***"Anak Papa anak Papa, makin gede makin cantik! Ciluk ... ba!"Duduk bersila di kasur, Danendra nampak begitu semangat mengajak Elara bermain ciluk ba, sementara Adara sedang membersihkan badan pasca pulang dari lapangan."Cantik banget kamu, Sayang. Persis Mama," puji Danendra sambil memegangi kepalan tangan Elara yang terus bergerak sejak tadi.Menginjak usia tiga bulan, Elara memang sudah terbilang cukup aktif bahkan bayi gembul itu mulai bisa memiringkan badan untuk belajar telungkup."Asik banget mainnya."Danendra menoleh lalu tersenyum melihat Adara yang nampak begitu segar setelah mandi. Memakai bathrobes putih seperti biasa, perempuan itu menggulung rambut basahnya dengan handuk sedang."Udah mandinya?""Udah," kata Adara. "Kamu mau mandi juga enggak? Keringatan kayanya tuh.""Mau, habis ini," kata Danendra. "Nunggu baby El tidur lagi.""Kenapa?" tanya Adara sambil menaikkan sebelah alisnya setelah dia duduk di pinggir kasur. "El kan ada aku.""Justru itu," ucap Danendra.
***"Ra, makan siang dulu."Pasca kejadian jam sepuluh tadi, Danendra mendapat hukuman dari Adara. Meskipun sudah menjelaskan maksud dari kata 'suka' dia pada Clarissa bukan menjurus ke perasaan cinta, tetap saja istri cantiknya itu marah.Dan hukumannya adalah; Danendra tak boleh berada di kamar sampai marahnya Dara luntur.Mengisi kejenuhan, Danendra memutuskan untuk menyiapkan makan siang—menggantikan tugas Mbak Vivi dan kini, tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas, kegiatan Danendra selesai.Masuk ke kamar yang tak dikunci, Danendra berjongkok di depan Adara yang entah sejak kapan tertidur."Adara cantik, makan dulu," kata Danendra—membangunkan Adara untuk yang kedua kalinya. Namun, sang istri tetap terlelap hingga akhirnya Danendra menggunakan cara pamungkas.Cup!Sebuah kecupan mendarat di kening Adara. Tak hanya di kening, Danendra kembali mendaratkan kecupan yang sama di kedua pipi, pangkal hidung hingga terakhir bibir.Membuat Adara yang semula terlelap k
***"Iya, Ris. Hati-hati di jalan ya. Aku tunggu.""Oke, Mbak Dara. Sepuluh atau dua puluh menit lagi ya.""Sip."Sambil tersenyum, Adara memutuskan sambungan telepon dari Clarissa setelah beberapa menit berlalu, perempuan itu menelepon untuk mengabari jika dirinya sudah sampai di Jakarta.Sempat merasa curiga dengan keputusan mendadak yang diambil Rafly, pada akhirnya—perlahan Adara mulai percaya.Tak pernah menunjukkan attitude jelek bahkan macam-macam, dia menerima tawaran berteman dari Rafly dan hari ini—tepat tiga minggu setelah perkenalan tempo hari, Adara sudah percaya pada Clarissa.Bahkan ketika Danendra terpaksa pergi ke luar negeri sabtu sore sekarang untuk menemui klien, Adara tak menolak ketika Danendra meminta Clarissa datang untuk menemaninya dua malam sampai sang suami pulang dari Singapura.Sebenarnya Adara sudah meyakinkan Danendra, jika tak ditemani pun dia tak masalah. Namun, tetap saja pria itu ingin Adara ditemani seseorang —selain Mbak Vivi ketika dirinya pergi.
