***"Ma, ada apa?"Adara memegangi pipinya yang memerah karena tamparan keras yang diberikan Teresa. Penuh tanya, matanya kini menatap sang mertua dengan raut tak mengerti.Tak ada angin, tak ada hujan, Teresa menamparnya. Ada apa?"Ada apa?" tanya Teresa. "Kamu tanya, ada apa?""Ma.""Ikut Mama."Di detik berikutnya, Teresa tiba-tiba saja menarik tangan Adara dengan kasar untuk keluar dari IGD karena bertengkar di sana hanya akan mengganggu Danendra."Ma, sakit," rintih Adara ketika cengkraman tangan Teresa pada pergelangan tangan kirinya terasa menyakitkan.Di depan IGD, cengkraman itu terlepas bahkan Teresa sengaja menghempaskan tangan Adara dengan kasar."Sebenarnya ada apa, Ma?""Apa maksudnya ini?" tanya Teresa yang langsung menunjukkan beberapa foto Adara di ponselnya.Tak sendiri, di foto tersebut Adara bersama Rafly dan tentu saja yang membuat Teresa murka adalah; menantunya itu tidur dengan Rafly tanpa memakai pakaian yang pantas.Jangankan seperti itu, memakai pakaian biasa
***"Copet! Hey, berhenti kamu!"Sambil berlari, teriakan tersebut terus terlontar dari mulut Clarissa yang kini masih berusaha mengejar jambret.Tak membawa mobil, Clarissa memutuskan untuk memakai bus agar dia bisa pulang ke Majalengka. Namun, sial. Ketika dia baru saja berniat membeli tiket bus, kemalangan kembali menimpanya.Tanpa dia sadari, seorang pria mengikutinya sejak turun dari taksi lalu setelah itu, tas yang dibawa Clarissa—berisi uang dan yang lainnya direbut paksa.Dibantu orang-orang sekitar, Clarissa terus mengejar jambret tersebut. Namun, karena kepintarannya berlari, Clarissa hampir kewalahan."Copet!" teriak Clarissa lagi. "Berhenti kamu, cop-"Clarissa membulatkan matanya ketika sebuah motor trail tiba-tiba saja datang lalu sengaja menabrak copet yang baru saja mengambil tasnya itu hingga terjatuh.Di detik berikutnya, orang-orang yang mengejar berhasil mengamankan copet tersebut lalu tas yang sejak tadi Clarissa kejar kini kembali ke sang pemilik."Makasih, Mas .
***"Akhirnya tidur juga kamu, El."Adara menghela napas lega ketika putrinya kembali terlelap setelah beberapa jam rewel. Pulang jam delapan dari rumah sakit, Adara disambut Elara yang rewel digendongan Monica.Padahal, Sang Oma sudah memandikan balita mungil itu bahkan mendandaninya secantik mungkin. Namun, tentunya ikatan batin anak dan orang tua memang cukup kuat.Seolah tahu kedua orang tuanya sedang bermasalah juga sang papa yang kini terbaring di rumah sakit, Elara tak hentinya menangis sekalipun Adara sudah menyusuinya.Dan sekarang—setelah puas menangis, tepat pukul sebelas siang, Elara bisa terlelap dengan tenang."Tidur enggak, Ra?" tanya Monica—membuat Adara yang baru saja menidurkan Elara di box, menoleh. "Kalau enggak tidur coba kita bawa ke dokter anak, kali aja enggak enak badan.""Tidur," kata Adara pelan—nyaris tak bersuara. Tak mau mengganggu sang putri, dia menghampiri sang mama yang berdiri di dekat pintu. "Baru aja tidur barusan.""Syukurlah," kata Monica. "Sekar
***"Mama pulang dulu ya, kamu jaga makan. Jangan terlalu stress. Mama yakin, saat sadar nanti Danendra akan percaya sama kamu.""Iya, Ma. Makasih banyak udah mau percaya sama Dara.""Mama tau kamu, Ra. Mama yakin kamu enggak akan kaya gitu."Adara tersenyum lalu di detik berikutnya dia merentangkan tangan dan meraih tubuh Monica ke dalam pelukannya. Meskipun, punya Papa yang tempramental, setidaknya Adara bersyukur karena memiliki Mama sebaik Monica yang selalu mengerti dan memercayainya.Di saat semua orang menyalahkan Adara, Monica tetep memberika kepercayaan pada putrinya tanpa sedikit pun merasa ragu."Dara sayang Mama," ucap Adara pelan. "Makasih buat semuanya, Ma."Monica tersenyum sambil mengelus punggung Adara dengan lembut. "Sama-sama, Sayang. Jangan sedih terus ya, kasian nanti pengaruh ke asi kamu," ucapnya."Iya, Ma."Beberapa menit saling memeluk, Adara dan Monica melepaskan rengkuhan mereka lalu setelahnya Monica benar-benar berpamitan pada Adara setelah seharian memb
***"Dia