Sejak pagi aku sudah menunggu di ruang rawat inap wanita itu. Tadi malam aku tak sempat bertemu dengannya karena ia sedang ditangani. Syukur Rafis sudah tak rewel pagi ini, jadi bisa aku titip ke Ibu sebentar. Terlihat wanita yang tak aku ketahui namanya itu menggeliat di atas pembaringan. Perlahan ia membuka mata, dan langsung terkejut begitu melihat ada aku yang sedang duduk santai di sofa ruang rawatnya."Sudah bangun?" Sapaku dengan sedikit menarik bibir ke atas. Entahlah, aku pun bingung harus bagaimana bersikap dengan orang yang sudah membuat rumah tanggaku hancur."Kamu siapa?" Tanyanya balik."Aku? Masa kamu tak tahu aku siapa," sahutku sembari berjalan mendekat ke sisi pembaringannya.Ia menelisik tiap inci wajahku sembari terlihat berpikir."Tak ingat?""Tidak. Sepertinya ini kali pertama kita bertemu."Aku tersenyum sinis mendengar jawabannya."Bagimu iya, ini pertemuan pertama kita. Tapi bagiku tidak."Ia terlihat mengernyitkan dahi, bingung."Biar aku bantu ingatkan. Aku
POV DamarPlaaak!Aku tak tahan lagi untuk tak menampar Rasti yang sudah berkelakuan bak orang gila. Entah bagaimana ia bisa tahu jika aku datang ke rumah sakit ini dan menemui Bella. Yang lebih parahnya lagi, Rasti tak segan sama sekali membuat keributan di rumah sakit."Maas! Berani sekali kamu nampar aku lagi, hah? Mau cari mati kamu?" Mata Rasti melotot penuh ancaman. Namun kali ini tak ada lagi rasa takut dalam hatiku."Kenapa? Kamu mau mengancam aku lagi? Aku tak peduli!" Jawabku tak mau kalah."Hah! Gara-gara wanita kotor itu kamu jadi mulai gak waras ya, Mas!""Rasti! Kamu mau aku tampar lagi, hah?! Jangan seenaknya saja menghina Bella seperti itu!""Oh, ternyata benar dugaanku, kamu punya hubungan khusus dengannya, kan? Sampai segitunya membela wanita itu.""Kalau iya kenapa?" Tantangku membuat Rasti terperangah."Jadi benar, Mas?" Pekiknya lagi dengan kembali tantrum seperti orang gila."Iya! Biar kamu puas.""Jahat kamu, Mas! Bisa-bisanya kamu menduakan aku!" Rasti terlihat
"Maass! Buka pintunya! Jangan seenaknya saja ya kamu perlakukan aku begini. Aku benar-benar akan menuntut kamu nanti." Rasti terus menggedor pintu kamarku sembari terus berteriak marah.Kututup rapat telinga dengan bantal agar tak mendengar teriakan Rasti yang begitu mengganggu. Aku tak lagi peduli dan tak lagi takut dengan semua ancamannya. Aku sudah benar-benar muak dengan perlakuan Rasti. Mau rumah tanggaku dengannya harus hancur pun aku tak masalah. Dari pada harus terus terjajah oleh sikap Rasti.Tubuh yang lelah, membawaku cepat terlelap ke alam mimpi. Sejak hidup bersama Rasti hidupku jadi urakan. Bahkan amat sering aku tidur dalam kondisi masih berpakaian kerja tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.Pagi-pagi sekali aku bangun. Melihat ranjang hanya ada aku, kembali aku teringat pada Rasti.Buru-buru kubuka pintu kamar untuk memastikan wanita itu sudah pergi atau belum.Tapi aku dibuat kesal, saat melihatnya masih berada di rumah dan sedang tidur nyenyak di atas sofa. Sepert
"Mas, kamu sedang apa? Kenapa buka-buka hapeku?" Aku terjengit kaget saat mendengar teguran Rasti yang sudah berdiri di belakangku.Ia hendak merampas ponselnya, namun aku berusaha menahan benda pipih itu untuk tetap di genggamanku.Aku merasa benar-benar tertipu dengan wanita yang sedang berdiri di depanku ini. Apa benar jika Rasti tak bisa punya anak? Apa ia mandul? Ah, kalau memang benar, aku jadi merasa bodoh sekali sudah tertipu dengannya."Apa ini?" Tanyaku sembari menunjukkan pesan dari Mas Hamdan tepat di depan wajahnya.Melihat pesan tersebut, wajah Rasti spontan memucat."I-ini ... Tak seperti yang kamu kira, Mas. Mungkin Mas Hamdan hanya asal bicara saja." Rasti mulai membela diri. Tapi aku tak akan semudah itu untuk percaya padanya."Oh, begitukah? Terus apa alasan Mas Hamdan menceraikanmu? Karena sampai detik ini, aku tak pernah tahu alasannya.""Itu karena orang tuanya, Mas. Mereka tak setuju Mas Hamdan menikahiku."Aku tersenyum sinis mendengar alasannya. Pandai betul w
