“Kak, gue lagi di restoran Asia dekat hotel lo. Lo balik jam berapa, sih? Kerja apa dikerjain?”
“Berisik ya, Waf. Ini gue lagi siap-siap mau ke situ.” “Good. Gue mau minta traktir lo habis ini. Buruan.” Setelah mendengar ocehan adik perempuannya, Hera mengakhiri panggilannya dengan cepat. Ia lantas mengemasi barang-barangnya dan langsung bergegas meninggalkan ruangannya yang sudah sepi. Perempuan itu mengayunkan langkahnya menyusuri koridor. Sesekali ia melirik ruangan Ikarus yang masih terang benderang, lalu pandangannya tertuju pada paper bag dengan label ‘GUCCI’ di tangannya. Siang tadi Hera menyempatkan diri keluar hotel untuk membelikan kemeja baru untuk Ikarus. Ragu untuk memberikan kemejanya itu, Hera kembali mengayunkan langkahnya menuju ke lobi. Ia lantas melangkah menuju ke depan. Ditatapnya lalu lintas yang tampak ramai, perempuan itu memutuskan untuk berjalan kaki alih-alih membawa mobilnya. Begitu tiba di restoran Asia, Hera lantas mengedarkan matanya ke sekitar. Wafa yang sudah duduk dan sudah memesan makanan lantas melambaikan tangan ke arah Hera. “Kak!” Hera menghela napas panjang. Menghampiri adiknya yang kini usianya terpaut satu tahun dengannya. “Ini lo makan semuanya?” Hera membelalak menatap ada tiga hidangan tersaji di atas meja. Mulai dari mango thai salad, tom yum goong, dan pad thai. Lengkap dengan condiment yang lainnya. “Kalau lo mau cicip dikit boleh, kok.” Wafa terkekeh. “Kapan lagi kan bisa malakin kakak gue yang cantiknya ngalah-ngalahin Putri Salju?” Hera kemudian memanggil seorang waitress lalu memesan minuman. “Lo nggak makan?” tanya Wafa. “Lihat lo makan gue mendadak kenyang.” Wafa terkekeh lalu melanjutkan menikmati makanan yang ada di hadapannya. Ditatapnya Hera dengan lekat, seolah tengah menelisik apa yang tengah dipikirkan kakaknya. “Kak…” “Hm?” “Lo bisa nggak sih nggak usah cuek-cuek sama Mama? Lo sadar nggak, kalau selama ini Mama tuh kangen sama lo. Giliran pas ketemu kemarin, lo main kabur aja!” “Gue ada acara dadakan semalam, Waf. Lagian acaranya ngebosenin. Gue nggak begitu suka kalau disuruh basa-basi sama temen-temen Mama.” Hera mencomoti mango thai salad milik Wafa. “Mama udah balik ke Jakarta?” Wafa mengangguk. “Iya, tadi pagi.” “Lo nggak sekalian balik ke Jakarta? Nathan udah balik, kan?” “Ish, kapan lagi gue bisa bersenang-senang di Bali ya, kan? Rugi amat udah jauh-jauh ke sini tapi nggak party dulu.” Wafa tersenyum manis. “Nathan sekolah, Kak, kali aja lo lupa. And by the way, dia suka banget bikin ulah di sekolahnya.” “Ulah apa lagi? Kemarin gue belum sempat ketemu sama itu anak.” “Lo sih…” Wafa mendecak pelan, memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya. Hening selama beberapa saat bersamaan dengan minuman yang dipesan Hera tiba di meja. Perempuan itu menyesap minumannya sembari mengedarkan matanya ke sekitar. Mendadak Hera teringat ucapan Ikarus siang tadi. Lalu, “Waf?” Wafa mendongak. “Mm? Kenapa?” “Lo pernah ditidurin sama cowok, nggak?” Wafa tersedak lalu cepat-cepat perempuan itu meraih gelas minuman yang ada di hadapannya. “Membabi buta sekali pertanyaan lo, Kak! Nggak ada yang lebih sopan apa?” Hera menghela napas pendek. “Banyak omong, ya. Lo tinggal jawab aja kenapa, sih?” Wafa mendecak pelan sembari menatap Hera dengan canggung. Bagaimana bisa Hera bertanya sesuatu yang sifatnya privacy kepadanya? “Kenapa sih tiba-tiba tanya begitu? Lo nggak lagi mode jadi kakak yang baik dan posesif buat gue, kan?” “Jawab aja, Waf. Udah pernah?” desak Hera. Wafa menghela napas. “Pernah. Tapi dalam konteks mau sama mau, sih. Jadi ya nggak bisa disebut ‘ditiduri’ juga. Kenapa, sih? Jangan bilang… Bima ngajak tidur lo?” “Ck! Gue nggak semurahan itu. Apalagi untuk cowok yang belum jelas,” sahut Hera dengan cepat. “Belum jelas gimana? Kurang jelas gimana kalau lo sama Bima belum lama ini tunangan, hm?” “Terus, Waf. Habis