***"Gimana keadaan anak saya, Dokter?"Mengalami sakit di kepala yang sangat luar biasa setelah mengusir Teresa, Danendra langsung mendapatkan penanganan dokter untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Dan sekarang, setelah menunggu hampir lima belas menit, Teresa yang sejak tadi menunggu di luar bersama Danish langsung menghampiri dokter Ferdy untuk menanyakan keadaan sang putra."Danendra jangan dibuat stress dulu ya, Bu," kata Dokter Ferdy. "Cedera dikepalanya bisa dibilang cukup parah dan untuk saat ini pikirannya harus benar-benar tenang. Jangan terbebani apapun kalau bisa karena akibatnya nanti bisa fatal.""Oh baik, Dokter.""Sekarang Danendra tidur karena saya tadi memberinya obat penghilang rasa sakit.""Terima kasih, dokter.""Iya, saya permisi kalau begitu.""Iya."Dokter Ferdy pergi, Teresa langsung melangkah menuju pintu. Namun, belum sempat dia membuka daun pintu ruangan kamar rawat Danendra, tangan Danish meraih tangannya."Mama jangan masuk."Teresa menoleh sambi
***"Jangan macam-macam, bodoh!"Adara refleks mundur setelah seorang pria yang tak tahu kapan datangnya tiba-tiba saja memberikan sebuah tendangan dari samping untuk Rafly.Mengamankan diri, yang dilakukan Adara sekarang adalah berdiri di belakang pria bermanik abu yang tak lain adalah Kakak iparnya sendiri, Aksa."Sialan," desis Rafly yang saat ini masih terduduk. Sorot matanya menampakkan rasa kesal ketika dia menatap Aksa yang justru memasang raut tenang. "Beraninya kamu lakuin ini.""Berani?" Aksa tersenyum miring. "Kenapa enggak berani? Memangnya siapa kamu? Presiden?"Rafly menggretakkan rahang sambil beranjak. Maju, dia memberikan serangan dengan melayangkan sebuah pukulan. Namun, kepalan tangannya tak semudah itu menyentuh wajah Aksa karena sebelum semua itu terjadi, Aksa lebih dulu menghindar lalu membalas Rafly dengan menyerangnya lebih dulu."Ish!" Rafly kembali mendesis ketika sudut bibirnya berdarah karena pukulan Aksa."Lemah," celetuk Aksa. "Pantesan aja Dara lebih mi
***"Ah, sialan."Felicya yang sejak tadi sibuk dengan designnya seketika mendongak ketika seorang pria tiba-tiba saja masuk lalu duduk di sebuah sofa yang tersedia di ruangannya.Menghembuskan napas kasar, pria itu tanpa ragu membuka kaos yang dia pakai—membuat dada bidangnta yang shirtless terekspos."Heh kamu! Ngapain?!" tanya Felicya—setengah memekik, cukup kaget dengan apa yang dilakukan Rafly. "Kalau ada pegawai aku atau konsumen gimana?! Pake lagi bajunya buruan!""Gerah," kata Rafly."Raf.""Apa sih, Fel? Ribet banget!""Pake bajunya!" ujar Felicya. "Kalau enggak mau pake, mendingan pergi sana!"Rafly mendesah lalu di detik berikutnya dia kembali memakai kaos, sementara Felicya melanjutkan pekerjaannya—memberikan sentuhan terakhir pada gaun pengantin yang sedang dia rancang.Belakangan ini Felicya memang sedang disibukkan dengan pesanan beberapa gaun di butiknya dan hal itulah yang membuat dia sampai saat ini belum melancarkan aksinya mendekati Danendra.Felicya bahkan belum s
***"Sampai."Membawa Adara bersamanya, sedan hitam yang dikendarai Aksa sampai di kediaman megah keluarga Aelxander lalu berhenti persis di depan garasi yang dibangun terpisah dengan rumah.Mengajak Adara mampir ke sebuah restoran untuk sarapan, Aksa dan adik iparnya sampai pukul sepuluh siang.Di luar dugaan, sangkaan Aksa tentang Teresa yang mungkin masih di rumah sakit ternyata salah karena mobil yang dipakai perempuan itu tadi pagi ke rumah sakit sudah ada di depan garasi.Oke, tidak apa-apa. Aksa bisa menghadapi mama tirinya itu."Kenapa, Kak?" tanya Adara ketika Aksa hanya diam setelah beberapa menit lalu mobilnya berhenti."Enggak," kata Aksa. "Ayo turun.""Iya."Perasaan Adara sedikit lebih tenang karena sama seperti Aksa, dia mengira Teresa masih di rumah sakit juga Adam yang pasti tentunya berada di kantor.Setidaknya—untuk sementara waktu, Adara bisa langsung menemui putrinya. Namun, ternyata harapan itu pupus ketika Adara dan Aksa sampai di ruang tengah nan luas kediaman
