“Aku tidak pernah seyakin ini tentang sebuah hubungan, Amal. Aku tahu kita bukanlah yang pertama dalam sebuah hubungan. Tapi, aku ingin kita menjadi yang terakhir menjalin di mana hanya ada kita berdua dan juga calon anak-anak kita kelak!”Ucapan Orion bagaikan nyanyian yang selalu membuatnya terngiang-ngiang. “Anak,” gumam Ama.Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Namun, rasa kantuk sama sekali tidak menghampiri. Ama justru terjaga setelah mereka menghabiskan malam panjang. Sementara Orion sendiri sudah terlelap di sampingnya.Ia mendongak, menatap wajah suaminya dalam diam. Pillow talk mereka semalam benar-benar berefek dahsyat pada dirinya. Jangankan untuk memejamkan mata, untuk sekedar menyerongkan tubuh saja ia enggan. Helaan napas panjang terembus begitu saja dari hidungnya. “Apakah tidak apa jika aku mempunyai anak sekarang? Bahkan, aku belum bisa mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang bisniswomen yang diakui oleh semua orang?”Ada ketakutan dalam hati Ama. Mengingat jik
“Kenapa kamu bisa lupa dengan janjimu?” tanya Ama tanpa melihat lawan bicaranya.“A-aku–”Kening Ama mengernyit. Ia seolah mencium ada yang tidak beres di situ. Kepalanya menoleh ke arah Orion di mana lelaki itu seperti salah tingkah. “Kau punya janji dengan orang lain tadi?”Terdengar helaan napas berat dari Orion. Kepala lelaki itu langsung menunduk penuh penyesalan. “Maaf.”Ama mengangguk dan cukup tahu saja. “Ok, kalau begitu tolong antarkan saya ke rumah sakit!” Ia langsung memalingkan wajah untuk melihat ke arah luar jendela.“Baiklah.” Suara Orion terdengar pasrah.Tiba-tiba, ponsel Orion berbunyi. Sebuah notifikasi pesan baru saja masuk dan tertulis di sana; Makasih atas makan malam….Belum selesai Ama membaca, ponsel itu sudah diambil. Ia menyeringai, lalu berbalik melihat ke arah jendela. “Aku bisa jelasin, Mal!” Suara Orion kembali terdengar. Ama menguap hingga matanya berembun. “Hem, silakan!” balasnya santai.Ama bukanlah perempuan yang suka meledak-ledak ketika marah.
Sepulangnya dari rumah ayah, Ama masuk ke dalam rumah suaminya dengan gontai. Permintaan ayah terdengar mudah, tetapi bagi dirinya begitu sulit. “Haruskah aku memaafkan dia?” Ama menghela napas sambil tetap berjalan, menenteng tas berisi minuman tradisional yang diberikan sang ayah untuknya dan suami.“Ini lagi ayah pakai acara ngasih jamu? Ya, kali kita disuruh begituan tiap hari,” keluhnya ngeri, “bisa bonyoken nanti yang ada aku!”“Amal. Amal, tunggu aku!” Panggilan dari belakang bahunya terdengar jelas.“Panjang umur kali dia,” dumelnya tak ikhlas. Ia lalu menatap pria itu bosan. “Apa, sih, Rion?”Tangannya tiba-tiba ditarik ke dalam genggaman erat. Sudah hampir seminggu mereka tak saling bertegur sapa dan hari ini, mungkin adalah waktu yang tepat karena mereka sama-sama libur.Hanya saja, Ama memilih kabur ke rumah ayahnya sejak pagi dan siang ini baru pulang. Itu pun karena desakan sang ayah jika tidak, mungkin ia masih bermalas-malasan di rumah.“Kamu dari mana aja? Kenapa ngg
Amalthea melirik ke arah samping kemudi di mana Orion tengah duduk sambil menyetir. Tujuan mereka adalah adalah kantornya. Namun, ada yang berbeda dari suasana mereka. Tak tahan, ia segera menelengkan kepalanya menghadap si suami.“Sshhh, mau sampai kapan kamu akan tetap mendiamkanku, Rion?” Ama memang suka sunyi, tapi akan berbeda jika di dekat Orion. Lelaki itu sudah mencekokinya dengan kerandoman dia. Jadi, akan sangat awkward jika mereka berada dalam satu mobil, duduk berdampingan, tetapi hanya saling diam. Ama tidak bisa dicuekin oleh Orion. Namun, pertanyaannya sama sekali tak mendapatkan tanggapan apa pun.Wah, hebat sekali lelaki brengsek di sampingnya itu.Ama menghela napas kesal saat tak mendapatkan jawaban apa pun dari Orion. “Yakh! Sebenarnya ada masalah apa sih, kamu sama aku, Rion?!” Wanita itu mulai kehabisan kesabaran.“Diamlah! Aku gak mau ngomong sama kamu!”“What!” Mata Ama membelalak tak percaya. “Seriously?” Lelaki itu hanya meliriknya sementara, lalu kembali
