***"Iya, Ris. Hati-hati di jalan ya. Aku tunggu.""Oke, Mbak Dara. Sepuluh atau dua puluh menit lagi ya.""Sip."Sambil tersenyum, Adara memutuskan sambungan telepon dari Clarissa setelah beberapa menit berlalu, perempuan itu menelepon untuk mengabari jika dirinya sudah sampai di Jakarta.Sempat merasa curiga dengan keputusan mendadak yang diambil Rafly, pada akhirnya—perlahan Adara mulai percaya.Tak pernah menunjukkan attitude jelek bahkan macam-macam, dia menerima tawaran berteman dari Rafly dan hari ini—tepat tiga minggu setelah perkenalan tempo hari, Adara sudah percaya pada Clarissa.Bahkan ketika Danendra terpaksa pergi ke luar negeri sabtu sore sekarang untuk menemui klien, Adara tak menolak ketika Danendra meminta Clarissa datang untuk menemaninya dua malam sampai sang suami pulang dari Singapura.Sebenarnya Adara sudah meyakinkan Danendra, jika tak ditemani pun dia tak masalah. Namun, tetap saja pria itu ingin Adara ditemani seseorang —selain Mbak Vivi ketika dirinya pergi.
***"Alkohol?"Rafly menaikkan sebelah alisnya ketika Felucya datang membawa sebotol wine. Malam minggu, dia dan Felicya memang menghabiskan waktu berdua di apartemen sebelum besok melancarkan rencana yang sudah lama tersusun.Rafly dan Felicya bilang, ini adalah perayaan kecil sebelum nanti perayaan besar mereka lakukan.Namun, tentunya Rafly tak menyangka perayaan mereka malam ini akan ditemani minuman berwarna merah keunguan itu."Cuman wine, enggak akan buat mabuk," kata Felicya sambil duduk lalu meletakkan botol wine yang dia bawa di atas meja.Tak hanya wine, Felicya juga membawa sekotak pizza juga satu kantong kresek camilan."Aku enggak nyangka kamu suka alkohol," kata Rafly."Kenapa?""Muka kamu polos," ucap Rafly lagi. "Emang ya, menilai seseorang itu harus luar dalam karena terkadang kemasan nipu."Felicya menaikkan sebelah alisnya. "Maksud kamu?""Ya lihat aja kamu," kata Rafly. "Kamu itu cantik, tipe wajah kamu juga kelihatan ramah sama protagonis banget, tapi ternyata ha
***"Kamu kok ganteng banget sih, Dan?"Duduk di depan meja sambil memandangi Danendra lewat layar laptop, Adara mengukir senyuman senangnya melihat sang suami yang malam ini sudah tampan dengan kemeja putih juga celana coklatnya.Sebelum pergi ke pesta, Danendra menelepon Adara untuk mengabari sang istri jika dirinya mungkin akan tiba besok subuh ke Jakarta.Danendra mengambil penerbangan paling pagi untuk hari senin karena rasa rindu pada istri juga anaknya sudah menggebu.Satu hari satu malam rasanya seperti setahun dan Danendra ingin segera pulang.Tadinya dia berniat mengambil penerbangan malam ini juga, tapi larangan Adara yang khawatir membuat dia harus bersabar sampai besok."Suami siapa?"Adara tersenyum. "Suami akulah," jawabnya. "Suami siapa lagi emangnya?""Bagus," puji Danendra. "Babay El mana? Aku kangen.""Baru aja tidur," kata Adara. "Clarissa?""Lagi nonton tv," ucap Adara."Istri aku?"Adara tersipu lalu menunjuk dirinya sendiri. "Nih di depan kamu," ucapnya."Aku p
***"Ngantuk juga."Sekali lagi, Danendra menguap karena rasa kantuk yang masih menderanya. Pulang dari pesta resepsi pukul sepuluh malam, dia baru bisa tertidur pukul sebelas.Dan hari senin ini—pukul tiga pagi Danendra harus kembali terbangun karena pesawat yang dia tumpangi akan berangkat pukul setengah pagi waktu Singapura."Thank you," kata Danendra sesaat setelah dia turun dari taksi.Berjalan menyusuri bandara, Danendra bergegas menuju terminal keberangkatan dan tepat pukul setengah empat lebih lima menit, pesawatnya lepas landas.Danendra bersandar pada kursi. Memandangi langit yang masih gelap dia tersenyum—membayangkan senangnya Adara dengan kepulangannya pagi ini.Tak hanya membawa baju ganti, Danendra memenuhi kopernya dengan berbagai jenis oleh-oleh. Mulai dari makanan hingga tas branded yang kebetulan memiliki stok terbatas—hanya tersedia di Singapura, semuanya memenuhi koper hitam milik Danendra."Dara udah bangun belum ya? Biasanya baby El jam segini udah bangun," gum
***"Kalian