Share

2. Prince Ikarus Leanders

“Terus planning lo apa?” tanya Ares saat itu.

Sejak tahu kabar bahwa Ikarus diusir dari apartemen, Ares langsung bergegas menemui sahabatnya itu.

Ikarus mengedikkan bahu sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Menangkap pelakunya. Gue nggak mungkin tinggal diam kalau aset gue dicuri sama dia gitu aja, kan?”

“Jangan bikin malu elah, Rus. Masa penipu kena tipu?” sahut Eros langsung.

Ikarus mendecak pelan. “Penipu juga manusia, Ros. Lagian gue udah lama juga nggak main begituan.”

“Well, untuk sementara waktu lo bisa pakai satu kamar di hotel, Rus.”

“Nggak usah, Res. Gue bisa—” Lalu pandangan Ikarus tertoleh pada Eros yang tengah sibuk memainkan ponselnya. 

“Nggak ya, Nyet!” ujar Eros seolah tahu maksud dari tatapan Ikarus. “Gue tahu lo secinta itu sama gue, tapi gue nggak bisa nolongin lo kali ini. Lo tahu kan… kalau kosan gue udah mirip kayak kuburan dibandingkan disebut kamar? Single bed, Anjir. Kalau lo cewek, mah. Gue iyain aja! Masalahnya lo cowok!”

“Tail lah! Gue bisa tidur di mana aja, Ros. Gue—”

“Good. Lo bisa tidur di hotel.” Eros menjentikkan jari. “Lagian lo sok-sokan mau diajak hidup susah. Jangan nambahin beban hidup gue bisa, nggak? Hidup gue udah berat!”

“Sialan!”

“Nggak usah mikir expenses, Rus. Gue bisa—”

“Nggak, Res. Kalau gue stay di hotel terlalu mencolok. Manajemen bakalan mempertanyakan kenapa gue stay di sana, dan lo nggak mungkin pakai alasan demi pertemanan, kan?” tolak Ikarus masuk akal.

“Kenapa lo nggak tinggal di tempatnya Ares aja?”

“Bisa-bisa gue jadi babysitter-nya Astu sama Nira. Mana mereka lagi aktif-aktifnya pula.”

“Di tempatnya Zeus?”

“Babysitter-nya Tiff juga ujung-ujungnya!” 

“Fixed! Ke tempatnya Nyai aja!” ujar Eros tiba-tiba.

Ikarus menghela napas panjang. “Jangan gila deh, Ros. Lo tahu kalau dia udah jadi tunangan orang, kan? Gue nggak mungkin tinggal di apartemennya Hera.”

“Kenapa nggak, Rus?” sahut Ares dengan cepat. “Lo bukannya nggak setuju kalau Hera sama Bima, ya?”

“Nggak gitu, Res. Gue lihat Hera bahagia gitu.”

“Bahagia apanya? Lebih ke tertekan nggak, sih?” ujar Ares. “Malam ini mereka pergi berdua, by the way. MJ Entertainment ngadain acara di Nusa Dua Beach Resort dan Hera datang ke sana. Lo bisa manfaatin ini buat deketin Hera, Rus. Kapan lagi ya, kan?”

“Nggak usah gila, Res.”

“Lo harus gila dulu buat jadi pebinor, Rus. Setidaknya, gue di sini jauh lebih mendukung lo sama Hera katimbang Hera sama si Bajingan itu.”

“Gue nggak dihitung?” sahut Eros dengan cepat. “Tapi ngomong-ngomong, Bima emang sebajingan itu?”

“Feeling gue, sih. Tapi feeling gue nggak pernah meleset. Ya buat ngeyakinin itu, bisalah, Rus, lo cari tahu. Selama ini Hera selalu ada buat kita-kita, kan? She deserves better. Gue nggak suka sama cowok selebriti.”

“Gue pikir-pikir lagi, deh. Gue pinjam mobil lo, Res.” Ikarus kemudian beranjak dari duduknya. “Titip barang-barang gue dulu, Ros. Besok kalau gue udah dapat tempat baru, gue bakalan ambil.”

“Mau ke mana lo?” tanya Eros kemudian.