Mendengar pertanyaanku Bude Lasmi langsung menatapku nanar. Mungkin ia tak menyangka kedatanganku kemari karena ingin menanyakan hal itu."Ka-kata siapa?" Bude Lasmi balik bertanya dengan gugup, terlihat ia susah payah menelan ludah. Ekspresinya persis seperti orang yang tengah ketakutan."Bude gak usah takut begitu. Aku kemari karena aku percaya pada Bude. Lagi pula aku gak akan bilang ke siapa-siapa kok kalau aku tahu kebenarannya dari Bude."Bude Lasmi tetap bungkam walau sudah kubujuk begitu. Raut wajahnya juga berubah menjadi sedikit masam.Ah, sepertinya mau tak mau aku harus mengeluarkan pancingan dulu.Kutarik sebuah amplop putih dari dalam saku, dan meletakkannya di atas meja yang berada di hadapan kami.Benar saja kan dugaanku, Bude Lasmi tipe orang yang materialistis. Buktinya begitu aku meletakkan amplop tersebut, raut wajahnya yang tadi masam tiba-tiba berubah sedikit cerah. Seperti bisa menebak isi dalam amplop tersebut."Apa ini, Damar?" Tanya Bude Lasmi menatapku penuh
"Ah, masa bodoh dengan Rasti lah, Bu. Mau tak mau ya ia harus mau. Kalau dia tak mau pun aku tak peduli. Untuk apa mempertahankan perempuan mandul begitu," tandasku membalas perkataan Ibu.Ibu lagi-lagi terdengar menghela napas berat. Kenapa? Apa Ibu tak setuju dengan keputusanku?"Kenapa ya, Mar, Ibu selalu dapat mantu yang gak bener. Cuma Diana lah mantu Ibu yang baik."Aku langsung cemberut saat Ibu memuji Mbak Diana. Dia baik kan hanya di depan Ibu. Mana tahu Ibu bagaimana kelakuan wanita itu di belakangnya. Walau aku tak suka Ibu memuji-muji Mbak Diana, aku tetap tak ingin membuka rahasia siapa Mbak Diana sebenarnya. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau Ibu semakin down jika tahu mantu yang dibanggakannya Sebenarnya bukanlah wanita baik-baik.Tapi tetap saja, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Begitu pula dengan Mbak Diana. Dan keyakinanku itu terbukti saat melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa masuk ke pekarangan rumah Ibu."Bu Ratna, Bu ... Ayo ke r
"Apa-apaan kamu? Berani-beraninya minta ikut suami orang! Gak malu kamu bersikap murahan begitu?" Tiba-tiba Rasti bersuara menyentak Dista.Dista hanya menatap wanita itu dengan enggan. "Aku memang bukan siapa-siapa Mas Damar lagi. Tapi ia masih Ayah dari anakku! Dan Ibu Mas Damar itu masih nenek Rafis! Apa kau sudah amnesia?" Balas Dista tak kalah ketus."Haiih! Sudah, sudah! Aku sedang tak bisa meladeni perdebatan kalian sekarang. Dista, kalau kamu mau ikut boleh kok.""Maaas! Kamu apa-apaan sih? Yang istri kamu itu aku, bukan dia. Kenapa malah dia yang kamu ajak?""Sudahlah, Rasti, jangan membantah. Kamu di rumah saja!" Tukasku lalu cepat-cepat masuk ke mobil diikuti Dista juga Rafis.Segera kulajukan mobil menuju rumah Mas Danis yang masih terlihat ramai.Raut wajah Dista juga terlihat bertanya-tanya saat melihat orang yang berkerumun itu. Namun, sebelum sempat ia bertanya apa-apa, aku sudah buru-buru turun lalu masuk ke rumah untuk membawa Ibu.Dibantu dengan Mas Danis dan para
"Kamu apa-apaan sih, Ras? Aku kan sudah bilang, kalau aku ngantar Ibu ke rumah sakit. Jangan seenaknya saja kamu memerintah aku pulang! Keadaan di sini juga tak baik-baik saja." Aku menyahut Rasti dengan kesal. Seenaknya saja ia memerintah aku ini itu. "Masalahnya, teman kamu yang waktu itu datang kemari ada di sini. Masa seenaknya saja dia ngaku-ngaku kalau hamil anak kamu."Deg!Ya Tuhan ... Apalagi ini? Bella datang ke rumah? Bukannya tadi ia sendiri yang menolakku. Tapi kenapa tiba-tiba ia datang dan mengakui kehamilannya di depan Rasti?Ah, terserahlah! Aku juga tak peduli dengan perasaan Rasti."Mana dia? Aku mau bicara."Beberapa detik kemudian, terdengar suara Bella di ujung sana."Mas, sejak bertemu kamu tadi, aku terus berpikir tentang semuanya. Dan sepertinya kali ini aku akan memberi kamu kesempatan bertanggung jawab, tapi hanya sekali ini saja," ujar Bella dengan nada dingin."Baik, Bell. Aku akan tanggung jawab dengan anak itu, dan akan menikahi kamu. Tapi apa tak masala