***"Alkohol?"Rafly menaikkan sebelah alisnya ketika Felucya datang membawa sebotol wine. Malam minggu, dia dan Felicya memang menghabiskan waktu berdua di apartemen sebelum besok melancarkan rencana yang sudah lama tersusun.Rafly dan Felicya bilang, ini adalah perayaan kecil sebelum nanti perayaan besar mereka lakukan.Namun, tentunya Rafly tak menyangka perayaan mereka malam ini akan ditemani minuman berwarna merah keunguan itu."Cuman wine, enggak akan buat mabuk," kata Felicya sambil duduk lalu meletakkan botol wine yang dia bawa di atas meja.Tak hanya wine, Felicya juga membawa sekotak pizza juga satu kantong kresek camilan."Aku enggak nyangka kamu suka alkohol," kata Rafly."Kenapa?""Muka kamu polos," ucap Rafly lagi. "Emang ya, menilai seseorang itu harus luar dalam karena terkadang kemasan nipu."Felicya menaikkan sebelah alisnya. "Maksud kamu?""Ya lihat aja kamu," kata Rafly. "Kamu itu cantik, tipe wajah kamu juga kelihatan ramah sama protagonis banget, tapi ternyata ha
***"Kamu kok ganteng banget sih, Dan?"Duduk di depan meja sambil memandangi Danendra lewat layar laptop, Adara mengukir senyuman senangnya melihat sang suami yang malam ini sudah tampan dengan kemeja putih juga celana coklatnya.Sebelum pergi ke pesta, Danendra menelepon Adara untuk mengabari sang istri jika dirinya mungkin akan tiba besok subuh ke Jakarta.Danendra mengambil penerbangan paling pagi untuk hari senin karena rasa rindu pada istri juga anaknya sudah menggebu.Satu hari satu malam rasanya seperti setahun dan Danendra ingin segera pulang.Tadinya dia berniat mengambil penerbangan malam ini juga, tapi larangan Adara yang khawatir membuat dia harus bersabar sampai besok."Suami siapa?"Adara tersenyum. "Suami akulah," jawabnya. "Suami siapa lagi emangnya?""Bagus," puji Danendra. "Babay El mana? Aku kangen.""Baru aja tidur," kata Adara. "Clarissa?""Lagi nonton tv," ucap Adara."Istri aku?"Adara tersipu lalu menunjuk dirinya sendiri. "Nih di depan kamu," ucapnya."Aku p
***"Ngantuk juga."Sekali lagi, Danendra menguap karena rasa kantuk yang masih menderanya. Pulang dari pesta resepsi pukul sepuluh malam, dia baru bisa tertidur pukul sebelas.Dan hari senin ini—pukul tiga pagi Danendra harus kembali terbangun karena pesawat yang dia tumpangi akan berangkat pukul setengah pagi waktu Singapura."Thank you," kata Danendra sesaat setelah dia turun dari taksi.Berjalan menyusuri bandara, Danendra bergegas menuju terminal keberangkatan dan tepat pukul setengah empat lebih lima menit, pesawatnya lepas landas.Danendra bersandar pada kursi. Memandangi langit yang masih gelap dia tersenyum—membayangkan senangnya Adara dengan kepulangannya pagi ini.Tak hanya membawa baju ganti, Danendra memenuhi kopernya dengan berbagai jenis oleh-oleh. Mulai dari makanan hingga tas branded yang kebetulan memiliki stok terbatas—hanya tersedia di Singapura, semuanya memenuhi koper hitam milik Danendra."Dara udah bangun belum ya? Biasanya baby El jam segini udah bangun," gum
***"Kalian menjijikan."Setelah mengucapkan dua kata tersebut, Danendra berbalik badan. Membawa rasa sakit hati juga amarah yang naik ke ubun-ubun, dia melangkahkan kaki pergi dari kamar.Adara tentu saja tak diam. Dia langsung beringsut dari kasur kemudian berjalan menuju lemari untuk memakai baju apa saja yang bisa dia gunakan guna menutupi tubuhnya.Mengabaikan Rafly yang tentunya mengukir senyuman puas, Adara berlari mengejar Danendra hingga tepat di ruang tamu, dia berhasil meraih tangan suaminya itu."Danendra, please percaya sama aku," kata Adara memohon, ketika dengan sangat erat, dia memegang pergelangan tangan Danendra. "Aku enggak ngapa-ngapain sama Rafly, Dan. Please percaya aku."Danendra terdiam. Tak mau menoleh, dia memilih untuk berbicara dengan posisi membelakangi Adara karena untuk memandang wajah istrinya saja, dia tak sanggup.Ada luka menganga lebar yang langsung terbentuk di hati Danendra saat dia mengingat lagi pemandangan tak senonoh beberapa menit lalu."Aku
***"Aish!"Danendra mendesis geram sambil memukul setir kemudi dengan kepalan tangannya ketika byangan Adara dan Rafly yang tidur seranjang kembali menari-nari di pelupuk mata.Pergi meninggalkan Adara di apartemen, Danendra mengemudi gila-gilaan. Dia yang biasa mengemudi dalam kecepatan standar kini berlaku sebaliknya.Mengambil jalan alternatif, dia melajukan porsche hitamnya dengan kecepatan tinggi. Membuka kaca mobil bahkan tak memakai seat belt, Danendra mengabaikan teriakan pengendara lain yang terganggu dengan kelakuannya.Hatinya hancur berantakan. Istri yang selama ini dia percaya tega mengkhianatinya dengan tidur bersama pria lain.Entah pihak mana yang harus dipercaya, Danendra tak tahu, tapi yang jelas pagi ini dia ingin menenangkan diri.Tak tahu akan pergi ke mana, yang Danendra lakukan hanya mengemudi dengan kecapatan sangat tinggi untuk melampiaskan amarahnya."Ra, kenapa harus kaya gini, Ra?"Danendra mendesah sambil menekan klakson berulang kali—membuat pengemudi di