mau Mamanya.""Kasihin lagi aja ke Mamanya, Ma. Kasihan."Teresa yang sejak tadi berusaha menenangkan Elara, mendelik ke arah dua pria yang saat ini tengah duduk bersandar pada sofa ruang tengah."Bisa diem enggak?" ketus Teresa sensitif. "Kalau enggak mau bantu, jangan banyak ngomong.""Yeeee, orang dibilangin juga. Lagian kenapa pake diambil dari Mamanya sih, Ma?""Ya karena Adara itu enggak pantas rawat El," kata Teresa tanpa menghentikan kegiatannya menenangkan Elara yang sejak tadi rewel—bahkan tak mau meminum susu yang dia buat.Padahal, Teresa membeli susu formula dengan kualitas terbaik.Dua pria itu saling melempar tatapan setelah mendengar jawaban sang mama. Mendapat telepon tentang Danendra yang mengalami kecelakaan, keduanya memang langsung bergegas datang ke Jakarta.Setelah melihat keadaan Danendra, mereka memutuskan untuk pulang dan menginap di rumah Teresa dan dua pria itu adalah; Aksa juga Danish. Kakak dan adik Danendra si anak tengah."Sekarang Adaranya di
"Kamu siapa?"Rafly mengerutkan keningnya sambil menatap pria bermanik abu yang kini berdiri sambil menghalangi Adara. Selama ini, dia memang tak terlalu tahu silsilah keluarga Danendra.Yang Rafly tahu, Danendra memiliki saudara kembar bernama Danishwara. Dia tak tahu jika pria yang dianggapnya merebut Adara itu punya kakak satu ayah bernama Aksara."Seharusnya saya yang tanya, kamu siapa?" tanya Rafly tanpa rasa takut. "Kenapa ada di apartemen Dara?""Lah, kamu ngapain ke apartemen Dara?" tanya Aksa tak mau kalah, sementara tangannya ke belakang seolah sedang melindungi Adara dari Rafly. "Tahu kan, Adara punya suami? Ngapain ke sini.""Ck."Rafly memandang Aksa meremehkan lalu di detik berikutnya dia dibuat terkejut karena pintu apartemen yang semula terbuka sebagian, kini sepenuhnya terbuka setelah Danish menarik daun pintu yang semula dipegang Aksa."Hai, Raf," sapa Danish. "Apa kabar? Waras?""Danish," kata Rafly."Masih kenal ternyata," kata Danish pada Rafly."Kalian berdua ng
***"Ayo turun."Mobil sedan hitam Aksa baru saja berhenti, Adara langsung membuka pintu mobil lalu lekas turun untuk segera menemui Danendra."Mau ke mana?" tanya Danish."Nemuin Danendra, Nish," kata Adara yang saat ini sudah berdiri di dekat mobil."Tahu kamar rawatnya di mana?" tanya Aksa.Raut wajah Adara berubah cengo lalu di detik berikutnya dia menggeleng. Tadi pagi saat Teresa mengusirnya, Danendra masih di IGD. Itu berarti—otomatis Adara belum tahu di mana suaminya dirawat, sekarang."Enggak," kata Adara singkat."Makanya sabar," ucap Aksa yang langsung membuka pintu mobil lalu menghampiri Adara bersama Danish.Setelahnya, mereka bergegas menuju lobil. Seperti dikawal bodyguard, Adara berjalan di tengah sementara Danish di samping kiri lalu Aksa di samping kanan.Dan tentu saja kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang di rumah sakit yang cukup mengagumi ketampanan Danish juga Aksa yang sama-sama memiliki manik abu—berbeda dengan Danendra yang mempunyai manik mata berw
***"Habis ini kamu pulang dulu aja."Adara yang sedang menyiapkan sarapan, seketika mendongak—menatap Danendra ketika suaminya itu mengucapkan kalimat tersebut."Kamu ngusir aku?"Setelah kedatangannya semalam, Adara memutuskan untuk bermalam di rumah sakit, menemani Danendra bersama Danish, sementara Aksa juga Adam pulang.Tentu, keberadaannya di rumah sakit dirahasiakan semua orang dari Teresa karena jika perempuan itu tahu, bukan tak mungkin Adara akan diusir.Teresa sebenarnya orang yang baik, hanya saja dia terlalu mudah terdistraksi—apalagi itu menyangkut Danendra. Bukan pilih kasih terhadap putra-putranya, Teresa lebih protektif jika itu menyangkut Danendra karena memang sejak kecil, Danendra adalah anak yang baik—dalam artian, jarang membuat masalah seperti yang sering dilakukan Danish.Itulah yang membuat Teresa selalu menginginkan yang terbaik dari yang paling baik untuk putranya itu termasuk pendamping."Bukan ngusir, Sayang," kata Danendra. "Aku nyuruh pulang karena mung