“Apa? Lo beneran nemuin Dimas? Jadi Dimas udah tahu semuanya tentang lo sama Nadine?” Ares membelalak lebar, hampir tidak mempercayai ide yang baru saja dikatakan Ikarus. “Orang gila!”“Satu-satunya cara untuk menghentikan Nadine adalah dengan membongkar semuanya. Lo tahu sendiri kalau gue bisa saja menyingkirkan Nadine dengan cara gue sendiri. Tapi gue cukup tahu diri untuk menghargai Dimas karena udah bantu Hera pulih sejauh ini.”“Lo yakin dianya nggak ada dendam apa-apa sama lo?”“Entahlah. Lagipula gue sama sekali nggak ganggu rumah tangga dia sama Nadine, kan?” Ikarus menghela napas panjang. “By the way, lo udah mastiin Hera sarapan tadi, kan?”“Hm. Tadi pagi gue ajak dia breakfast di restoran elah dan dia baik-baik saja.” Ares mendecak pelan. “Kalau lo penasaran, samperin ke ruangannya, Bangsat. Nggak usah jadi pengecut gini.”“Gue bukan mau jadi pengecut, Res. Sebenarnya semalam gue udah agak lega karena dia datang ke acara bokap semalam. Tapi ya gitu… dia masih marah sama gue
IKARUS berjalan mondar-mandir di depan ruang IGD. Pikirannya yang tengah melayang memikirkan bagaimana kondisi Hera, membuat segalanya terasa kacau. Hatinya tidak tenang.“Dia ada keluhan sakit sebelumnya?”Ikarus menggeleng. Seingatnya kemarin malam perempuan itu baik-baik saja. Bahkan hari ini ia sempat melihat Hera sibuk bekerja meskipun mereka tidak sempat bertegur sapa.“Di kantor dia kelihatan baik-baik saja, Dok. Dia sama sekali nggak kelihatan sedang sakit pagi ini.”Di sela kekalutannya memikirkan kondisi Hera, seorang dokter bersneli putih muncul dari balik tirai. Pria itu menggantungkan stetoskop di lehernya, lalu memulas wajahnya dengan senyuman.“Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” tanya Ikarus dengan panik.“Memang untuk kondisi kandungan trimester awal itu sangat beresiko, Pak. Jadi saya—”“Tunggu, Dok.” Ikarus mengerjapkan matanya. “Kandungan? Maksud dokter, istri saya—”“Anda tidak tahu kalau istri Anda tengah hamil?”Ikarus tertegun. Ia menoleh ke samping, menatap Do
“Good morning, Wife!” Suara lembut Ikarus membuat Hera yang baru saja membuka matanya lantas mengerjap sembari tersenyum.“Good morning, Rus,” balas Hera. Perempuan itu menggeliat, merasakan tubuhnya terasa pegal luar biasa.“Nyenyak tidurnya? Ngerasa mual, nggak?”Hera baru saja akan membuka suara saat tiba-tiba saja perutnya bergolak hebat. Perempuan itu lantas menyibak selimutnya, lalu turun dari ranjang tidur dan langsung berlari menuju ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.“Ra, kamu nggak apa-apa?” Ikarus muncul di belakangnya, memegangi rambut perempuan itu agar tidak mengganggu. Terlihat khawatir dengan kondisi istrinya.“Aku nggak apa-apa, kok.” Hera mengusap bibirnya dengan punggung tangan, “katanya emang begini kalau hamil. Eve sama Artemis malah sempat nggak bisa bangun gara-gara morning sickness.”Ikarus menghela napas panjang. “Ya udah, kamu balik istirahat aja, ya? Lagi pengen sesuatu nggak? Pengen apa?”“Aku mau mandi, Rus. Kan kita harus kerja.”“Kamu yakin ma
[Heraia Cassandra: Tiba-tiba aku pengen makan ramen siang-siang gini berdua sama kamu, coba. Makan siang di luar, yuk?][Heraia Cassandra: Ih, kok nggak dibalas? Sibuk ngapain, sih?]“Sampai di sini ada pertanyaan?” Ikarus menghela napas pendek begitu tatapnya terpaku pada pesan-pesan dari istrinya yang muncul di layar. “Kalau nggak ada, kita akhiri meeting siang ini. Thank you.”[Masih presentasi, Sayang. Sebentar, ya?][Heraia Cassandra: Masih lama banget, nih? Berapa menit lagi? Ini anak kamu yang minta, lho. Buruan bisa, nggak?]Ikarus mengembuskan napas perlahan saat peserta meeting mulai meninggalkan ruangan. Ikarus sibuk mengetikkan pesan balasan untuk Hera saat Ares bersuara.“Kenapa, sih? Ada masalah?”“Hera ngidam ramen siang-siang gini.” Ikarus menghela napas. “Mana sejam lagi gue meeting sama Pak Dirga pula. Lo gantiin gue ya, Res.”“Emang setan nggak tahu diri. Ini bosnya siapa, sih?”Ikarus tergelak. “Sorry, Res. Sumpah! Lo tahu sendiri kalau Hera lagi pengen sesuatu dan
