nadine dengan suara lirih. “Aku janji, Mas. Satu tahun saja. Setelah itu aku bakalan menceraikan dia.”

“Ya.”

“Resepsi pernikahannya akan diadakan dua minggu lagi. Mas bakalan datang, kan?”

“Iya. Aku pasti akan datang nanti.”

Batin Ikarus tengah berperang hebat. Entah mengapa ia merasa tidak berkutik saat melihat raut penuh penyesalan yang tercetak jelas di mata Nadine Putri Gunadi—sosok perempuan yang selama setahun belakangan ini mengisi hatinya.

Pun ketika kini Ikarus sedang dalam perjalanan kembali ke hotel. Pikirannya mendadak penuh memikirkan perkataan Nadine.

Saat tiba di hotel, Ikarus memarkirkan mobilnya di area basement. Ia turun dari mobilnya lalu melangkah menyusuri lobi. Saat ia tiba di ruangannya, ia melemparkan punggungnya di sofa dengan lengannya yang kini menutupi wajah. Kepalanya mendadak terasa pening.

“Rus! Lo—” Bibir Hera seketika terkatup rapat. “Lo kenapa?” tanya perempuan itu sembari mendekati pria itu.

Ikarus menurunkan lengannya. Tidak mengatakan apa-apa. Sampai saat tiba-tiba Ikarus menarik tengkuk leher Hera dan langsung melumat bibir perempuan itu dengan membabi buta.

“Rus! Mmpph—” Hera yang baru saja memberontak, tak cukup memiliki tenaga lantaran tangan Ikarus sudah lebih dulu menahannya.

Napas keduanya terengah-engah. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat. Sampai akhirnya Ikarus menunggu Hera menamparnya atau memukulnya karena perbuatannya barusan. Namun tidak ada yang dilakukan perempuan itu. 

Lalu, “Jadi, kapan kita menikah?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status