lo tidur sama cowok itu. Sikap lo ke cowok itu gimana?” Wafa mengedikkan bahu. “Gimana lagi? Ya gue sama dia biasa-biasa aja.” “Lo atau dia nggak pakai marah atau ngambek gitu?” “Udah kayak bayi aja elah, Kak. Lagian kenapa gue atau dia harus marah atau ngambek. Yang penting kan kita sama-sama mau. That’s it. Besoknya ya balik ke mode biasa.” Wafa memicingkan matanya sembari menatap lekat ke arah Hera. “Lo nggak habis ditiduri cowok lain dan menuntut tanggung jawab dari dia kan, Kak?” “Nggak, kok.” Hera menyesap minumannya, mencoba mengalihkan perhatian Wafa. “Gue cuma penasaran aja.” “Kak, jangan macam-macam lo, ya! Nyokap udah suka banget sama Bima.” “Kayaknya gue pengen ngebatalin pertunangan gue sama Bima, Waf.” Lagi-lagi Wafa tersedak. “What the—” Wafa menyesap minumannya. “Hari ini bukan ulang tahun gue, tapi kenapa banyak sekali kejutan dari lo ya, Kak?” Wafa melotot tajam, sudah ingin sekali mengumpati Hera. “Lo random banget, ya! Kenapa pengen ngebatalin tiba-tiba? Lebih enak cowok lain? Apa gimana?” Sembari tangan Wafa mengacung ke atas. “Nanti kalau udah waktunya gue bakalan cerita sama lo.” “Janji, ya! Awas aja kalau lo nggak bilang apa-apa sama gue.” Waktu sudah menunjuk angka sembilan malam saat Wafa dan Hera akhirnya memutuskan untuk pulang. Wafa sudah memiliki janji akan pergi ke sebuah kelab malam bersama teman kencannya, sementara Hera kembali ke hotel untuk mengambil mobilnya. Saat perempuan itu hendak menuju basement, langkahnya tiba-tiba saja terhenti saat pandangannya terpaku pada ruangan Ikarus yang lampunya masih menyala. Namun tak lama, sebelum akhirnya Hera kembali melangkah menuju basement. Begitu perempuan itu sudah duduk di kursi kemudi, ia mengeluarkan ponselnya, mencoba mengetikkan sebuah pesan di sana. [Hera: @Eros, Ros, shift apa? Gw pengen nasi goreng kayak biasanya, Ros. Titip bisa, nggak?] [Eros: Elah, Nyi. Gw lagi nggak di Bumi. Coba deh tanya sama makhluk bumi lainnya.] [Hera: Emang lo lagi di mana, sih? Awas lo nakal, ya! Terus yang mau beliin gw nasgor siapa? :(] [Eros: Lo minta tolong sama si Miskin, coba. Nyet @Ikarus beliin Nyai nasgor, noh.] [Hera: ☹️☹️☹️] [Hera: Ya udah, deh. Gajadi aja.] Tidak ada sahutan apa-apa dari Ikarus dan Hera memilih untuk menyerah. Ia menaruh paper bag yang sejak tadi dibawanya ke kursi di sampingnya lalu Hera menyimpan ponselnya dan detik itu juga perempuan itu mulai melajukan mobilnya meninggalkan basement hotel. Begitu tiba di apartemennya, Hera melemparkan punggungnya ke atas ranjang tidurnya. Suasana hening sekali, dan Hera menyukai suasana itu. Matanya mengerjap-ngerjap, menatap langit-langit kamarnya dengan pikirannya berkecamuk. “Do whatever you want to do.” Perempuan itu ingin sekali mengenyahkan ucapan Ikarus dari pikirannya, namun kenyataannya gagal. Hera menghela napas panjang. Ia mulai melepaskan pakaian kerjanya dan langsung bergerak menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah pancuran lagi-lagi Hera diam termenung. Ditatapnya tanda kemerahan yang ada di tubuhnya, Hera menggeram lirih. Bayangan bagaimana Ikarus mencumbunya dengan tatapan penuh memuja saat itu kembali membayang di pikirannya. “Fuck!” Hera menjedukkan kepalanya di dinding kamar mandi. Mencoba mengenyahkan bayangan itu, namun lagi-lagi ia gagal. Tidak dapat dipungkiri, kenyataannya Hera juga menikmati percintaannya semalam. Lima belas menit telah berlalu, Hera keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang terlihat segar. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Bersamaan dengan suara bel berbunyi dari depan sejenak mengalihkan perhatiannya. Hera melangkah ke depan dengan handuk yang masih ada di tangannya. Sembari mengeringkan rambutnya yang masih basah ia membuka pintu unitnya, lalu ia tertegun. “Rus…” “Nasi goreng,” ujarnya datar, pria itu lantas mengangsurkan sebuah kantong plastik ke arah Hera. Perempuan itu menunduk, menatap kantong plastik yang ada di tangan Ikarus, kemudian ia menerimanya. “Gue balik.” Ikarus baru saja akan membalikkan badan, lalu dengan cepat Hera mencekal tangan pria itu. “Lo mau pergi gitu aja?” cegahnya. “Kenapa?” “Gue… nggak habis makan nasi goreng sendirian.” Hera menggigit bibirnya bagian dalam. “Paroan, ya?” *** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.“Lo mau tidur di mana malam ini?” tanya Hera dengan hati-hati, sadar jika Ikarus masih marah kepadanya.Setelah berhasil membujuk Ikarus untuk tetap tinggal di apartemennya, keduanya duduk berhadapan di meja makan. Ada satu bungkus nasi goreng yang sempat dibeli Ikarus sebelum tiba di apartemen Hera. Masing-masing dari mereka memegang sendok di tangannya.“Kenapa lo bisa seceroboh itu, sih?” ujar Hera lagi. “Lo kan hacker. Lo seharusnya—” Bibir Hera terkatup rapat saat suaranya naik satu oktaf. “Maksud gue… kenapa lo bisa kecolongan gini, coba.”“Namanya juga halangan,” jawab Ikarus dengan datar. “Nggak ada yang tahu kapan gue ditimpa musibah.”“Terus rencana lo apa setelah ini?” tanya Hera dengan hati-hati.“Nggak tahu. Gue bahkan nggak pegang duit sepeserpun sekarang,” ujar Ikarus berbohong. Hera menghela napas panjang sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke depan agar bisa menatap Ikarus dengan lekat. “Miskin banget, ya?”“Kenapa? Lo ngg
[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.][Kangen…]Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap.“Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya.“Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?”“Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke b
“Belum balik?” Ikarus mendongakkan wajah dan mendapati Ares berdiri di ambang pintu ruangannya. “Mau ngopi dulu, nggak? Kayaknya lo lagi banyak pikiran.”Ikarus tidak menjawab namun ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Mereka mengayunkan langkahnya menuju ke Sixty Lounge—cafe yang ada di pinggir pantai, masih di bawah naungan Sixty Season Resort.Begitu tiba di Sixty Lounge, mereka kemudian memesan dua cangkir kopi dan langsung duduk di salah satu meja yang kosong. Ditatapnya kerlap-kerlip di seberang lautan sana. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Lalu, “Gue tadi siang ketemu sama Nadine. Dua minggu lagi dia akan menikah.”“So?”Ikarus menggeleng. “Gue udah feeling lama sebenarnya, Res. Hubungan gue sama Nadine nggak akan berhasil. Lo masih ingat waktu lo minta gue untuk melepaskan dia dan memilih untuk deketin Hera, kan?” Pria itu menyesap kopinya. “Gue sempat memikirkannya.”“Memikirkan Hera?”Ikarus mengangguk. “Iya. Hanya saja waktu itu Nadine yang nggak mau gue l
“Karena lo nggak bilang gue mesti pakai dress yang gimana, gue ambil dress asal. Semoga aja gue nggak saltum.”Mendengar perkataan itu, Ikarus yang terlihat resah sejak tadi lantas menoleh ke belakang dan langsung tertegun.“Gimana? Gue udah cocok digandeng ke kondangan, kan?” ujarnya lagi. Perempuan itu memutar tubuhnya, seolah ingin memperlihatkan betapa sempurnanya penampilannya kali ini.Ikarus yang melihatnya lantas bangkit dari duduknya dan langsung menerbitkan senyuman kecilnya. “Perfect!”Sudah hampir satu bulan lebih Ikarus tinggal di apartemen Hera. Dan selama itu pula mereka menjadi partner yang saling menguntungkan satu sama lain.“Gue nggak habis pikir kenapa Bima nggak seriusin lo aja,” celetuk Ikarus sembari membelai bahu Hera. “Lo cantik, lo sempurna, lo juga… enak.”Mendengar kalimat kurang ajar Ikarus, Hera menatap pria itu dengan tatapan galak. “Bilang aja lo ketagihan!”Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas. “Lo juga, kan?”Hera lantas menundukkan wajahnya. Pura-
