“Kontrakannya sempit banget, Bu.”“Iya, ya. Kayak kandang ayam. Ihh, itu apa? Kok berantakan gitu?”Ibu dan anak itu mendorong Lingga. Dia ingin membuka jalan agar bisa masuk ke dalam rumah.“Minggir! Aku mau masuk. Mana Agnes?” ucap salah satu tamu tak diundang itu pada Lingga. Hidungnya ditutup. Alisnya mengkerut saat memasuki kontrakan Lingga. Hal itu diperparah saat mereka melihat kondisi ruang tamu yang berantakan seperti kapal pecah.“Bibi … Nesi. Aaah … aku senang kalian datang.”Tiba-tiba Agnes muncul dari dalam kamar dan berlari ke arah bibi dan sepupunya. Mereka bertiga saling berpelukan dan berbagi rindu. Iya. Tamu yang datang, tak lain dan tak bukan adalah Bu Sulis dan Nesi.“Beneran kamu hamil, Nes? Tapi perutmu belum kelihatan buncit, ya?” tanya Nesi pada sepupunya.“Coba muter!” titah Bu Sulis pada sang keponakan. Agnes menuruti ucapan bibinya.“Kamu kok kurus banget, sih? Trus ini apa? Daster? Sejak kapan kamu makasi daster, Nes? Kayak orang misk1n aja.” Bu Sulis menat
“Jadi Ibu ini keluarganya Agnes?”“Iya, Bu. Saya bibinya. Nama saya Sulis. Dan ini anak saya, Nesi. Cantik, ‘kan?”Bu Sulis melancarkan aksinya pada tetangga kontrakan Agnes. Memulai pendekatan sebaik mungkin.“Waah … sekeluarga cantik semua, ya? Kulitnya putih dan mulus. Rambutnya juga hitam dan lurus. Benar-benar idaman semua pria. Kayak artis di TV.”Mendengar puja-puji dari semua orang, membuat ketiga wanita itu tersanjung. Pipinya merah, tak sanggup menerima semua pujian ini.“Dulu saya sampai heran. Kenapa Nak Agnes mau sama Nak Lingga, ya? Sepertinya dia itu pengangguran. Nak Agnes lebih pantas menjadi istri pejabat. Pembawaannya itu seperti orang kaya.”“Bener kan ibu-ibu? Ponakan saya ini memang pantas mendapatkan yang lebih baik. Entah apa yang membuat dia kesemsem sama Lingga.”Bu Sulis, dan dua anak perempuannya betah berkumpul dengan para tetangga yang senang bergosip. Apalagi mereka didukung oleh kumpulan ibu-ibu itu. Pujian selalu keluar dari mulut orang-orang akan keca
“Apa itu, Nes?”Bu Sulis dan Nesi ikut mendekat. Agnes mulai membuka amplop itu. Terlihat lembaran-lembaran merah di dalam sana. Mata ketiga orang itu semakin berbinar. Seolah memenangkan doorprize untuk hadiah utama.“Wah, uang. Uang, Bu, uang ….”Nesi terlihat begitu girang. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan. Mengambil tangan sang Ibu untuk berjoged.“Ayo kita lihat, berapa isinya,” ucap Bu Sulis.Tapi sebelum uang itu raib dan berpindah ke tangan para wanita menyebalkan, secepat kilat Lingga mengambil amplop miliknya.“Loh, Mas?” Agnes tak terima.“Biar aku yang simpan. Akan kugunakan uang ini untuk modal usaha,” ucap Lingga sambil berlalu ke kamarnya. Di sisi lain, Bu Sulis memberi kode pada Agnes untuk mengikuti Lingga ke dalam kamar. Dia menyuruh sang keponakan untuk memata-matai gerak-gerik suaminya. Mereka harus mencari tahu dimana amplop itu akan disimpan.Saat semua orang di rumah itu sibuk memikirkan amplop coklat, Bu Ines datang dengan membawa banyak makanan. Majikannya
“Duuuh, aku capek, Bu.”Nesi mencari ibunya ke halaman depan sambil membawa sapu.“Loh, kamu belum selesai nyapu di dalem, Nes?”“Aku capek, Bu.”“Pura-pura bentar apa susahnya, sih? Si kep4rat itu belum keluar rumah,” ucap Bu Sulis pada anaknya. Sedangkan netranya terus mengawasi Lingga yang masih asik menyantap nasi goreng buatannya.“Kenapa Ibu gak lawan aja, sih? Tumben banget Ibu mau ngalah.”“Ssst. Jangan keras-keras! Pokoknya ikutin aja apa kata Ibu! Kita gak selamanya mengalah, kok. Ibu punya rencana lain. Sudah, sana! Pura-pura nyapu dulu!”Nesi terpaksa masuk kembali ke dalam rumah dan menyapu ruangan. Tapi wajahnya tak bisa bohong. Wajahnya cemberut saat mengerjakan semua ini. Maklum, sejak dulu dia selalu malas mengerjakan pekerjaan rumah. “Aku berangkat dulu. Semoga hari ini keterima kerja,” ucap Lingga pada sang istri.“Iya, Mas. Hati-hati. Aku selalu mendoakan yang terbaik buat kita. Semangat, ya,” balas Agnes dengan wajah penuh kepura-puraan.Selepas Lingga dan Bu Ine
