“Hari ini lo jadi pergi sama Bima, Ra?”
Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Ares—atasan sekaligus sahabatnya di tempat ia bekerja, membuat lamunan Hera terburai.Pria itu tengah sibuk mengecek banquet event order (BEO) yang baru saja diserahkan Hera kepadanya. Sesekali melirik ke arah perempuan itu, mengernyit heran.“Jadi. Kenapa?” tanya Hera yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.“Tumben banget acaranya di Bali. Biasanya juga di Jakarta, kan? Dan tumben juga cowok lo nongol.” Ares menyandarkan punggungnya ke belakang. “Biasanya juga… dia sibuk, kan?”Hera menurunkan ponselnya, menatap lekat ke arah Ares yang sama sekali tidak menatapnya. “Res?” Baru kemudian Ares mendongak dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam Hera. “Gue heran kenapa kalian pada nggak suka sama Bima, sih?”Ares mengedikkan bahu. “Nggak suka gimana? Gue nggak pernah bilang kalau gue nggak suka sama dia, deh.”“Dari cara lo bersikap dan ngomong sekarang tuh, lo nggak bisa bohong sama gue, Res. Nggak lo, nggak Ikarus, nggak yang lainnya. Pada kenapa, sih kayak nggak rela gue sama Bima?”“Lo cinta sama dia? Kayak… Eve cinta sama gue? Atau Artemis yang jatuh cinta sama Zeus?” Tatapan Ares lekat ke arah Hera. Namun perempuan itu dengan cepat memalingkan wajahnya, dan Ares kembali melanjutkan ucapannya. “Lo bahkan nggak bisa menjawab pertanyaan gue, Ra, dan lo yakin bakalan ngelanjutin hubungan itu? Lo jelas-jelas ragu.” Ares bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Hera dengan tangannya yang membawa BEO yang sudah ditandatangani olehnya. “Gue bukannya nggak suka sama Bima, Ra. Tapi feeling gue nggak oke aja, sih. Gue cowok, Ra. Gue bisa melihat dari cara cowok gimana nge-treat cewek yang dia sayang. Lo lihat gue sama Eve, kan? Eve gue jadikan ratu di hidup gue, Ra. And how about you?”“Hidup gue sama hidup kalian nggak bisa disamakan, Res. Kami punya cara sendiri untuk menunjukkan cinta masing-masing. Thank you karena lo peduli sama gue. Tapi gue yang paling tahu dia cowok yang pantas atau nggak untuk gue.”Hera meraih berkas yang baru saja ditandatangani Ares, kemudian ia berlalu begitu saja meninggalkan ruangan pria itu.Begitu tiba di ruangannya, Hera melemparkan punggungnya ke sofa yang ada di ruangannya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Perkataan Ares kini berjejalan di pikirannya.“Sialan!” Meskipun hubungan Hera baru saja melangkah ke jenjang yang lebih serius dengan Bima, namun tidak ada salahnya kalau Hera mencobanya, kan? Hera yakin hatinya masih menyimpan perasaan pada cinta pertamanya itu.Lalu, “Ra? Kenapa?”Hera menolehkan wajah dan mendapati Rhea muncul dari balik pintu ruangan. “Nggak apa-apa. Gue balik ya, Ra?”“Weekly report yang gue kirim udah lo cek, kan?”“Udah.” Hera mulai membereskan berkas-berkas yang ada di atas mejanya. “BEO udah ditandatangani semuanya sama Ares. Pastikan lagi persiapannya sama anak banquet, ya? Kalau ada apa-apa kontak gue aja. Gue sebenarnya males datang, cuma Bima yang minta ditemenin. Gue nggak enak kalau nolak dia.”“Oke, Ra. Aman, kok. Take care, ya.”Hera mulai beranjak dari kursinya sembari meraih tasnya. Dan detik itu juga perempuan itu meninggalkan ruangannya untuk segera pulang dan bersiap-siap.Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh malam, Bima sudah menunggu Hera di lobi apartemennya. Dengan balutan dress hitam pemberian Bima beberapa waktu lalu, perempuan itu terlihat begitu cantik dan memesona.“What a damn beautiful you are.” Bima merentangkan kedua tangannya, berhambur memeluk Hera.“Udah lama nunggu?” tanya Hera membalas dekapan tunangannya.