“Heol! Berani sekali wanita ular itu mengancamku!” Ama langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia mendengkus sebal dengan menyandarkan satu sikunya ke jendela, sedangkan satunya lagi memegang bagian kepala.“Siapa yang udah buat istriku tercinta kesal di pagi hari? Hm!” Suara Orion di sampingnya membuat fokus Ama terpecah.“Ah, bukan siapa-siapa.” Ama mencoba tersenyum. “Cepat jalankan mobil ini! Aku harus ke kantor tepat waktu!”“Kau yakin?” Orion terdengar ragu, tetapi kakinya tetap menginjak gas sehingga mobil yang mereka tumpangi melaju bersama kendaraan lain di jalan raya.“Hem.” Ama berdeham. Ia tak mengatakan apa pun pada Orion tentang pesan dari Ameera. Bukan karena mau main rahasia-rahasiaan, melainkan ia merasa bisa menyelesaikan masalah keluarganya sendiri.Lalu, di sinilah Ama berada, kediaman orang tuanya. Setelah pulang dari kantor dan beralasan ada rapat di luar bersama klien kepada Orion, ia sudah berada di pintu menuju taman belakang.“Bagaimana bisa aku tertipu
Ama sudah menghubungi Orion. Namun, lelaki itu berkata sedang berada di luar bersama dengan teman-temannya. Katanya, mereka sedang mendiskusikan masalah pernikahan Malik–teman sekolah sang suami.“Kenapa, Mal?” tanya Orion lagi di seberang telepon. “Apa kamu udah kangen dan memintaku untuk cepat pulang?” Ama mendengkus geli mendengar suara Orion yang begitu percaya diri. “Dalam mimpimu pun, seorang Ama tidak akan pernah merindukanmu. Cih! Enyahlah!” Setelah itu, Ama langsung memutuskan panggilan itu dan menyugar rambutnya. Ia melihat ke arah ponselnya yang menyala tanda ada panggilan. Ternyata Orion menghubungi balik. Namun, tak digubris olehnya.Ama mencibir, “kalau mau nongkrong mah nongkrong aja. Emang dia pikir dia siapa? Berani sekali memintaku untuk merindukannya!” Dirinya hendak berjalan menuju ruang kerja ayahnya, tetapi sebuah tepukan di bahu membuat ia berhenti..“Ama!”Ama menoleh. Wajahnya yang tadi kecut ketika berbicara dengan Orion, kini semakin masam. “Mau ngapain ka
Orion mematikan mesin mobil, lalu melihat ke arah rumahnya yang masih gelap. Lampu kamar dan lampu teras belum menyala, padahal ini sudah malam. Kepalanya meneleng sambil berdecak. “Apa Ama belum pulang?” Lelaki itu pun melihat ke arah jam tangannya, pukul 22.00 wib. Ia mendesis dengan kepala digelengkan. Sambil berjalan menuju pintu utama, ia berujar sendiri. “Apa dia lembur lagi, yah? Tapi, kayaknya gak, deh.” Baru saja ia berjalan 5 langkah, ponselnya berdering. Nomor istrinya memanggil. Bibir Orion pun tersenyum lebar.“Emang dasarnya jodoh, ya, begini. Gak bisa banget kalau dirasanin sedikit.” Lelaki itu terkekeh sebelum mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Mal.” sapanya senang.“Permisi, Tuan. Apa benar ini adalah nomor suami dari Nona Amalthea?” Suara seorang pria di seberang telepon tertangkap indera pendengaran Orion.Kedua alis Orion terangkat naik. “Kok, laki-laki,” gumamnya. Ia pun langsung menjauhkan ponselnya dan melihat nomor yang tertera di sana. “Bener, kok, ini no
Pengaruh alkohol sudah hilang dan hanya tinggal mual, serta pusing. Ama menatap suaminya dengan sengit. “Selain menyebalkan dan tidak peka, kamu itu lelaki brengsek yang bisanya cuma bikin aku kayak orang bego!”“A-apa!” Orion terdiam beberapa detik sebelum kembali membuka mulut. “Aku gak ngerti sama apa yang kamu katakan, Mal. Jelas-jelas aku langsung ke kantor polisi setelah mendengar kabarmu–”“Aku di kantor polisi karena pria bajingan itu udah melecehkan ku, Rion!” Ama menggeram menahan diri. “Bukankah aku tadi sudah jelaskan ke kamu? Jadi, apa perlu aku menjelaskan lagi?”Orion langsung berjongkok dan menggenggam tangan istrinya. “iya aku tahu. Ok, aku minta maaf karena gak bisa jaga kamu, dan aku juga makasih banget karena kamu bisa menjaga dirimu,” jeda lelaki itu sebentar.Tiba-tiba, bibir Orion mencebik dan menatapnya dengan pandangan setengah kesal. “Kenapa kamu menendang kandung kemihnya pelan? Seharusnya, kamu buat saja dia tak bisa bangun sekalian?” Dia berkata dengan mua