Share

5. Sikap Ikarus

“Kenapa telat?”

Suara celetukan Ares yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya membuat Ikarus lantas menoleh ke arahnya.

“Gue tadi ke tempat Eros dulu buat ambil baju.” Ikarus yang tadinya tengah sibuk membaca weekly report yang terpampang di layar monitor, lantas menghela napas panjang. “Gue udah bicara sama Hera.” Pandangan Ikarus kemudian tertuju ke arah Ares yang kini tengah menyandarkan bahunya di ambang pintu. 

“Mm… tapi dia menolak?”

Ikarus mengangguk. “Iya.”

“Alasannya?”

“Dia menganggap kalau apa yang kita lakukan semalam itu cuma kesalahan satu malam. Dia nggak mau gue bertanggung jawab atas apa yang udah gue… renggut dari dia.” Ikarus menghela napas panjang. “Dia merasa nggak seharusnya kita melakukan hal itu semalam karena dia punya Bima.”

“Dia yang memulainya, kan? Sebajingan-bajingannya lo, lo nggak kayak gue. Melakukan segala cara untuk merebut Eve dari cowoknya. Lo juga bukan Zeus yang terpaksa nidurin Artemis untuk nolongin dia dari desakan bokapnya.”

“So, what should I do now?” tanya Ikarus buntu.

“Stay calm aja, Rus. Kalau dia mau lo ngelupain apa yang terjadi semalam, ya udah lupain aja.”

Kening Ikarus mengerut, menatap lekat sahabatnya yang terlihat santai. “Lo minta gue buat ngerebut Hera dari Bima. Kali aja lo lupa?”

Ares tergelak sembari menggaruk alisnya. “Di antara keempat temen cewek kita, yang paling keras kepala itu Hera, Nyet. Lo nggak bisa pakai cara memaksa untuk menarik perhatian dia. Tapi terlepas dari apa yang keluar dari mulut Hera kali ini, gue yakin kalau dari lubuk hatinya yang paling dalam dia memikirkan apa yang terjadi semalam.”

“Jadi sekarang gue cukup turuti saja maunya dia?”

“Hm. Lihat sampai sejauh mana kedepannya. Tapi untuk sementara lo tarik ulur aja anaknya. Terus ngomong-ngomong mobil gue sementara lo bawa aja. Gue pakai mobilnya Eve.”

“Thanks, Res.”

“Lo masih mau menolak tawaran gue? Lo bisa open room di sini selagi lo menyelesaikan masalah lo, Nyet.”

Ikarus menghela napas sembari mengedikkan bahu. “Gue pikir-pikir lagi nanti. Kalau nggak ya, gue tidur di tempatnya Eros nanti.”

“Zeus lagi nongkrong di kafe sama Eros. Kayaknya lo butuh kafein, deh.”

“Lo duluan ke lobi. Gue mau nganterin report ke finance dulu.” Ikarus lantas bangkit dari duduknya. Ikarus melangkah menuju ruangan finance, sementara Ares melangkah menunggu di lobi.

Keduanya lantas beranjak meninggalkan hotel untuk segera menuju Perkara Segalanya Coffee detik itu juga.

Begitu tiba di tujuan, Ares dan Ikarus turun dari mobil. Keduanya melangkah melewati pintu masuk saat bersamaan Asteria menyambut kedatangannya.

Ares hanya menyapa sekilas lalu melangkah menuju meja yang kini sudah ditempati Zeus dan Eros. Sementara Ikarus berhenti di konter pemesanan, memesan kopi di sana.

“Eh, Mas Ikarus. Mau pesan apa?” tanya Asteria. 

“Hai, Ri. Tolong pesankan es americano dua ya, Ri.”

“Oke. Ada lagi? Mau sekalian pesan pastry?”

“Mm… kayaknya nggak dulu, deh. Di meja sana, ya?”

“Oke, Mas.”

Setelah memesan minuman, Ikarus lantas mengayunkan langkahnya menghampiri ketiga temannya. Mereka sengaja duduk di salah satu meja yang ada di area outdoor, mengingat Eros dan Ikarus merupakan perokok akut.

“Anjay! Lo beneran jadi miskin, Rus?” Suara Zeus membuat Ikarus hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Tumben lo bisa kelayapan. Nggak dikurung sama Artemis?” sindir Ikarus begitu duduk sembari mengeluarkan satu batang rokok dari tempatnya.

“Sialan! Mumpung gue bisa nongkrong gini ya nggak, sih. Kapan lagi, coba? Kebetulan nyokap gue lagi di sini. Kangen sama cucu katanya. Jadinya ya, gue bisa mampir sebentar,” jawab Zeus apa adanya. “Terus gimana itu? Apa aja yang disita?”