“Belum, kok. Aku juga barusan sampai.”Hera mengangguk. “Mau langsung berangkat?”“Boleh.”Keduanya melangkah meninggalkan lobi lalu segera bergegas parkiran untuk menuju ke mobil. Sepanjang mobil melaju membelah kemacetan kota, Hera memilih untuk memalingkan wajahnya ke samping jendela. Kepalanya terasa penuh, lagi-lagi dijejali dengan perkataan Ares yang tak henti-hentinya mengusik pikirannya.“Lagi mikirin apa, Cinta?”Hera mengerjap lalu menundukkan wajah saat merasakan tangannya digenggam Bima. “Ah, nggak, kok. Di hotel lagi ada event, Bim, aku agak sedikit kepikiran aja sekarang.”“Nggak apa-apa kan, kalau kamu pergi sama aku? Ditambah ini acaranya Mama kamu nggak mungkin nggak datang, kan?”Hera mengangguk. “Nggak apa-apa, kok. Aku juga udah pamit sama anak-anak buat handle event malam ini.”“Good. We should be happy tonight.”Mobil yang dikendarai mereka akhirnya tiba di pelataran parkir salah satu hotel yang berada di kawasan Nusa Dua. Setelah melepaskan seat belt-nya, keduanya turun dari mobil. Dengan genggaman tangan Bima yang terasa hangat, pria itu membawa Hera melewati pintu lobi hotel. Suara dentuman musik yang memekakkan telinga terdengar tak jauh dari lobi. Mengingat bahwa acara gala dinner yang diadakan oleh MJ Entertainment digelar di tepi pantai Nusa Dua. “Bima! Hera!” Miranda Jessica—ibu Hera, menjadi yang pertama kali menyambut kedatangan mereka. “Apa kabar, Bima?” Perempuan paruh baya itu memeluk Bima. “Makasih banyak ya, udah mau ngajak Hera untuk datang ke sini.”“Sama-sama, Tante.” Bima tersenyum kecil. “Tante kabarnya baik, kan?”“Alhamdulillah. Oh ya, Tante pinjam Hera sebentar ya, Bim. Ada yang pengen Tante kenalkan sama Hera soalnya.”“Baik, Tante.” Bima menoleh ke arah Hera. “Aku tunggu di sana, ya? Ada Jevan yang udah nunggu di sana.”“Iya.”Sepeninggal Bima, Miranda menghela napas panjang. Ditatapnya putri sulungnya itu dengan lekat. Lalu, “Ra… kamu masih marah sama Mama?”“Nggak, Ma. Mama tahu kan, kalau aku nggak suka acara beginian? Kenapa mesti pakai Bima buat ngajak aku ke sini?” gerutu perempuan itu.“Nggak ada cara lain, Ra. Lagian ini acara perusahaannya Mama. Perusahaan yang akan diwariskan ke kamu nantinya. Jadi, nggak ada salahnya kalau kamu sedikit tahu tentang acara ini, kan?”“Aku nggak tertarik, Ma.”Miranda menghela napas. Memilih untuk menyerah membujuk Hera. “Ada Wafa dan Nathan juga yang ikut ke sini. Untuk kali ini saja, Ra. Mama pengen kamu bantu Mama. Okay?”Hera menghela napas pendek. Tidak berniat menjawab saat bersamaan suara vokal seseorang terdengar di belakang sana.“Miranda!” panggil seorang perempuan yang ditaksir usianya lebih tua dari ibunya. “Congrats ya, Mir. Sukses untuk MJ Entertainment. Semoga kedepannya MJ Entertainment akan semakin sukses dan berjaya!”“Terima kasih, Mbak Lidya. Aamiin. Terima kasih sudah menyempatkan untuk datang ditengah jadwal syuting yang padat.”“Mana mungkin saya melewatkan acara ini, Mir. Oh ya… ini Hera, kan? Cantik banget sekarang, ya?” Lalu pandangan Lidya tertuju pada Hera. “Hera masih inget sama Tante Lidya, nggak?”“Masih kok, Tante. Tante Lidya apa kabar?” Hera memaksakan diri untuk tersenyum ramah meskipun yang dirasakannya saat ini adalah sebaliknya.“Baik dong, Sayang.” Lidya tersenyum sembari mengusap lengan Hera dengan lembut. “Kenapa nggak kamu rekrut jadi artis juga sih, Mir?”“Mana mau, Mbak. Aku punya anak tiga, dan cuma Wafa aja yang mau ikut terjun ke sana, itu pun bukan sebagai artisnya, tapi masuk ke manajemennya.”“Terus kapan nikahnya, Mir? Belum lama ini tunangan sama Bima Kusumandaru, kan? Aku sempat mendengar beritanya.”