“Kenapa telat?”
Suara celetukan Ares yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya membuat Ikarus lantas menoleh ke arahnya.“Gue tadi ke tempat Eros dulu buat ambil baju.” Ikarus yang tadinya tengah sibuk membaca weekly report yang terpampang di layar monitor, lantas menghela napas panjang. “Gue udah bicara sama Hera.” Pandangan Ikarus kemudian tertuju ke arah Ares yang kini tengah menyandarkan bahunya di ambang pintu. “Mm… tapi dia menolak?”Ikarus mengangguk. “Iya.”“Alasannya?”“Dia menganggap kalau apa yang kita lakukan semalam itu cuma kesalahan satu malam. Dia nggak mau gue bertanggung jawab atas apa yang udah gue… renggut dari dia.” Ikarus menghela napas panjang. “Dia merasa nggak seharusnya kita melakukan hal itu semalam karena dia punya Bima.”“Dia yang memulainya, kan? Sebajingan-bajingannya lo, lo nggak kayak gue. Melakukan segala cara untuk merebut Eve dari cowoknya. Lo juga bukan Zeus yang terpaksa nidurin Artemis untuk nolongin dia dari desakan bokapnya.”“So, what should I do now?” tanya Ikarus buntu.“Stay calm aja, Rus. Kalau dia mau lo ngelupain apa yang terjadi semalam, ya udah lupain aja.”Kening Ikarus mengerut, menatap lekat sahabatnya yang terlihat santai. “Lo minta gue buat ngerebut Hera dari Bima. Kali aja lo lupa?”Ares tergelak sembari menggaruk alisnya. “Di antara keempat temen cewek kita, yang paling keras kepala itu Hera, Nyet. Lo nggak bisa pakai cara memaksa untuk menarik perhatian dia. Tapi terlepas dari apa yang keluar dari mulut Hera kali ini, gue yakin kalau dari lubuk hatinya yang paling dalam dia memikirkan apa yang terjadi semalam.”“Jadi sekarang gue cukup turuti saja maunya dia?”“Hm. Lihat sampai sejauh mana kedepannya. Tapi untuk sementara lo tarik ulur aja anaknya. Terus ngomong-ngomong mobil gue sementara lo bawa aja. Gue pakai mobilnya Eve.”“Thanks, Res.”“Lo masih mau menolak tawaran gue? Lo bisa open room di sini selagi lo menyelesaikan masalah lo, Nyet.”Ikarus menghela napas sembari mengedikkan bahu. “Gue pikir-pikir lagi nanti. Kalau nggak ya, gue tidur di tempatnya Eros nanti.”“Zeus lagi nongkrong di kafe sama Eros. Kayaknya lo butuh kafein, deh.”“Lo duluan ke lobi. Gue mau nganterin report ke finance dulu.” Ikarus lantas bangkit dari duduknya. Ikarus melangkah menuju ruangan finance, sementara Ares melangkah menunggu di lobi.Keduanya lantas beranjak meninggalkan hotel untuk segera menuju Perkara Segalanya Coffee detik itu juga.Begitu tiba di tujuan, Ares dan Ikarus turun dari mobil. Keduanya melangkah melewati pintu masuk saat bersamaan Asteria menyambut kedatangannya.Ares hanya menyapa sekilas lalu melangkah menuju meja yang kini sudah ditempati Zeus dan Eros. Sementara Ikarus berhenti di konter pemesanan, memesan kopi di sana.“Eh, Mas Ikarus. Mau pesan apa?” tanya Asteria. “Hai, Ri. Tolong pesankan es americano dua ya, Ri.”“Oke. Ada lagi? Mau sekalian pesan pastry?”“Mm… kayaknya nggak dulu, deh. Di meja sana, ya?”“Oke, Mas.”Setelah memesan minuman, Ikarus lantas mengayunkan langkahnya menghampiri ketiga temannya. Mereka sengaja duduk di salah satu meja yang ada di area outdoor, mengingat Eros dan Ikarus merupakan perokok akut.“Anjay! Lo beneran jadi miskin, Rus?” Suara Zeus membuat Ikarus hanya bisa geleng-geleng kepala.“Tumben lo bisa kelayapan. Nggak dikurung sama Artemis?” sindir Ikarus begitu duduk sembari mengeluarkan satu batang rokok dari tempatnya.“Sialan! Mumpung gue bisa nongkrong gini ya nggak, sih. Kapan lagi, coba? Kebetulan nyokap gue lagi di sini. Kangen sama cucu katanya. Jadinya ya, gue bisa mampir sebentar,” jawab Zeus apa adanya. “Terus gimana itu? Apa aja yang disita?”Ikarus tak langsung menjawab. Americano yang dipesan tadi sudah tiba di meja. Ikarus lantas mengangsurkannya ke samping. Setelah mengucapkan terima kasih. Ia menyesap kopinya dengan pelan.