Sementara Ikarus tidak menjawab. Pria itu berlalu begitu saja meninggalkan kedua sahabatnya yang masih termenung di tempatnya.

Lima belas menit perjalanan menuju kota, Ikarus turun dari mobil setelah memarkirkannya. Untuk malam ini saja ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan satu-satunya tempat yang ia tuju adalah Despresso Bar.

Pria itu mengayunkan langkahnya melewati pintu utama. Suara dentuman musik yang memekakkan telinga menjadi yang pertama yang menyambut kehadiran Ikarus.

Ikarus melangkah mendekati konter bar. Ada beberapa kursi yang kosong di sana, ia lantas menarik satu bar stool di hadapannya dan langsung memesan satu gelas minuman.

Saat Ikarus baru saja meneguk minumannya, ponselnya yang bergetar sudah lebih dulu menarik perhatian. Pria itu mengerutkan keningnya, sadar jika ‘Hera’ pasti sudah mengetahui berita tentang dirinya.

“Lo di mana, Rus?” tanya Hera di seberang sana.

“Kenapa?” Ikarus menghela napas sembari meneguk whiskey-nya.

“Gue ke sana sekarang.”

 “Gue lagi di Despresso Bar.”

Panggilan itu diakhiri sepihak oleh Hera. Alih-alih memikirkannya, pria itu memilih untuk tidak mengacuhkannya dan kembali menikmati minuman di hadapannya.

Tiga puluh menit berlalu. Sampai Ikarus merasakan sebuah tepukan di bahunya. Ikarus kemudian menolehkan wajah dan mendapati Hera berdiri di sampingnya.

Untuk sepersekian detik, Ikarus terpana dengan penampilan Hera yang tidak seperti biasanya. Perempuan itu mengenakan gaun hitam dengan potongan rendah. Di bagian belakang punggungnya hanya tertutupi tali spaghetti.

“Lo mau masuk angin?” Ikarus lantas melepaskan jaket denim yang dikenakannya lalu mengangsurkannya kepada Hera. “Pakai!”

Pun dengan Hera yang tidak menolak. Perempuan itu lantas menarik bar stool yang ada di samping Ikarus, lalu memesan satu botol tequila kepada sang bartender.

“Jadi, apa yang terjadi sama lo?” tembak Hera langsung.

“Lo jauh-jauh datang ke sini cuma mau nanyain itu. Bukannya lo ada acara hari ini?” tanya Ikarus mengalihkan perhatian.

“Acaranya ngebosenin. Malas gue harus beramah tamah sama orang-orang yang nggak gue kenal.” 

“Bukannya lo pergi sama Bima?”

Hera menghela napas pendek bersamaan dengan pesanannya tiba di hadapannya. Perempuan itu lantas menuangkan tequila yang baru saja dipesannya ke dalam gelas lalu meneguknya bersama dengan jeruk nipis.

“Hari ini gue pengen mabuk.” Hera menyodorkan tequila-nya ke hadapan Ikarus, mengajak pria itu bersulang. “Merayakan hari kesialan kita.”

Entah sudah berapa gelas yang Hera tuangkan pada gelasnya. Ikarus yang sejak tadi memperhatikan perempuan itu, menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. “Lo lagi ada masalah?” tanya Ikarus penasaran.

Hera menopangkan satu tangannya di dagu, matanya terlihat sayu. Menandakan bahwa kesadaran perempuan itu sudah hampir menghilang.

“Lo minum terlalu banyak,” cegah Ikarus saat Hera hendak menuangkan tequila-nya lagi ke dalam gelas. “Gue antar lo balik sekarang!” Ikarus lantas bangkit berdiri, mengangsurkan sebuah black card miliknya kepada bartender. Baru setelah membayar, Ikarus menggandeng tangan Hera keluar dari Despresso Bar dan bergegas membawa perempuan itu pulang.

“Lo kenapa, sih? Lo biasanya mabuk nggak sampai sebegininya, Ra. Ada apa?”

Hera mengerjapkan matanya lalu memalingkan wajahnya ke samping jendela. “Bima, Rus…”

“Kenapa dengan Bima?”

Hera melemparkan kepalanya ke belakang dengan satu tangannya bertumpu di kening. Tidak mengatakan apa-apa. Sampai mobil yang dikendarai Ikarus tiba di basement apartemen Hera.