***"Darimana?"Danendra menatap Danish yang baru saja kembali setelah pergi tanpa pamit ketika dia tengah tertidur."Lihat jam," kata Danish sambil menarik kursi untuk duduk di samping saudara kembarnya.Tak banyak bertanya, Danendra langsung melirik jam dinding yang ada di sana yang sudah menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit. Punya IQ tinggu dan sehingga bisa menangkap dengan cepat, Danendra cukup paham maksud dari ucapan Danish."Makan siang di mana?""Di kantin rumah sakit," kata Danish."Oh," ujar Danendra lagi.Danish melirik nampan makan siang Danendra di atas meja yang terlihat masih utuh. Makanan itu sebenarnya datang pukul sebelas siang tadi.Namun, karena nafsu makan Danendra memburuk setelah kejadian tadi pagi membuat dia memilih untuk membiarkan makanan tersebut utuh.Selain itu, Danendra juga kesulitan memegang sendok karena tangan kanannya yang patah."Belum dimakan juga makanannya?" tanya Danish."Belum," kata Danendra singkat. "Males.""Makan kok males?" t
"Halo, apa kabar kalian?"Baik Danendra maupun Danish sama-sama tak menjawab sapaan yang diucapkan perempuan di ambang pintu.Keduanya memasang wajah datar—membuat perempuan tersebut akhirnya menutup pintu lalu masuk tanpa meminta izin lebih dulu."Aku nyapa kok enggak dijawab?""Ngapain ke sini?" tanya Danendra pada akhirnya. "Mau cek rencana kamu berhasil apa enggak?""Rencana?" Perempuan tersebut mengerutkan kening—memasang wajah pura-pura tak mengerti. "Rencana apa maksud kamu, Dan?""Enggak usah pura-pura polos, kamu pikir kita bego?" tanya Danish pada Felicya.Ya, perempuan yang baru saja datang sambil membawa sebuket bunga juga keranjang buah tersebut adalah Felicya.Alih-alih langsung menghentikan niatnya untuk mendekati Danendra setelah mendapat ancaman dari Adam, Felicya justru mempercepat semuanya.Sebelum terlambat, dia bertekad untuk mendekati Danendra tanpa sadar jika rencana yang dia susun dengan Rafly nyatanya sudah terbongkar karena keteledoran yang tak dia ketahui."
***"Buka mulutnya."Selepas kepergian Felicya, Adara langsung menggantikan Danish duduk di samping Danendra untuk menyuapi suaminya itu makan siang.Aksa duduk di sofa, sementara Danish berpamitan untuk istirahat di rumah sebelum nanti sore menjemput istri juga anak-anaknya yang akan datang ke Jakarta."Enak enggak?" tanya Adara ketika Danendra mulai mengunyah nasi juga ayam bumbu kuning dan sayuran lain sebagai pelengkap."Enak," kata Danendra."Tadi perempuan itu ngapain aja di sini?"Danendra maupun Adara seketika menoleh pada Aksa ketika pria itu melontarkan pertanyaan tersebut."Enggak ngapa-ngapain," jawab Danendra. "Dia bahkan baru datang.""Oh." Aksa menjawab singkat. "Enggak tahu malu.""Dia enggak ngaku," kata Danendra. "Felicya bilang kalau dia sama sekali enggak tahu tentang Dara sama Rafly yang tidur sekasur.""Terus kamu percaya?" Bukan dari Aksa, pertanyaan tersebut berasal dari Adara."Percaya," kata Danendra."Dan." Adara menatap suaminya."Jangan aneh-aneh," celetuk
***"Akhirnya tidur juga kamu, Nak."Adara tersenyum sambil memandang Elara yang sudah terlelap dan menghentikan kegiatan menyusunya.Malam ini, Adara tak menjaga Danendra di rumah sakit karena harus menemani Elara. Sebenarnya dia ingin menginap lagi. Namun, karena Aksa juga Adam di sana, Adara mengalah.Lagipula Teresa tak akan fokus menjaga anaknya kalau Adara pergi karena malam ini cucunya yang lain datang dari Surabaya.Sesuai rencana, sore tadi sekitar pukul enam sore, Ayuma—istri Danish datang dari Surabaya membawa ketiga anaknya. Tujuan dia datang tentu saja ingin menjenguk Danendra.Sebagai adik ipar, hubungan Ayuma dan Danendra memang bisa dibilang cukup akrab. Apalagi menurut cerita Danish, dulu Danendra sempat berniat mengincar Ayuma sebelum Danish menyatakan cinta pada istrinya itu."Tidur yang nyenyak ya, Sayang," kata Adara sambil membaringkan Elara di box bayi yang terletak persis di samping kasur.Sama seperti di apartemen, di rumah ini pun Adara juga Danendra memutusk