“Hari ini lo jadi pergi sama Bima, Ra?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Ares—atasan sekaligus sahabatnya di tempat ia bekerja, membuat lamunan Hera terburai.Pria itu tengah sibuk mengecek banquet event order (BEO) yang baru saja diserahkan Hera kepadanya. Sesekali melirik ke arah perempuan itu, mengernyit heran.“Jadi. Kenapa?” tanya Hera yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.“Tumben banget acaranya di Bali. Biasanya juga di Jakarta, kan? Dan tumben juga cowok lo nongol.” Ares menyandarkan punggungnya ke belakang. “Biasanya juga… dia sibuk, kan?”Hera menurunkan ponselnya, menatap lekat ke arah Ares yang sama sekali tidak menatapnya. “Res?” Baru kemudian Ares mendongak dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam Hera. “Gue heran kenapa kalian pada nggak suka sama Bima, sih?”Ares mengedikkan bahu. “Nggak suka gimana? Gue nggak pernah bilang kalau gue nggak suka sama dia, deh.”“Dari cara lo bersikap dan ngomong sekarang tuh, lo nggak bisa bohong sama gue, Res. Nggak
“Terus planning lo apa?” tanya Ares saat itu.Sejak tahu kabar bahwa Ikarus diusir dari apartemen, Ares langsung bergegas menemui sahabatnya itu.Ikarus mengedikkan bahu sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Menangkap pelakunya. Gue nggak mungkin tinggal diam kalau aset gue dicuri sama dia gitu aja, kan?”“Jangan bikin malu elah, Rus. Masa penipu kena tipu?” sahut Eros langsung.Ikarus mendecak pelan. “Penipu juga manusia, Ros. Lagian gue udah lama juga nggak main begituan.”“Well, untuk sementara waktu lo bisa pakai satu kamar di hotel, Rus.”“Nggak usah, Res. Gue bisa—” Lalu pandangan Ikarus tertoleh pada Eros yang tengah sibuk memainkan ponselnya. “Nggak ya, Nyet!” ujar Eros seolah tahu maksud dari tatapan Ikarus. “Gue tahu lo secinta itu sama gue, tapi gue nggak bisa nolongin lo kali ini. Lo tahu kan… kalau kosan gue udah mirip kayak kuburan dibandingkan disebut kamar? Single bed, Anjir. Kalau lo cewek, mah. Gue iyain aja! Masalahnya lo cowok!”“Tail lah! Gue bisa tidur di mana
“Help me please, okay?” Tangan Hera lantas bergerak ke belakang, menarik tali spaghetti dress yang dikenakannya hingga luruh ke pinggangnya.Untuk selama beberapa saat Ikarus terdiam. Sampai saat Hera kembali merapat, mencium Ikarus lebih dalam dan tajam, pria itu membalas pagutannya.Ikarus adalah pria normal. Seolah ada yang membangunkan sesuatu yang ada di dalam diri Ikarus, tubuh pria itu seketika memanas. Sebagian di dalam diri Ikarus memintanya untuk berhenti. Namun di sisi lain ia tidak ingin menghentikan apa yang baru saja akan dimulainya. Terlebih saat bibir Hera yang terasa manis membuat segalanya semakin menggila.Ikarus semakin memperdalam ciumannya. Satu tangannya melingkar di tengkuk leher Hera. Sementara satu tangan lainnya bergerak ke belakang, meremas pinggul Hera seiring dengan Ikarus yang menggeram pelan.Pun dengan Hera yang mulai menggerakkan pinggulnya, seolah bukan hanya Ikarus saja yang menggila, Hera juga merasakan hal sama.Bibir keduanya saling bertautan, li
HERA menggeliat di atas tempat tidurnya saat samar sekali ia merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Ia menarik selimut yang membalut tubuhnya, lalu ia mengerjapkan matanya.Perempuan itu menolehkan wajahnya, menatap jam yang ada di atas nakas. Pukul lima pagi. Lalu ia tersentak dengan matanya yang membelalak lebar. “Damn it!” makinya lirih.Hera menundukkan wajahnya, melihat bagaimana penampilannya yang masih polos dan hanya berbalutkan selimut tebal di tubuhnya. Perempuan itu menghela napas dengan gusar sembari menyugar rambutnya. “What the hell are you doing, Ra?”Ingatannya lantas membawanya kembali pada kejadian semalam. Bagaimana Hera marah dan kecewa dengan Bima, lalu ia pulang dalam kondisi yang setengah sadar setelah menenggak tequila beberapa gelas. Sampai akhirnya ia bercinta dengan sahabatnya sendiri.“Tolol lo, Ra!” Hera meraup wajahnya dengan gusar, ia abaikan rasa pengar sekaligus pening yang sejak tadi dirasakannya. “Mau ditaruh mana muka lo habis ini, hah?”Hera lant