“Take off your underpants.”“Lo gila?!” Hera membelalak. “Di sini?”Ikarus tidak menjawabnya. Wajahnya sudah merapat, lalu ia mendaratkan kecupan di ceruk leher Hera dengan satu tangannya menurunkan dress itu hingga lirih ke pinggang.Tak hanya sampai di sana, tangannya kemudian bergerak turun. Telapak tangannya yang hangat bergerak mengusap paha di balik dress yang dikenakannya. Menurunkan celana dalam Hera dengan tangannya sendiri.Lalu, “Akh, Rush…” Jemari Ikarus sudah menyelinap dan tenggelam di bawah sana. Membuat Hera yang tidak tahan dengan sentuhan Ikarus hanya bisa menggigit bibirnya. “You’re crazy.” Meskipun dalam hatinya, Hera juga menikmati.“You look so sexy in two situations,” desis Ikarus dengan suara sensual. “When you wear the sexiest dress and when you moan my name loudly.”Hera menarik ujung bibirnya ke atas membentuk sebuah senyuman. Ia bisa merasakan dadanya berdesir hangat seiring dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Terlebih saat jemari Ikarus dengan lihai memai
Geliat tubuh Hera yang kini berada di sampingnya membuat Ikarus yang sejak tadi sudah terbangun dengan satu tangannya yang memegang iPad, kemudian menoleh. Tangannya terulur. Mengusap punggung telanjang Hera, mencoba untuk menenangkannya. Setelah melakukan percintaan panas di mobil, malamnya mereka melanjutkan aktivitas menyenangkan itu di kamar Hera lagi. Ikarus sempat memuji dirinya sendiri. Sejak kapan ia bisa membuat Hera yang baru pertama kalinya berhubungan seks bisa menjadi semaniak ini?“Lo udah bangun?” Antara masih mengantuk atau menyadari bahwa Ikarus yang tengah terbaring dengan satu tangannya memegang iPad, membuat Hera mengerjap pelan. “Jam berapa sekarang?”“Masih jam empat, Ra. Kalau lo mau tidur, tidur aja lagi. Nanti gue bangunin jam lima.”Hera hanya bergumam. Satu tangannya melingkar di perut Ikarus yang masih belum mengenakan apa-apa. Matanya kembali terpejam dan hal itu membuat Ikarus menghentikan aktivitasnya.Pria itu menaruh iPad di atas nakas lalu menyurukk
HERA mengayunkan langkahnya melewati pintu masuk Perkara Segalanya Coffee. Ia melepaskan kacamata hitam yang dikenakannya, lalu menatap ke sekitar. “Hai, Ri.” Hera melangkah menghampiri konter barista. Ia berdiri dengan satu tangannya yang menopang dagu. Menatap lekat ke arah perempuan itu. “Wah… rame banget, ya?”Sepupu Agnia itu mengulas senyuman kecil. “Eh, Mbak Hera. Iya, nih, Mbak. Mbak Hera sendirian?”“Iya. Yang lainnya sih masih jadi kacung. Gue mau nemuin si Mami Cantik itu.” Dagu Hera menunjuk ke arah Artemis yang tengah memangku Tiff—putrinya yang kini berusia tujuh bulan. “Eros shift apa hari ini?”“Hari ini dia libur, Mbak. Mbak Hera mau pesan apa? Biar sekalian aku buatin.”“Mm, boleh. Gue pesan iced cappuccino deh, Ri. Open bill aja, ya? Kali aja nanti mau nambah lagi.”“Oke.”Setelah pesanannya jadi, Hera kemudian mengayunkan langkahnya menuju toilet untuk sekadar mencuci tangannya. Sebelum kemudian ia menghampiri Artemis yang tengah duduk bersama bayinya.Artemis sen
Hoek!“Ra, lo baik-baik saja?” tanya Rhea yang sudah berdiri dengan satu tangannya yang membawa tasnya.Hera baru saja kembali ke hotel setelah menghabiskan sorenya bersama Artemis di Perkara Segalanya Coffee. Sebelum pulang tadi, Hera mendapatkan pesan dari seseorang. Nomor tak dikenal, namun Hera tahu siapa yang mengirimkan pesan itu.[Bisa kita ketemu? Ada yang harus kita bicarakan. Tentang Mas Ikarus.]Hera sudah bisa menebak jika Nadine tidak akan tinggal diam setelah mengetahui apa yang terjadi dengannya dengan Ikarus. Terlebih saat ia tahu bahwa Nadine tidak bisa merelakan Ikarus untuk bersamanya.“Gue nggak apa-apa kok, Rhe. Kalau Lo mau balik, balik aja.”“Lo yakin?” Rhea kemudian menyentuh kening Hera dengan punggung tangannya, sedikit hangat. “Lo nggak demam. Atau jangan-jangan lo masuk angin? Siang tadi udah makan belum?”“Udah, kok.”“Lo yakin nggak mau ke dokter?”Hera mendesah pelan sembari memutar matanya. “Gue baik-baik saja, Rhe. Sana deh kalau lo mau balik.”Rhea me