***"Sampai."Membawa Adara bersamanya, sedan hitam yang dikendarai Aksa sampai di kediaman megah keluarga Aelxander lalu berhenti persis di depan garasi yang dibangun terpisah dengan rumah.Mengajak Adara mampir ke sebuah restoran untuk sarapan, Aksa dan adik iparnya sampai pukul sepuluh siang.Di luar dugaan, sangkaan Aksa tentang Teresa yang mungkin masih di rumah sakit ternyata salah karena mobil yang dipakai perempuan itu tadi pagi ke rumah sakit sudah ada di depan garasi.Oke, tidak apa-apa. Aksa bisa menghadapi mama tirinya itu."Kenapa, Kak?" tanya Adara ketika Aksa hanya diam setelah beberapa menit lalu mobilnya berhenti."Enggak," kata Aksa. "Ayo turun.""Iya."Perasaan Adara sedikit lebih tenang karena sama seperti Aksa, dia mengira Teresa masih di rumah sakit juga Adam yang pasti tentunya berada di kantor.Setidaknya—untuk sementara waktu, Adara bisa langsung menemui putrinya. Namun, ternyata harapan itu pupus ketika Adara dan Aksa sampai di ruang tengah nan luas kediaman
***"Darimana?"Danendra menatap Danish yang baru saja kembali setelah pergi tanpa pamit ketika dia tengah tertidur."Lihat jam," kata Danish sambil menarik kursi untuk duduk di samping saudara kembarnya.Tak banyak bertanya, Danendra langsung melirik jam dinding yang ada di sana yang sudah menunjukkan pukul dua belas lebih sepuluh menit. Punya IQ tinggu dan sehingga bisa menangkap dengan cepat, Danendra cukup paham maksud dari ucapan Danish."Makan siang di mana?""Di kantin rumah sakit," kata Danish."Oh," ujar Danendra lagi.Danish melirik nampan makan siang Danendra di atas meja yang terlihat masih utuh. Makanan itu sebenarnya datang pukul sebelas siang tadi.Namun, karena nafsu makan Danendra memburuk setelah kejadian tadi pagi membuat dia memilih untuk membiarkan makanan tersebut utuh.Selain itu, Danendra juga kesulitan memegang sendok karena tangan kanannya yang patah."Belum dimakan juga makanannya?" tanya Danish."Belum," kata Danendra singkat. "Males.""Makan kok males?" t
"Halo, apa kabar kalian?"Baik Danendra maupun Danish sama-sama tak menjawab sapaan yang diucapkan perempuan di ambang pintu.Keduanya memasang wajah datar—membuat perempuan tersebut akhirnya menutup pintu lalu masuk tanpa meminta izin lebih dulu."Aku nyapa kok enggak dijawab?""Ngapain ke sini?" tanya Danendra pada akhirnya. "Mau cek rencana kamu berhasil apa enggak?""Rencana?" Perempuan tersebut mengerutkan kening—memasang wajah pura-pura tak mengerti. "Rencana apa maksud kamu, Dan?""Enggak usah pura-pura polos, kamu pikir kita bego?" tanya Danish pada Felicya.Ya, perempuan yang baru saja datang sambil membawa sebuket bunga juga keranjang buah tersebut adalah Felicya.Alih-alih langsung menghentikan niatnya untuk mendekati Danendra setelah mendapat ancaman dari Adam, Felicya justru mempercepat semuanya.Sebelum terlambat, dia bertekad untuk mendekati Danendra tanpa sadar jika rencana yang dia susun dengan Rafly nyatanya sudah terbongkar karena keteledoran yang tak dia ketahui."