“Kalau itu sih…aku balikin ke anak-anak, Mbak. Karirnya Bima kan lagi melejit sekarang, mungkin kalau udah agak senggang, baru bisa kami bicarakan kapan pernikahan mereka akan digelar. Lagian ngapain buru-buru juga, kan?”“Iya, sih. Sayang juga kalau Bima lagi naik daun gini.”Beruntungnya acara basa-basi itu tidak berlangsung lama karena acara malam itu sudah dimulai. Seorang MC sudah berdiri di depan panggung untuk membuka acara malam itu. Pun dengan Hera yang memilih untuk menyingkir sejenak. Mendadak ia kehausan. Perempuan itu mengayunkan langkahnya mendekati konter bar, Hera lantas memesan segelas margarita kepada seorang bartender yang ada di sana.Saat perempuan itu mengeluarkan ponselnya, rupanya ada sebuah pesan dari Eros.[Eros: Nyi, lagi di mana?][Eros: Ikarus kesandung masalah, nih.]Hera mengerutkan keningnya lalu dengan cepat perempuan itu menekan ikon memanggil pada kontak Eros.“Ada apa, Ros? Ikarus kenapa?” tanya Hera tanpa basa-basi.“Kalem dong, Nyi. Lo di mana kok berisik banget? Wah… lagi main di tempat haram kok nggak ngajak-ngajak, sih?”“Berisik ya, Ros. Ikarus kenapa?” sembur Hera.“Dia barusan diusir dari apartemennya. Semua aset mulai dari apartemen dan mobilnya disita sama bank.”Hera membelalak. “Kok bisa?!”“Tau tuh! Gue belum tahu cerita lengkapnya. Ikarusnya udah main pergi.”“Pergi ke mana, Ros?”“Entah ke mana gue nggak tahu, Nyi. Lo coba hubungi dia aja, deh.”“Oke.”Panggilan itu diakhiri Hera sepihak. Di hadapannya sudah ada segelas margarita yang sempat dipesannya tadi. Lalu tanpa menunggu, perempuan itu meneguk margaritanya dalam sekali tenggak, mengabaikan tatapan heran dari orang-orang di sekitarnya.Meninggalkan konter bar, Hera mengayunkan langkahnya menjauh. Matanya mengedar ke sekitar, mencoba menemukan keberadaan Bima. Setidaknya Hera harus berpamitan dengan pria itu agar tidak kebingungan mencarinya.Begitu matanya telah menemukan keberadaan Bika, Hera kembali melangkah. Hanya tinggal beberapa langkah saja, kaki Hera tiba-tiba terhenti. Samar sekali percakapan mereka terdengar menyebut namanya, Hera memutuskan untuk mengurungkan niatnya mendekati Bima lantaran penasaran dengan apa yang tengah mereka bicarakan di sana.“Lo yakin bakalan melepas masa lajang lo dengan nikah sama cewek itu, Bim?” tanya salah satu seorang pria yang kini tengah duduk di samping Bima. “Dia non selebriti, kan?”“Kenapa nggak yakin?” Bima meneguk champagne yang ada di tangannya sambil melemparkan senyuman. “Kalau karir gue mangkrak cuma gara-gara gue nikah, gue tinggal bilang ke nyokapnya dia buat naikin karir gue lagi, kan?”“Brengsek! Sejak awal seharusnya gue nggak percaya sama lo, Anjing! Lo nggak ada tampang-tampang mau tobat soalnya!”Bima tergelak. “Hidup itu keras, Bro. Kita nggak bakalan bisa hidup sesuai dengan apa yang kita mau kalau kita nggak punya strategi untuk bertahan hidup.”“Dan lo menggunakan Hera, anak dari pemilik agensi MJ Entertainment agar lo bisa bertahan hidup? Sialan juga!” maki pria itu.“She loves me a lot, anyway. Bonus bisa cicipi tubuhnya secara cuma-cuma lah!” kekeh Bima dengan entengnya. “Zaman sekarang, gue nggak percaya sama cinta, Bro. Fokus gue cuma pengen terkenal dan cari cuan. That’s it. Cinta? Bulshit!”Mendengar percakapan itu, kedua tangan Hera mengepal dengan erat. Ada amarah yang tiba-tiba menggelegak di dadanya dan hal itu membuat Hera ingin sekali menampar mulut kotor bajingan itu.Namun alih-alih menghampirinya, Hera justru membalikkan badan. Perempuan itu memilih untuk melangkah menjauh, meninggalkan Bima begitu saja. Jika saja Ares mendengar apa yang dikatakan Bima barusan, pria itu pasti akan menertawakannya. Dan sayangnya Hera masih saja tidak mempercayai sahabatnya.Brengsek!“Lo di mana, Rus?”“Kenapa?”“Gue ke sana sekarang!”