menjijikan."Setelah mengucapkan dua kata tersebut, Danendra berbalik badan. Membawa rasa sakit hati juga amarah yang naik ke ubun-ubun, dia melangkahkan kaki pergi dari kamar.Adara tentu saja tak diam. Dia langsung beringsut dari kasur kemudian berjalan menuju lemari untuk memakai baju apa saja yang bisa dia gunakan guna menutupi tubuhnya.Mengabaikan Rafly yang tentunya mengukir senyuman puas, Adara berlari mengejar Danendra hingga tepat di ruang tamu, dia berhasil meraih tangan suaminya itu."Danendra, please percaya sama aku," kata Adara memohon, ketika dengan sangat erat, dia memegang pergelangan tangan Danendra. "Aku enggak ngapa-ngapain sama Rafly, Dan. Please percaya aku."Danendra terdiam. Tak mau menoleh, dia memilih untuk berbicara dengan posisi membelakangi Adara karena untuk memandang wajah istrinya saja, dia tak sanggup.Ada luka menganga lebar yang langsung terbentuk di hati Danendra saat dia mengingat lagi pemandangan tak senonoh beberapa menit lalu."Aku
***"Aish!"Danendra mendesis geram sambil memukul setir kemudi dengan kepalan tangannya ketika byangan Adara dan Rafly yang tidur seranjang kembali menari-nari di pelupuk mata.Pergi meninggalkan Adara di apartemen, Danendra mengemudi gila-gilaan. Dia yang biasa mengemudi dalam kecepatan standar kini berlaku sebaliknya.Mengambil jalan alternatif, dia melajukan porsche hitamnya dengan kecepatan tinggi. Membuka kaca mobil bahkan tak memakai seat belt, Danendra mengabaikan teriakan pengendara lain yang terganggu dengan kelakuannya.Hatinya hancur berantakan. Istri yang selama ini dia percaya tega mengkhianatinya dengan tidur bersama pria lain.Entah pihak mana yang harus dipercaya, Danendra tak tahu, tapi yang jelas pagi ini dia ingin menenangkan diri.Tak tahu akan pergi ke mana, yang Danendra lakukan hanya mengemudi dengan kecapatan sangat tinggi untuk melampiaskan amarahnya."Ra, kenapa harus kaya gini, Ra?"Danendra mendesah sambil menekan klakson berulang kali—membuat pengemudi di
***"Pak maju dong, Pak! Saya buru-buru nih!"Sekali lagi, Adara meneriakki pengemudi di depannya agar mau melajukan mobil yang dia kendarai.Hari senin, pukul tujuh pagi—di kota Jakarta. Temru saja yang terjadi adalah kemacetan yang cukup panjang.Mendengar kabar Danendra tabrakan, Adara jelas bergegas. Menitipkan Elara pada Mbak Vivi dengan beberapa buah asip di freezer, Adara langsung mengemudikan mobilnya menuju Rumah sakit Sentosa—rumah sakit tempat Danendra sekarang ditangani.Terlalu panik, Adara melupakan jalur alternatif yang bisa dia tempuh menuju rumah sakit. Memakai jalan biasa, hampir setengah jam sudah dia terjebak macet dan semua itu membuat Adara frustasi.Dia takut sesuatu terjadi pada Danendra—bahkan otaknya sempat mencetuskan pikiran gila yang mungkin saja terjadi.Danendra bisa saja meninggal di tempat karena yang Adara dengar mobil suaminya terguling lalu meledak.Namun, sebelum pikiran liar itu merajalela, dengan segera Adadra membuangnya jauh-jauh.Sebisa mungki
***"Gimana?"Duduk bertopang kaki, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Rafly pada Felicya yang baru saja menjalankan tugasnya—mengirim foto-foto Adara dan Rafly pada Teresa.Felicya cukup tahu seberapa besar Danendra mencintai Adara. Meskipun, Rafly berkata Danendra terlihat marah setelah memergoki Adara tidur dengan dia, Felicya tetap mengantisipasi.Takut Danendra dengan mudah memaafkan Adara lalu mempercayai penjelasan perempuan itu, Felicya bertindak cepat dengan segera memberitahu Teresa agar perempuan itu bisa segera memecat Adara sebagai menantu."Udah," kata Felicya."Udah apa?"Felicya mendekat lalu menghempaskan tubuhnya di sofa di samping Rafly."Udah aku kirim foto-fotonya," kata Felicya."Ke Mamanya Danendra."Felicya menoleh lalu memandang Rafly sambil mendelik. "Menurut kamu?" tanyanya. "Ya iyalah, sama siapa lagi emangnya? Om Adam? Enggak mungkin. Dia terlalu baik. Susah buat dihasutnya.""Baguslah," kata Rafly. "Udah dibaca pesannya?""Enggak tau, sebentar," kata