58 Mentari terus membuang pandangan keluar jendela. Ya, akhirnya kini ia berada di dalam mobil Bastian yang meluncur membelah hujan menuju apartemen Samudra. Laki-laki itu berhasil memaksanya masuk setelah meyakinkan semua orang di sana yang akhirnya malah memojokkan Mentari. Beberapa malah mengatai jika dirinya adik tidak tahu diri yang menyusahkan kakaknya juga keluarga. Padahal kakaknya sudah begitu baik menyempatkan menjemput di sela jam istirahat kerjanya. Begitu pandai Bastian bersandiwara. “Om Sam ke mana? Kenapa kamu hujan-hujanan di jalan sendiri?” Bastian mulai bertanya setelah lumayan lama mobil melaju membelah hujan. “Bukankah orang seperti dia punya banyak waktu untuk menemani istrinya?” lanjutnya. Dan Mentari masih tetap dengan posisi dan sikap yang sama. Diam seribu bahasa. “Tari.” Hening. Hingga Bastian harus menarik napas dalam sebanyak mungkin entah untuk apa. “Sebenci itu kamu padaku, Tari?” Pertanyaan itu akhirnya terdengar setelah beberapa lama hanya tarikan
59“Dasar pelakor! Perebut suami orang…!” Makian dan jambakan keras membuat tubuh Mentari hampir terpelanting. Bahkan ransel yang dipeluknya sampai terjatuh menimpa kakinya. Jeritan kesakitannya pun berbaur dengan teriakan si penjambak. Untuk beberapa lama Mentari merasa tertarik ke pusaran waktu. Tak dapat melakukan apa pun. Hanya merasakan pedas dan perih di kulit kepalanya. Ia berusaha melepaskan tangan si penjambak sambil menahan kepalanya. Namun, penjambak yang seperti kesetanan, terus saja menarik-narik rambutnya ke belakang sambil berteriak memaki. “Vita, lepaskan! Apa-apaan kamu?”Bukan hanya sumpah serapah Si penjambak dan jeritan Mentari yang kini terdengar, tetapi juga suara laki-laki yang mencoba melepaskan tangan si pejambak dari rambut Mentari. Kegaduhan seketika tercipta, berbagai suara saling bertabrakan saling bersahutan. Hingga akhirnya Bastian dapat melepaskan tangan Novita dari rambut Mentari. Apalagi setelah petugas keamanan datang melerai. Namun, kegaduhan
60Mentari menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tangisnya tidak pecah. Tadi perawat sudah mewanti-wanti agar ia tidak membuat kegaduhan dengan tangisnya. Matanya mengintip dari kaca kecil di pintu sebuah ruangan di mana di atasnya tertera tulisan ICU.Tubuhnya sebenarnya sangat lelah. Bahkan tadi hampir ambruk karena tulang-tulang bagai dilolosi dari persendian.Bagaimana tidak? Saat tiba di rumah sakit langsung disambut berita jika sang ayah mengalami pendarahan di kepalanya. Rupanya benturan keras yang mengenai kepala bagian belakang saat terjatuh di kamar mandi membuat cinta pertamanya itu mengalami cidera parah.Bahkan kini setelah tiga jam ia menunggu di sana, pria itu tidak ada tanda-tanda akan membuka mata. Masih berbaring dengan mata terpejam.Berbagai perasaan bercampur baur dalam dadanya. Cemas, takut, dan tidak rela melihat pria terkasihnya kini tak berdaya. Ia takut jika sampai hal terburuk terjadi dengan sang ayah. Bagaimana jika Tuhan mengambil juga ayahnya setelah
61“Asal kamu tahu ya, Mentari. Kalau ayahmu tercinta itu sudah bangkrut. Sudah tidak punya apa-apa. Sudah tidak bisa lagi mencukupi kebutuhanku. Jadi aku harus berusaha menutupi kebutuhanku sendiri. Karenanya aku tidak bisa terus mengurusinya.”Mentari masih mematung di tempatnya. Dadanya masih bergerak cepat, tapi ia tidak bisa berbuat apa pun. Hanya matanya yang menatap nyalang kepergian ibu tirinya bersama dua petugas keamanan.Atas negosiasi Samudra, akhirnya Yulia yang dibawa keluar petugas keamanan karena sebelum kedatangan wanita itu semua baik-baik saja.“Kita duduk lagi, ya,” ajak Samudra lagi lembut. Tangannya merangkul pundak Mentari yang masih mematung padahal ibu tirinya sudah lama menghilang di tikungan koridor rumah sakit.“Ayahmu bangkrut. Tidak punya apa-apa. Ayahmu bangkrut, Mentari.” Ucapan Yulia terus berputar-putar di kepala Mentari seolah kaset rekaman yang kusut. Bahkan saat Samudra membimbingnya untuk duduk, ia hanya pasrah. Lelembutnya entah ke mana. Ia seola