Dengan langkah terseok, Ikarus menggamit lengan Hera lalu melangkah menyusuri koridor yang tampak sepi. Di sela langkahnya, getaran ponsel milik Hera yang menuntut diperhatikan sejenak membuat langkah keduanya terhenti.

“Ada telepon, Ra. Nggak lo angkat?”

Hera menggeleng dengan matanya yang sayu. “Palingan dari bajingan itu. Biarkan saja,” racau perempuan itu.

Begitu masuk ke dalam unitnya, Ikarus mendudukkan Hera di sofa. Ia melangkah menuju ke dapur untuk mengambilkan minum perempuan itu.

“Diminum dulu, Ra.”

Hera kemudian meraih gelas minuman yang diangsurkan Ikarus lalu meneguknya dengan pelan.

Tidak ada percakapan apapun yang hadir di antara mereka. Ikarus hanya menatap prihatin ke arah Hera yang tampak menyedihkan.

“So, mau bicara sekarang?”

“Kalian pasti akan menertawakan gue setelah ini.” Hera terkekeh pelan, menatap Ikarus dengan pandangan sayu. Perempuan itu sudah benar-benar kehilangan sebagian kesadarannya.

“What’s going on, Ra? Lo bisa cerita sama gue, dan gue janji nggak akan menertawakan lo.”

Hera menghela napas panjang lalu melemparkan punggungnya ke belakang sofa. Matanya mengerjap, menatap langit-langit unitnya dengan pandangan menerawang.

“Gue mungkin terlalu naif, Rus. Gue mencoba untuk percaya bahwa segala usaha Bima terhadap gue memang tulus apa adanya. Tapi ternyata anggapan gue itu salah. Dia cuma memanfaatkan gue.” Hera tersenyum getir, kembali menatap lekat Ikarus yang kini juga menatapnya. “Apa menurut lo gue nggak pantas mendapatkan cinta yang tulus?” Perempuan itu menundukkan wajah. Jemarinya menyentuh cincin yang kini tersemat di jari manisnya. “Sampai gue kepikiran, gue salah apa selama ini sampai-sampai Bima tega melakukan semua ini sama gue.”

“Lo nggak salah apa-apa, Ra. Dia yang brengsek karena udah memanfaatkan lo.”

Hera tersenyum getir. Rasanya menyesakkan sekali saat mengingat apa percakapan Bima tadi. “Setidaknya, gue nggak mau tinggal diam, Rus. Gue harus kasih pelajaran ke dia.”

“Lo butuh bantuan gue? Gue akan—”

Namun belum Ikarus melanjutkan ucapannya, Hera sudah lebih dulu memangkas jarak yang ada di antara mereka, melekatkan bibirnya di atas bibir Ikarus.

Ikarus sempat terkesiap, terkejut dengan gerakan Hera yang tiba-tiba. Namun saat Ikarus hendak menghentikan kegilaan Hera, ciuman itu justru semakin dalam dirasakannya. Perempuan itu sudah mengubah posisinya hingga kini berada di atas pangkuan Ikarus. Kedua lututnya mengurung tubuh Ikarus hingga membuat pria itu kesulitan bergerak.

“Ra…” desis Ikarus lirih.

“What?” Hera mengerjap, tidak lama. Karena setelah itu Hera kembali mencium bibir Ikarus dengan penuh kelembutan. Ada sisa-sisa aroma manis yang pekat berpadu dengan tequila di bibir perempuan itu.

Entah karena efek alkohol dan kemarahannya terhadap Bima yang seketika menumpulkan akal sehatnya, Hera mengalungkan kedua tangannya ke leher Ikarus, merapatkan tubuhnya.

“Please stop, Ra!”

“No. I can't stop,” bisik Hera tepat di telinga Ikarus. “Help me please, okay?” Tangan Hera lantas bergerak ke belakang, menarik tali spaghetti dress yang dikenakannya hingga luruh ke pinggangnya.

Untuk selama beberapa saat Ikarus terdiam. Sampai saat Hera kembali merapat, mencium Ikarus lebih dalam dan tajam.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status