“Cuma apartemen sama mobil doang, Ze. Ada juga sih… yang ada di rekening. Tapi untungnya gue ada rekening cadangan sama temen ya, kan? Kehabisan duit ya tinggal minta sama dia.”“Tai lah! Kalau lo dikasih sama Ares, gue mau juga lah, Rus!” sahut Eros tak terima.“Kudu kere dulu syaratnya, Babi. Lo mau?”“Lha, gue kan udah kere dari lahir. Siniin, Res! Bagi duit!” ujar Eros tak mau kalah. “Lagian lo kan anak konglomerat, Anjing. Tinggal minta sama mereka aja kenapa?”“Bukannya dikasih, yang ada gue malah dicoret dari KK, Rus.” Ikarus menghela napas. “Bisa habis gue kalau bokap sama nyokap tahu gue main saham dan kena tipu. Yang ada nanti gue disuruh balik ke Jakarta sambil ngurusin rumah sakit.”“Bagus dong, Nyet. Lagian lo tuh apa dah. Udah paling bener lo jadi anak pemilik rumah sakit nomor satu di Indonesia. Malah mau-maunya jadi babunya Ares.”“Tai ye, gue dari tadi diem doang masih saja kena!” sahut Ares yang sejak tadi sibuk memegang ponsel.Eros terkekeh sembari mengepulkan asap rokoknya ke udara. “Angkat gue jadi adik lo deh, Res.”“Ogah!”“Sialan!”“Terus sekarang lo tinggal di mana, Rus? Di tempatnya Ares?”“Ogah! Gue nggak mau jadi babysitter-nya Astu sama Nira. Tapi semalam gue tidur di tempatnya Hera.”“Pantesan si Nyai anteng-anteng aja. Biasanya dia kan paling suka ngomel-ngomel kalau tahu kita-kita ada yang kena sial.” “Sama lo doang kali, Ros. Lo kan adik kesayangannya dia.”“Males gue punya kakak yang bawelnya nyaingin panjang Jalan Pantura.”Keempat pria itu berbincang selagi cuaca siang itu mulai terasa terik. Setelah menghabiskan tiga batang rokok dan segelas americano dinginnya, Ikarus dan Ares memutuskan untuk kembali ke hotel.Ada banyak pekerjaan yang menumpuk. Begitu mereka tiba di hotel, keduanya melangkah menyusuri lobi. Ares sudah kembali ke ruangannya, sementara Ikarus masih tertahan di lobi. Beberapa kali ia menyapa staf hotel yang berpapasan dengannya.“Pak Ikarus, boleh saya minta tanda tangan, Pak.” Salah satu seorang staf front office berjalan menghampirinya.“Semua permintaan tamu bisa diakomodir, kan?” tanya Ikarus sembari membaca ulang berkas yang akan ditandatangani.“Sudah, Pak. Tadi Bu Hera juga sudah memastikan ke kami terkait event ini.” “Oke. Pastikan semua berjalan dengan lancar.” Ikarus mengangsurkan berkas itu kembali ke Tara.Pria itu baru saja akan kembali ke ruangannya saat pandangannya tertuju pada seorang perempuan yang tengah berbincang dengan seorang pria yang tak asing. Langkah Ikarus terhenti.Siapa lagi jika bukan Hera bersama Bima?Entah apa yang tengah dibicarakan mereka, Ikarus mencoba untuk tidak peduli. Namun saat tatapan keduanya bertumbukan selama beberapa detik, Ikarus dengan cepat memalingkan wajahnya dan segera bergegas. Saat Ikarus hendak menuju ke ruangannya. Suara vokal seseorang yang memanggil namanya membuat pria itu menghentikan langkahnya lalu menoleh.“Rus!”Ikarus menghela napas. Lagi-lagi ia mencoba untuk tidak mengacuhkan Hera, meskipun gagal.“Lo… sibuk?” tanyanya Hera.“Ada apa?” tembak Ikarus dengan raut datar.“Lo masih marah sama gue?”Ikarus menghela napas pendek. “Kalau nggak ada yang penting untuk diomongin, gue mau masuk. Gue punya kerjaan banyak.”“Lo masih marah gara-gara gue minta lo lupain kejadian semalam?”Ikarus menatap lekat ke arah Hera dengan kedua tangannya yang dilipat di dada. “Gue memang bukan cowok baik-baik, Ra. Tapi gue juga nggak sebajingan itu dengan semudah itu melupakan apa yang udah gue lakukan semalam. Do whatever you want to do. Soal sikap gue, biar itu jadi tanggung jawab gue,” tandas Ikarus dengan lugas.