***“Terus planning lo apa?” tanya Ares saat itu.Sejak tahu kabar bahwa Ikarus diusir dari apartemen, Ares langsung bergegas menemui sahabatnya itu.Ikarus mengedikkan bahu sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Menangkap pelakunya. Gue nggak mungkin tinggal diam kalau aset gue dicuri sama dia gitu aja, kan?”“Jangan bikin malu elah, Rus. Masa penipu kena tipu?” sahut Eros langsung.Ikarus mendecak pelan. “Penipu juga manusia, Ros. Lagian gue udah lama juga nggak main begituan.”“Well, untuk sementara waktu lo bisa pakai satu kamar di hotel, Rus.”“Nggak usah, Res. Gue bisa—” Lalu pandangan Ikarus tertoleh pada Eros yang tengah sibuk memainkan ponselnya. “Nggak ya, Nyet!” ujar Eros seolah tahu maksud dari tatapan Ikarus. “Gue tahu lo secinta itu sama gue, tapi gue nggak bisa nolongin lo kali ini. Lo tahu kan… kalau kosan gue udah mirip kayak kuburan dibandingkan disebut kamar? Single bed, Anjir. Kalau lo cewek, mah. Gue iyain aja! Masalahnya lo cowok!”“Tail lah! Gue bisa tidur di mana
“Help me please, okay?” Tangan Hera lantas bergerak ke belakang, menarik tali spaghetti dress yang dikenakannya hingga luruh ke pinggangnya.Untuk selama beberapa saat Ikarus terdiam. Sampai saat Hera kembali merapat, mencium Ikarus lebih dalam dan tajam, pria itu membalas pagutannya.Ikarus adalah pria normal. Seolah ada yang membangunkan sesuatu yang ada di dalam diri Ikarus, tubuh pria itu seketika memanas. Sebagian di dalam diri Ikarus memintanya untuk berhenti. Namun di sisi lain ia tidak ingin menghentikan apa yang baru saja akan dimulainya. Terlebih saat bibir Hera yang terasa manis membuat segalanya semakin menggila.Ikarus semakin memperdalam ciumannya. Satu tangannya melingkar di tengkuk leher Hera. Sementara satu tangan lainnya bergerak ke belakang, meremas pinggul Hera seiring dengan Ikarus yang menggeram pelan.Pun dengan Hera yang mulai menggerakkan pinggulnya, seolah bukan hanya Ikarus saja yang menggila, Hera juga merasakan hal sama.Bibir keduanya saling bertautan, li
HERA menggeliat di atas tempat tidurnya saat samar sekali ia merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Ia menarik selimut yang membalut tubuhnya, lalu ia mengerjapkan matanya.Perempuan itu menolehkan wajahnya, menatap jam yang ada di atas nakas. Pukul lima pagi. Lalu ia tersentak dengan matanya yang membelalak lebar. “Damn it!” makinya lirih.Hera menundukkan wajahnya, melihat bagaimana penampilannya yang masih polos dan hanya berbalutkan selimut tebal di tubuhnya. Perempuan itu menghela napas dengan gusar sembari menyugar rambutnya. “What the hell are you doing, Ra?”Ingatannya lantas membawanya kembali pada kejadian semalam. Bagaimana Hera marah dan kecewa dengan Bima, lalu ia pulang dalam kondisi yang setengah sadar setelah menenggak tequila beberapa gelas. Sampai akhirnya ia bercinta dengan sahabatnya sendiri.“Tolol lo, Ra!” Hera meraup wajahnya dengan gusar, ia abaikan rasa pengar sekaligus pening yang sejak tadi dirasakannya. “Mau ditaruh mana muka lo habis ini, hah?”Hera lant
“Kenapa telat?”Suara celetukan Ares yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya membuat Ikarus lantas menoleh ke arahnya.“Gue tadi ke tempat Eros dulu buat ambil baju.” Ikarus yang tadinya tengah sibuk membaca weekly report yang terpampang di layar monitor, lantas menghela napas panjang. “Gue udah bicara sama Hera.” Pandangan Ikarus kemudian tertuju ke arah Ares yang kini tengah menyandarkan bahunya di ambang pintu. “Mm… tapi dia menolak?”Ikarus mengangguk. “Iya.”“Alasannya?”“Dia menganggap kalau apa yang kita lakukan semalam itu cuma kesalahan satu malam. Dia nggak mau gue bertanggung jawab atas apa yang udah gue… renggut dari dia.” Ikarus menghela napas panjang. “Dia merasa nggak seharusnya kita melakukan hal itu semalam karena dia punya Bima.”“Dia yang memulainya, kan? Sebajingan-bajingannya lo, lo nggak kayak gue. Melakukan segala cara untuk merebut Eve dari cowoknya. Lo juga bukan Zeus yang terpaksa nidurin Artemis untuk nolongin dia dari desakan bokapnya.”“So, what
