***"Akhirnya tidur juga kamu, El."Adara menghela napas lega ketika putrinya kembali terlelap setelah beberapa jam rewel. Pulang jam delapan dari rumah sakit, Adara disambut Elara yang rewel digendongan Monica.Padahal, Sang Oma sudah memandikan balita mungil itu bahkan mendandaninya secantik mungkin. Namun, tentunya ikatan batin anak dan orang tua memang cukup kuat.Seolah tahu kedua orang tuanya sedang bermasalah juga sang papa yang kini terbaring di rumah sakit, Elara tak hentinya menangis sekalipun Adara sudah menyusuinya.Dan sekarang—setelah puas menangis, tepat pukul sebelas siang, Elara bisa terlelap dengan tenang."Tidur enggak, Ra?" tanya Monica—membuat Adara yang baru saja menidurkan Elara di box, menoleh. "Kalau enggak tidur coba kita bawa ke dokter anak, kali aja enggak enak badan.""Tidur," kata Adara pelan—nyaris tak bersuara. Tak mau mengganggu sang putri, dia menghampiri sang mama yang berdiri di dekat pintu. "Baru aja tidur barusan.""Syukurlah," kata Monica. "Sekar
***"Mama pulang dulu ya, kamu jaga makan. Jangan terlalu stress. Mama yakin, saat sadar nanti Danendra akan percaya sama kamu.""Iya, Ma. Makasih banyak udah mau percaya sama Dara.""Mama tau kamu, Ra. Mama yakin kamu enggak akan kaya gitu."Adara tersenyum lalu di detik berikutnya dia merentangkan tangan dan meraih tubuh Monica ke dalam pelukannya. Meskipun, punya Papa yang tempramental, setidaknya Adara bersyukur karena memiliki Mama sebaik Monica yang selalu mengerti dan memercayainya.Di saat semua orang menyalahkan Adara, Monica tetep memberika kepercayaan pada putrinya tanpa sedikit pun merasa ragu."Dara sayang Mama," ucap Adara pelan. "Makasih buat semuanya, Ma."Monica tersenyum sambil mengelus punggung Adara dengan lembut. "Sama-sama, Sayang. Jangan sedih terus ya, kasian nanti pengaruh ke asi kamu," ucapnya."Iya, Ma."Beberapa menit saling memeluk, Adara dan Monica melepaskan rengkuhan mereka lalu setelahnya Monica benar-benar berpamitan pada Adara setelah seharian memb
***"Dia mau Mamanya.""Kasihin lagi aja ke Mamanya, Ma. Kasihan."Teresa yang sejak tadi berusaha menenangkan Elara, mendelik ke arah dua pria yang saat ini tengah duduk bersandar pada sofa ruang tengah."Bisa diem enggak?" ketus Teresa sensitif. "Kalau enggak mau bantu, jangan banyak ngomong.""Yeeee, orang dibilangin juga. Lagian kenapa pake diambil dari Mamanya sih, Ma?""Ya karena Adara itu enggak pantas rawat El," kata Teresa tanpa menghentikan kegiatannya menenangkan Elara yang sejak tadi rewel—bahkan tak mau meminum susu yang dia buat.Padahal, Teresa membeli susu formula dengan kualitas terbaik.Dua pria itu saling melempar tatapan setelah mendengar jawaban sang mama. Mendapat telepon tentang Danendra yang mengalami kecelakaan, keduanya memang langsung bergegas datang ke Jakarta.Setelah melihat keadaan Danendra, mereka memutuskan untuk pulang dan menginap di rumah Teresa dan dua pria itu adalah; Aksa juga Danish. Kakak dan adik Danendra si anak tengah."Sekarang Adaranya di
"Kamu siapa?"Rafly mengerutkan keningnya sambil menatap pria bermanik abu yang kini berdiri sambil menghalangi Adara. Selama ini, dia memang tak terlalu tahu silsilah keluarga Danendra.Yang Rafly tahu, Danendra memiliki saudara kembar bernama Danishwara. Dia tak tahu jika pria yang dianggapnya merebut Adara itu punya kakak satu ayah bernama Aksara."Seharusnya saya yang tanya, kamu siapa?" tanya Rafly tanpa rasa takut. "Kenapa ada di apartemen Dara?""Lah, kamu ngapain ke apartemen Dara?" tanya Aksa tak mau kalah, sementara tangannya ke belakang seolah sedang melindungi Adara dari Rafly. "Tahu kan, Adara punya suami? Ngapain ke sini.""Ck."Rafly memandang Aksa meremehkan lalu di detik berikutnya dia dibuat terkejut karena pintu apartemen yang semula terbuka sebagian, kini sepenuhnya terbuka setelah Danish menarik daun pintu yang semula dipegang Aksa."Hai, Raf," sapa Danish. "Apa kabar? Waras?""Danish," kata Rafly."Masih kenal ternyata," kata Danish pada Rafly."Kalian berdua ng