Ikarus tak langsung menjawab. Americano yang dipesan tadi sudah tiba di meja. Ikarus lantas mengangsurkannya ke samping. Setelah mengucapkan terima kasih. Ia menyesap kopinya dengan pelan.

“Cuma apartemen sama mobil doang, Ze. Ada juga sih… yang ada di rekening. Tapi untungnya gue ada rekening cadangan sama temen ya, kan? Kehabisan duit ya tinggal minta sama dia.”

“Tai lah! Kalau lo dikasih sama Ares, gue mau juga lah, Rus!” sahut Eros tak terima.

“Kudu kere dulu syaratnya, Babi. Lo mau?”

“Lha, gue kan udah kere dari lahir. Siniin, Res! Bagi duit!” ujar Eros tak mau kalah. “Lagian lo kan anak konglomerat, Anjing. Tinggal minta sama mereka aja kenapa?”

“Bukannya dikasih, yang ada gue malah dicoret dari KK, Rus.” Ikarus menghela napas. “Bisa habis gue kalau bokap sama nyokap tahu gue main saham dan kena tipu. Yang ada nanti gue disuruh balik ke Jakarta sambil ngurusin rumah sakit.”

“Bagus dong, Nyet. Lagian lo tuh apa dah. Udah paling bener lo jadi anak pemilik rumah sakit nomor satu di Indonesia. Malah mau-maunya jadi babunya Ares.”

“Tai ye, gue dari tadi diem doang masih saja kena!” sahut Ares yang sejak tadi sibuk memegang ponsel.

Eros terkekeh sembari mengepulkan asap rokoknya ke udara. “Angkat gue jadi adik lo deh, Res.”

“Ogah!”

“Sialan!”

“Terus sekarang lo tinggal di mana, Rus? Di tempatnya Ares?”

“Ogah! Gue nggak mau jadi babysitter-nya Astu sama Nira. Tapi semalam gue tidur di tempatnya Hera.”

“Pantesan si Nyai anteng-anteng aja. Biasanya dia kan paling suka ngomel-ngomel kalau tahu kita-kita ada yang kena sial.” 

“Sama lo doang kali, Ros. Lo kan adik kesayangannya dia.”

“Males gue punya kakak yang bawelnya nyaingin panjang Jalan Pantura.”

Keempat pria itu berbincang selagi cuaca siang itu mulai terasa terik. Setelah menghabiskan tiga batang rokok dan segelas americano dinginnya, Ikarus dan Ares memutuskan untuk kembali ke hotel.

Ada banyak pekerjaan yang menumpuk. Begitu mereka tiba di hotel, keduanya melangkah menyusuri lobi. Ares sudah kembali ke ruangannya, sementara Ikarus masih tertahan di lobi. Beberapa kali ia menyapa staf hotel yang berpapasan dengannya.

“Pak Ikarus, boleh saya minta tanda tangan, Pak.” Salah satu seorang staf front office berjalan menghampirinya.

“Semua permintaan tamu bisa diakomodir, kan?” tanya Ikarus sembari membaca ulang berkas yang akan ditandatangani.

“Sudah, Pak. Tadi Bu Hera juga sudah memastikan ke kami terkait event ini.” 

“Oke. Pastikan semua berjalan dengan lancar.” Ikarus mengangsurkan berkas itu kembali ke Tara.

Pria itu baru saja akan kembali ke ruangannya saat pandangannya tertuju pada seorang perempuan yang tengah berbincang dengan seorang pria yang tak asing. Langkah Ikarus terhenti.

Siapa lagi jika bukan Hera bersama Bima?

Entah apa yang tengah dibicarakan mereka, Ikarus mencoba untuk tidak peduli. Namun saat tatapan keduanya bertumbukan selama beberapa detik, Ikarus dengan cepat memalingkan wajahnya dan segera bergegas. 

Saat Ikarus hendak menuju ke ruangannya. Suara vokal seseorang yang memanggil namanya membuat pria itu menghentikan langkahnya lalu menoleh.

“Rus!”

Ikarus menghela napas. Lagi-lagi ia mencoba untuk tidak mengacuhkan Hera, meskipun gagal.

“Lo… sibuk?” tanyanya Hera.

“Ada apa?” tembak Ikarus dengan raut datar.

“Lo masih marah sama gue?”

Ikarus menghela napas pendek. “Kalau nggak ada yang penting untuk diomongin, gue mau masuk. Gue punya kerjaan banyak.”

“Lo masih marah gara-gara gue minta lo lupain kejadian semalam?”

Ikarus menatap lekat ke arah Hera dengan kedua tangannya yang dilipat di dada. “Gue memang bukan cowok baik-baik, Ra. Tapi gue juga nggak sebajingan itu dengan semudah itu melupakan apa yang udah gue lakukan semalam. Do whatever you want to do. Soal sikap gue, biar itu jadi tanggung jawab gue,” tandas Ikarus dengan lugas.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status