***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.“Kak, gue lagi di restoran Asia dekat hotel lo. Lo balik jam berapa, sih? Kerja apa dikerjain?”“Berisik ya, Waf. Ini gue lagi siap-siap mau ke situ.”“Good. Gue mau minta traktir lo habis ini. Buruan.”Setelah mendengar ocehan adik perempuannya, Hera mengakhiri panggilannya dengan cepat. Ia lantas mengemasi barang-barangnya dan langsung bergegas meninggalkan ruangannya yang sudah sepi.Perempuan itu mengayunkan langkahnya menyusuri koridor. Sesekali ia melirik ruangan Ikarus yang masih terang benderang, lalu pandangannya tertuju pada paper bag dengan label ‘GUCCI’ di tangannya. Siang tadi Hera menyempatkan diri keluar hotel untuk membelikan kemeja baru untuk Ikarus.Ragu untuk memberikan kemejanya itu, Hera kembali mengayunkan langkahnya menuju ke lobi. Ia lantas melangkah menuju ke depan. Ditatapnya lalu lintas yang tampak ramai, perempuan itu memutuskan untuk berjalan kaki alih-alih membawa mobilnya.Begitu tiba di restoran Asia, Hera lantas mengedarkan matanya ke sekitar. Wafa yan
“Lo mau tidur di mana malam ini?” tanya Hera dengan hati-hati, sadar jika Ikarus masih marah kepadanya.Setelah berhasil membujuk Ikarus untuk tetap tinggal di apartemennya, keduanya duduk berhadapan di meja makan. Ada satu bungkus nasi goreng yang sempat dibeli Ikarus sebelum tiba di apartemen Hera. Masing-masing dari mereka memegang sendok di tangannya.“Kenapa lo bisa seceroboh itu, sih?” ujar Hera lagi. “Lo kan hacker. Lo seharusnya—” Bibir Hera terkatup rapat saat suaranya naik satu oktaf. “Maksud gue… kenapa lo bisa kecolongan gini, coba.”“Namanya juga halangan,” jawab Ikarus dengan datar. “Nggak ada yang tahu kapan gue ditimpa musibah.”“Terus rencana lo apa setelah ini?” tanya Hera dengan hati-hati.“Nggak tahu. Gue bahkan nggak pegang duit sepeserpun sekarang,” ujar Ikarus berbohong. Hera menghela napas panjang sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke depan agar bisa menatap Ikarus dengan lekat. “Miskin banget, ya?”“Kenapa? Lo ngg
[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.][Kangen…]Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap.“Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya.“Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?”“Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke b
“Belum balik?” Ikarus mendongakkan wajah dan mendapati Ares berdiri di ambang pintu ruangannya. “Mau ngopi dulu, nggak? Kayaknya lo lagi banyak pikiran.”Ikarus tidak menjawab namun ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Mereka mengayunkan langkahnya menuju ke Sixty Lounge—cafe yang ada di pinggir pantai, masih di bawah naungan Sixty Season Resort.Begitu tiba di Sixty Lounge, mereka kemudian memesan dua cangkir kopi dan langsung duduk di salah satu meja yang kosong. Ditatapnya kerlap-kerlip di seberang lautan sana. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Lalu, “Gue tadi siang ketemu sama Nadine. Dua minggu lagi dia akan menikah.”“So?”Ikarus menggeleng. “Gue udah feeling lama sebenarnya, Res. Hubungan gue sama Nadine nggak akan berhasil. Lo masih ingat waktu lo minta gue untuk melepaskan dia dan memilih untuk deketin Hera, kan?” Pria itu menyesap kopinya. “Gue sempat memikirkannya.”“Memikirkan Hera?”Ikarus mengangguk. “Iya. Hanya saja waktu itu Nadine yang nggak mau gue l