“Kak, gue lagi di restoran Asia dekat hotel lo. Lo balik jam berapa, sih? Kerja apa dikerjain?”“Berisik ya, Waf. Ini gue lagi siap-siap mau ke situ.”“Good. Gue mau minta traktir lo habis ini. Buruan.”Setelah mendengar ocehan adik perempuannya, Hera mengakhiri panggilannya dengan cepat. Ia lantas mengemasi barang-barangnya dan langsung bergegas meninggalkan ruangannya yang sudah sepi.Perempuan itu mengayunkan langkahnya menyusuri koridor. Sesekali ia melirik ruangan Ikarus yang masih terang benderang, lalu pandangannya tertuju pada paper bag dengan label ‘GUCCI’ di tangannya. Siang tadi Hera menyempatkan diri keluar hotel untuk membelikan kemeja baru untuk Ikarus.Ragu untuk memberikan kemejanya itu, Hera kembali mengayunkan langkahnya menuju ke lobi. Ia lantas melangkah menuju ke depan. Ditatapnya lalu lintas yang tampak ramai, perempuan itu memutuskan untuk berjalan kaki alih-alih membawa mobilnya.Begitu tiba di restoran Asia, Hera lantas mengedarkan matanya ke sekitar. Wafa yan
“Lo mau tidur di mana malam ini?” tanya Hera dengan hati-hati, sadar jika Ikarus masih marah kepadanya.Setelah berhasil membujuk Ikarus untuk tetap tinggal di apartemennya, keduanya duduk berhadapan di meja makan. Ada satu bungkus nasi goreng yang sempat dibeli Ikarus sebelum tiba di apartemen Hera. Masing-masing dari mereka memegang sendok di tangannya.“Kenapa lo bisa seceroboh itu, sih?” ujar Hera lagi. “Lo kan hacker. Lo seharusnya—” Bibir Hera terkatup rapat saat suaranya naik satu oktaf. “Maksud gue… kenapa lo bisa kecolongan gini, coba.”“Namanya juga halangan,” jawab Ikarus dengan datar. “Nggak ada yang tahu kapan gue ditimpa musibah.”“Terus rencana lo apa setelah ini?” tanya Hera dengan hati-hati.“Nggak tahu. Gue bahkan nggak pegang duit sepeserpun sekarang,” ujar Ikarus berbohong. Hera menghela napas panjang sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke depan agar bisa menatap Ikarus dengan lekat. “Miskin banget, ya?”“Kenapa? Lo ngg
[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.][Kangen…]Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap.“Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya.“Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?”“Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke b
“Belum balik?” Ikarus mendongakkan wajah dan mendapati Ares berdiri di ambang pintu ruangannya. “Mau ngopi dulu, nggak? Kayaknya lo lagi banyak pikiran.”Ikarus tidak menjawab namun ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Mereka mengayunkan langkahnya menuju ke Sixty Lounge—cafe yang ada di pinggir pantai, masih di bawah naungan Sixty Season Resort.Begitu tiba di Sixty Lounge, mereka kemudian memesan dua cangkir kopi dan langsung duduk di salah satu meja yang kosong. Ditatapnya kerlap-kerlip di seberang lautan sana. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Lalu, “Gue tadi siang ketemu sama Nadine. Dua minggu lagi dia akan menikah.”“So?”Ikarus menggeleng. “Gue udah feeling lama sebenarnya, Res. Hubungan gue sama Nadine nggak akan berhasil. Lo masih ingat waktu lo minta gue untuk melepaskan dia dan memilih untuk deketin Hera, kan?” Pria itu menyesap kopinya. “Gue sempat memikirkannya.”“Memikirkan Hera?”Ikarus mengangguk. “Iya. Hanya saja waktu itu Nadine yang nggak mau gue l