***"Ayo turun."Mobil sedan hitam Aksa baru saja berhenti, Adara langsung membuka pintu mobil lalu lekas turun untuk segera menemui Danendra."Mau ke mana?" tanya Danish."Nemuin Danendra, Nish," kata Adara yang saat ini sudah berdiri di dekat mobil."Tahu kamar rawatnya di mana?" tanya Aksa.Raut wajah Adara berubah cengo lalu di detik berikutnya dia menggeleng. Tadi pagi saat Teresa mengusirnya, Danendra masih di IGD. Itu berarti—otomatis Adara belum tahu di mana suaminya dirawat, sekarang."Enggak," kata Adara singkat."Makanya sabar," ucap Aksa yang langsung membuka pintu mobil lalu menghampiri Adara bersama Danish.Setelahnya, mereka bergegas menuju lobil. Seperti dikawal bodyguard, Adara berjalan di tengah sementara Danish di samping kiri lalu Aksa di samping kanan.Dan tentu saja kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang di rumah sakit yang cukup mengagumi ketampanan Danish juga Aksa yang sama-sama memiliki manik abu—berbeda dengan Danendra yang mempunyai manik mata berw
***"Habis ini kamu pulang dulu aja."Adara yang sedang menyiapkan sarapan, seketika mendongak—menatap Danendra ketika suaminya itu mengucapkan kalimat tersebut."Kamu ngusir aku?"Setelah kedatangannya semalam, Adara memutuskan untuk bermalam di rumah sakit, menemani Danendra bersama Danish, sementara Aksa juga Adam pulang.Tentu, keberadaannya di rumah sakit dirahasiakan semua orang dari Teresa karena jika perempuan itu tahu, bukan tak mungkin Adara akan diusir.Teresa sebenarnya orang yang baik, hanya saja dia terlalu mudah terdistraksi—apalagi itu menyangkut Danendra. Bukan pilih kasih terhadap putra-putranya, Teresa lebih protektif jika itu menyangkut Danendra karena memang sejak kecil, Danendra adalah anak yang baik—dalam artian, jarang membuat masalah seperti yang sering dilakukan Danish.Itulah yang membuat Teresa selalu menginginkan yang terbaik dari yang paling baik untuk putranya itu termasuk pendamping."Bukan ngusir, Sayang," kata Danendra. "Aku nyuruh pulang karena mung
"Kenapa ada perempuan itu di sini?"Perempuan yang semula berdiri di ambang pintu itu akhirnya melangkah masuk lalu berdiri di samping ranjang Danendra.Memandang sang putra juga Adara, perempuan tersebut jelas tak suka dengan kehadiran Adara di sisi Danendra."Ngapain kamu ke sini? Masih punya malu, kamu?""Ma."Adara terlihat cukup tegang—bahkan ketakutan melihat Teresa memasang raut wajah tak ramah."Dia ada di sini jelas mau nemenin suaminya." Danendra buka suara—membuat perhatian Teresa yang semula tertuju pada sang menantu kini beralih padanya."Suami?" tanya Teresa. "Setelah semua yang terjadi, apa masih pantas dia anggap kamu suami, Dan?""Jelas pantas, Ma," kata Danendra menegaskan. "Baik secara hukum maupun agama, Adara masih istri aku.""Sebentar lagi enggak," kata Teresa. "Mama mau kamu ceraikan Adara.""Kalau Danendra bilang enggak mau, gimana?" tanya Danendra."Dan.""Semuanya salah paham, Ma," kata Danendra. "Adara enggak ngelakuin apa-apa sama Rafly. Dia cuman dijebak.
***"Gimana keadaan anak saya, Dokter?"Mengalami sakit di kepala yang sangat luar biasa setelah mengusir Teresa, Danendra langsung mendapatkan penanganan dokter untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Dan sekarang, setelah menunggu hampir lima belas menit, Teresa yang sejak tadi menunggu di luar bersama Danish langsung menghampiri dokter Ferdy untuk menanyakan keadaan sang putra."Danendra jangan dibuat stress dulu ya, Bu," kata Dokter Ferdy. "Cedera dikepalanya bisa dibilang cukup parah dan untuk saat ini pikirannya harus benar-benar tenang. Jangan terbebani apapun kalau bisa karena akibatnya nanti bisa fatal.""Oh baik, Dokter.""Sekarang Danendra tidur karena saya tadi memberinya obat penghilang rasa sakit.""Terima kasih, dokter.""Iya, saya permisi kalau begitu.""Iya."Dokter Ferdy pergi, Teresa langsung melangkah menuju pintu. Namun, belum sempat dia membuka daun pintu ruangan kamar rawat Danendra, tangan Danish meraih tangannya."Mama jangan masuk."Teresa menoleh sambi