“Karena lo nggak bilang gue mesti pakai dress yang gimana, gue ambil dress asal. Semoga aja gue nggak saltum.”Mendengar perkataan itu, Ikarus yang terlihat resah sejak tadi lantas menoleh ke belakang dan langsung tertegun.“Gimana? Gue udah cocok digandeng ke kondangan, kan?” ujarnya lagi. Perempuan itu memutar tubuhnya, seolah ingin memperlihatkan betapa sempurnanya penampilannya kali ini.Ikarus yang melihatnya lantas bangkit dari duduknya dan langsung menerbitkan senyuman kecilnya. “Perfect!”Sudah hampir satu bulan lebih Ikarus tinggal di apartemen Hera. Dan selama itu pula mereka menjadi partner yang saling menguntungkan satu sama lain.“Gue nggak habis pikir kenapa Bima nggak seriusin lo aja,” celetuk Ikarus sembari membelai bahu Hera. “Lo cantik, lo sempurna, lo juga… enak.”Mendengar kalimat kurang ajar Ikarus, Hera menatap pria itu dengan tatapan galak. “Bilang aja lo ketagihan!”Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas. “Lo juga, kan?”Hera lantas menundukkan wajahnya. Pura-
“Take off your underpants.”“Lo gila?!” Hera membelalak. “Di sini?”Ikarus tidak menjawabnya. Wajahnya sudah merapat, lalu ia mendaratkan kecupan di ceruk leher Hera dengan satu tangannya menurunkan dress itu hingga lirih ke pinggang.Tak hanya sampai di sana, tangannya kemudian bergerak turun. Telapak tangannya yang hangat bergerak mengusap paha di balik dress yang dikenakannya. Menurunkan celana dalam Hera dengan tangannya sendiri.Lalu, “Akh, Rush…” Jemari Ikarus sudah menyelinap dan tenggelam di bawah sana. Membuat Hera yang tidak tahan dengan sentuhan Ikarus hanya bisa menggigit bibirnya. “You’re crazy.” Meskipun dalam hatinya, Hera juga menikmati.“You look so sexy in two situations,” desis Ikarus dengan suara sensual. “When you wear the sexiest dress and when you moan my name loudly.”Hera menarik ujung bibirnya ke atas membentuk sebuah senyuman. Ia bisa merasakan dadanya berdesir hangat seiring dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Terlebih saat jemari Ikarus dengan lihai memai
Geliat tubuh Hera yang kini berada di sampingnya membuat Ikarus yang sejak tadi sudah terbangun dengan satu tangannya yang memegang iPad, kemudian menoleh. Tangannya terulur. Mengusap punggung telanjang Hera, mencoba untuk menenangkannya. Setelah melakukan percintaan panas di mobil, malamnya mereka melanjutkan aktivitas menyenangkan itu di kamar Hera lagi. Ikarus sempat memuji dirinya sendiri. Sejak kapan ia bisa membuat Hera yang baru pertama kalinya berhubungan seks bisa menjadi semaniak ini?“Lo udah bangun?” Antara masih mengantuk atau menyadari bahwa Ikarus yang tengah terbaring dengan satu tangannya memegang iPad, membuat Hera mengerjap pelan. “Jam berapa sekarang?”“Masih jam empat, Ra. Kalau lo mau tidur, tidur aja lagi. Nanti gue bangunin jam lima.”Hera hanya bergumam. Satu tangannya melingkar di perut Ikarus yang masih belum mengenakan apa-apa. Matanya kembali terpejam dan hal itu membuat Ikarus menghentikan aktivitasnya.Pria itu menaruh iPad di atas nakas lalu menyurukk
HERA mengayunkan langkahnya melewati pintu masuk Perkara Segalanya Coffee. Ia melepaskan kacamata hitam yang dikenakannya, lalu menatap ke sekitar. “Hai, Ri.” Hera melangkah menghampiri konter barista. Ia berdiri dengan satu tangannya yang menopang dagu. Menatap lekat ke arah perempuan itu. “Wah… rame banget, ya?”Sepupu Agnia itu mengulas senyuman kecil. “Eh, Mbak Hera. Iya, nih, Mbak. Mbak Hera sendirian?”“Iya. Yang lainnya sih masih jadi kacung. Gue mau nemuin si Mami Cantik itu.” Dagu Hera menunjuk ke arah Artemis yang tengah memangku Tiff—putrinya yang kini berusia tujuh bulan. “Eros shift apa hari ini?”“Hari ini dia libur, Mbak. Mbak Hera mau pesan apa? Biar sekalian aku buatin.”“Mm, boleh. Gue pesan iced cappuccino deh, Ri. Open bill aja, ya? Kali aja nanti mau nambah lagi.”“Oke.”Setelah pesanannya jadi, Hera kemudian mengayunkan langkahnya menuju toilet untuk sekadar mencuci tangannya. Sebelum kemudian ia menghampiri Artemis yang tengah duduk bersama bayinya.Artemis sen