62Mentari sempat tertegun untuk beberapa saat, tetapi kemudian dapat menguasai diri. Bukankah ia sudah memperkirakan ini? Lalu, kenapa harus kaget?Ia menelan ludah walaupun sangat seret. Baru mengulurkan tangan dan menerima uluran tangan wanita yang mengaku bernama Lucyana itu.“Saya Mentari,” ujarnya singkat tanpa embel-embel apa pun. Tidak harus mengaku sebagai istri Samudra bukan? Toh itu memang hanya di atas kertas. Lagipula untuk apa? Istri sah yang dinikahi atas sebuah perjanjian akan kalah oleh cinta pertama yang jelas-jelas pernah dicintai. Bahkan mungkin hingga saat ini.“Boleh minta waktunya sebentar saja?” tanya Lucy lagi ramah yang membuat Mentari jengah sebenarnya. Begitu santai dan percaya diri wanita ini di depannya. Apa karaena usianya yang sudah dewasa, atau karena merasa jika dirinya akan menang ke mana-mana dibandingkan dirinya?“Untuk?” Mentari juga berusaha bersikap setenang mungkin. Walaupun masih muda dan tidak berpengalaman, ia tidak mau terlihat payah. Ia ti
63 Seraya berjalan menjauh, Mentari menggigit bibirnya. Langkahnya tersaruk karena menahan sesak yang memenuhi dadanya. Walaupun di permukaan dan terutama di depan wanita itu terlihat kuat dan tegar, sesungguhnya hatinya remuk-redam. Ia hancur. Sudahlah kondisi sang ayah yang entah kapan akan sadar, kini harus menghadapi kenyataan jika rumah tangganya akan segera berakhir. Lihatlah bahkan Samudra tidak menyusulnya sama sekali. Itu artinya sang pria memang datang untuk Lucy, cinta pertamanya. Bukan untuk dirinya. Mentari terus menyeret langkah. Lalu saat mendapati tempat lumayan sepi di mana tidak ada banyak orang berlalu-lalang, ia pun berjongkok memeluk lututnya dan menangis untuk meluapkan sesak yang berjejal. Air matanya bercucuran melewati pipi sebelum akhirnya berjatuhan di atas lututnya. Sesak itu begitu menyiksa jika tidak dikeluarkan. Karenanya ia memilih menumpahkan dulu tangisnya. Entah berapa lama Mentari melakukannya, yang pasti saat dadanya tidak terlalu berjubel deng
64Mentari melerai pelukan Samudra saat tangisnya mulai mereda. Sungguh ia nyaman di sana, merasa tidak sendirian. Hanya saja, rasanya tak lagi sama. Karena ia tahu apa yang diberikan Samudra hanya rasa nyaman karena kasihan. Setidaknya itu yang ia pikirkan.Mentari menarik dirinya, kemudian mengeringkan sisa air mata di pipi. Duduk tegak menghadap ke depan. Tak ingin lagi membuat Samudra mengasihaninya.“Jadi, kapan Om akan mengurus perceraian kita?” tanyanya setelah berkali-kali menarik napas dalam.Sementara helaan napas terdengar dari mulut Samudra.“Apa sebegitu ingin bercerainya kamu dariku?” tanya sang pria dengan suara tertahan.Mentari menoleh, lalu menatap lurus pria yang wajahnya ternyata juga kusut.“Apa ada alasan kita tetap mempertahankan pernikahan ini?” tanyanya balik.“Jika hanya karena Om butuh keturunan seperti tuntutan Nenek Widya, Om bisa memilikinya dengan wanita yang Om cintai. Atau jika karena perjodohan itu, bukankah kita sudah menunaikannya? Kewajiban kita se
65“Ya Tuhan … betapa egois laki-laki ini ….” Mentari melepaskan tangan Samudra di pundaknya, kemudian memutar tubuh dan mengusap kasar wajahnya dengan punggung sedikit membungkuk.Tidak menyangka jika pria yang terlihat tegas dan berpendirian teguh ini ternyata hanya sosok egois yang ingin memiliki segalanya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Padahal, dirinya sudah jelas-jelas mau mengalah, dan mundur agar ia bisa bersatu dengan wanita yang dicintainya. Namun, Samudra tidak mau melepaskannya, tapi juga tidak mau menjauhkan Lucy dari pernikahan mereka.Apa sebenarnya yang diinginkannya? Jangan bilang ia menginginkan mereka berdua.“Apa sebenarnya mau Om?” Akhirnya pertanyaan itu Mentari lontarkan setelah beberapa lama.“Jangan bilang Om mau menjadikanku tameng semata di hadapan keluarga. Bertingkah seolah suami yang bertanggungjawab dan anak yang berbakti. Padahal semua hanya untuk menutupi hubungan dengan kekasih masa lalu.”“Tari, pikiranmu terlalu jauh. Aku tidak sejahat yang ka