“Jadi … selain buka usaha bengkel, kamu juga usaha jual beli motor bekas, No?” tanya Lingga keheranan. Dia tak menyangka kalau orang yang dulu dia remehkan, kini bangkit menjadi pengusaha sukses.“Iya, Ngga. Puji syukur Tuhan menitipkan semua ini padaku. Akan kurawat baik-baik.”Lingga menggeleng-gelengkan kepala. Dia begitu kagum dengan sosok Yono. Di saat dirinya menjalani hidup dengan penuh kesombongan dan kebohongan, Yono justru terus berlari mengejar mimpi dengan penuh ketulusan. Itu lah yang menyebabkan Lingga tertinggal begitu jauh. Tuhan dan semesta tak berpihak pada orang-orang sombong dan angkuh seperti dirinya. Tapi kini, saat dia baru meninggalkan semua sifat-sifat buruk itu, Lingga langsung dilimpahkan rejeki untuk memulai hidup yang baru. Tuhan begitu baik. Hanya kita yang terkadang terlalu bodoh untuk mengartikan maksud-Nya.“Jadi gimana? Apa kamu mau bekerja sama denganku, Ngga? Aku tak akan menjadi bos-mu, tapi rekan kerjamu.”Lagi-lagi, perkataan Yono membuat Lingga
“Loh, Mas. Mana pesenanku?” “Aku gak beli,” jawab Lingga dengan singkat. Dia hendak masuk ke kamarnya namun dicegah oleh Agnes. “Apa, Mas? Gak beli? Kamu gak denger aku ngomong apa di telpon? Beliin kami seblak dan cendol,” ucap Agnes dengan penuh penekanan. Dia berharap sang suami akan takut dan gegas kembali keluar rumah untuk membelikan apa yang dia mau. “Tolong sopan sama suami! Kamu gak boleh bentak-bentak aku seperti ini. Suami pulang, bukannya disediain makanan dan minuman, ini malah dimarahi. Kamu kan bisa beli sendiri.”“Ya uangnya mana?”“Aku kan udah kasi kamu uang tadi pagi. Dimana uang itu? Kamu habiskan?”Iya. Tadi pagi, sebelum Lingga keluar rumah, dia telah memberi istrinya uang sebesar dua puluh ribu. Itu untuk jajan Agnes pribadi. Walaupun sang istri tak terima dengan jumlah uang itu, Lingga tak peduli. Dia harus bisa mendidik sang istri untuk hemat. Dia dan ibunya mat1-mat1an banting tulang untuk mencari nafkah, sang istri justru menghambur-hamburkannya bersama d
Jam 4 pagi, Lingga sudah bangun dari tidurnya dan bersiap hendak kerja. Iya. Hari pertama masuk kerja, dia mendapatkan bagian shift pagi. Jam kerjanya dimulai jari jam 6 pagi hingga jam 2 siang. Di rumah Nyonya Sandra, terdapat 3 orang security, yang dibagi ke dalam 3 shift. Yang mendapat bagian shift malam, juga akan ditemani oleh tukang kebun di sana. Tukang kebun di rumah itu memang senang berjaga dan tidur di pos security. “Duuuh, dingin banget ….”Sehabis mandi, Lingga kembali masuk ke kamarnya. Dia melihat sang istri masih tertidur pulas. Padahal tadi malam, Lingga sempat memberi pesan pada istrinya untuk membuatkan dia sarapan. Dia harus berangkat kerja pagi-pagi buta.Tanpa menghiraukan sang istri, dia pun bersiap-siap untuk bekerja. Ibadah pagi juga telah dilakukan oleh Lingga sebelum memulai aktivitasnya. Sekitar 30 menit berada di kamar, Lingga kini pun keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap seorang security. Dia merasa, hidupnya kembali berwarna. Sempat terbersit ken
“Kok Ibu belum ke sini juga, ya?” Lingga mulai gelisah. Pasalnya, sang Ibu belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah Nyonya Sandra. Dia khawatir dan terus bertanya-tanya. “Aku harus telepon Ibu,” ucap Lingga sambil memencet nomor di ponselnya.Teleponnya tersambung, namun tak kunjung diterima. Kemana sang Ibu? Lingga terus bertanya-tanya.“Apa Ibu mendadak gak enak badan, ya? Tapi biasanya Ibu akan selalu mengabariku. Coba aku telpon Agnes, deh.”Lingga begitu sibuk mengkhawatirkan kondisi sang Ibu sampai tak menghiraukan kedatangan mobil Nyonya Sandra. Merasa pegawainya asik sendiri, Nyonya Sandra yang baru datang sehabis mengantar cucunya ke sekolah, lantas mendatangi pos security.“Lingga … Lingga,” panggil Nyonya Sandra. Saking sibuknya, Lingga sampai tak mendengar panggilan itu. Sampai akhirnya supir pribadi Nyonya Sandra menepuk bahu Lingga dan menyuruhnya menjawab sapaan majikannya. Tentu Lingga merasa terkejut. Dia terperanjat.“Maaf, Bu,” ucap pria itu sembari menund