***"Buka mulutnya."Selepas kepergian Felicya, Adara langsung menggantikan Danish duduk di samping Danendra untuk menyuapi suaminya itu makan siang.Aksa duduk di sofa, sementara Danish berpamitan untuk istirahat di rumah sebelum nanti sore menjemput istri juga anak-anaknya yang akan datang ke Jakarta."Enak enggak?" tanya Adara ketika Danendra mulai mengunyah nasi juga ayam bumbu kuning dan sayuran lain sebagai pelengkap."Enak," kata Danendra."Tadi perempuan itu ngapain aja di sini?"Danendra maupun Adara seketika menoleh pada Aksa ketika pria itu melontarkan pertanyaan tersebut."Enggak ngapa-ngapain," jawab Danendra. "Dia bahkan baru datang.""Oh." Aksa menjawab singkat. "Enggak tahu malu.""Dia enggak ngaku," kata Danendra. "Felicya bilang kalau dia sama sekali enggak tahu tentang Dara sama Rafly yang tidur sekasur.""Terus kamu percaya?" Bukan dari Aksa, pertanyaan tersebut berasal dari Adara."Percaya," kata Danendra."Dan." Adara menatap suaminya."Jangan aneh-aneh," celetuk
***"Akhirnya tidur juga kamu, Nak."Adara tersenyum sambil memandang Elara yang sudah terlelap dan menghentikan kegiatan menyusunya.Malam ini, Adara tak menjaga Danendra di rumah sakit karena harus menemani Elara. Sebenarnya dia ingin menginap lagi. Namun, karena Aksa juga Adam di sana, Adara mengalah.Lagipula Teresa tak akan fokus menjaga anaknya kalau Adara pergi karena malam ini cucunya yang lain datang dari Surabaya.Sesuai rencana, sore tadi sekitar pukul enam sore, Ayuma—istri Danish datang dari Surabaya membawa ketiga anaknya. Tujuan dia datang tentu saja ingin menjenguk Danendra.Sebagai adik ipar, hubungan Ayuma dan Danendra memang bisa dibilang cukup akrab. Apalagi menurut cerita Danish, dulu Danendra sempat berniat mengincar Ayuma sebelum Danish menyatakan cinta pada istrinya itu."Tidur yang nyenyak ya, Sayang," kata Adara sambil membaringkan Elara di box bayi yang terletak persis di samping kasur.Sama seperti di apartemen, di rumah ini pun Adara juga Danendra memutusk
***"Pergi dulu, Pa.""Mau ke mana?"Bukan dari Adam, pertanyaan tersebut dilontarkan Danendra pada Aksa yang baru saja beranjak dari sofa."Mau keluar.""Ke mana?" tanya Danendra penuh selidik."Nyari angin," kata Aksa."Seriusan?""Emang muka Kakak kelihatan bercanda?" tanya Aksa."Enggak sih.""Kenapa sih, Dan?" tanya Adam pada Danendra. "Kakaknya mau keluar kok kaya enggak boleh. Kenapa?""Enggak," kata Danendra. "Siapa juga yang bilang enggak boleh.""Ya udah," kata Aksa. Dia kemudian melirik Adam lagi. "Pergi, Pa.""Iya."Setelahnya, Aksa benar-benar pergi meninggalkan kamar rawat Danendra. Tak sekadar mencari angin, tujuannya malam ini adalah keluar bersama Danish untuk menemui seseorang."Di mana?" tanya Aksa pada sang adik ketika dia mengemudi sambil menelepon."Masih di rumah," jawab Danish. "Sini jemput.""Oke."Tak banyak basa-basi, Aksa segera melajukan sedan hitamnya menuju rumah untuk menjemput Danish. Jalanan lancar, dia sampai persis di depan rumah pukul delapan malam
***"Siapa?"Felicya yang baru saja keluar dari kamar setelah mengganti baju, langsung melontarkan pertanyaan ketika Rafly berjalan menuju ruang tamu sambil membawa pizza di tangannya."Kurir anterin pizza," kata Rafly sambil mendudukkan dirinya di sofa.Felicya mengerutkan kening lalu berjalan mendekat dan duduk di depan Rafly. "Pesen pizza?" tanyanya."Enggak.""Lah terus?"Rafly tersenyum. "Dari Adara," ucapnya."Hah?""Dari Adara," kata Rafly—mengulang lagi ucapannya."Kok bisa?""Apanya?" tanya Rafly lagi."Itu kok bisa Dara kirim pizza ke kamu?" tanya Felicya penasaran. "Bukannya kamu bilang dia marah?""Enggak tahu," kata Rafly. "Tadi dia tiba-tiba kirim chat terus minta maaf.""Terus?" tanya Felicya sambil mengernyit."Terus dia bilang mau kirim pizza, dan sekarang pizzanya udah datang."Felicya terdiam lalu bersandar pada sofa ketika otaknya menangkap sebuah kejanggalan dari cerita Rafly.Pagi tadi, Rafly bilang Adara marah besar lalu siamg pun ketika Felicya datang, Adara ma
***"Udah belum sih, Kak?"Aksa yang sejak tadi duduk santai dengan kedua kaki di atas dashboard juga sepotong pizza di tangan lantas menoleh ketika pertanyaan tersebut diucapkan Danish.Tak langsung pulang, saat ini—terhitung satu jam sudah Aksa juga Danish menunggu di mobil setelah pemberian pizza pada Rafly yang dilakukan Aksa."Apanya?""Itu Rafly sama Felicya," kata Danish. "Terus emang Kakak yakin habis ini mereka akan berhenti."Aksa menurunkan kedua kakinya lalu memandang Danish. Sebelum menjawab, dia menyimpan ponsel yang sejak tadi dipakai berkirim pesan dengan sang istri di atas dashboard."Ya kalau seandainya mereka berbuat sesuatu malam ini terus Felicya hamil, ya pasti berhenti," kata Aksa. "Logikanya, Felicya nanti hamil anak Rafly. Jadi buat apa mereka ngejar-ngejar Danendra ataupun Dara lagi?""Kalau enggak hamil berarti rencana kita menghentikan mereka gagal?" tanya Danish."Harus hamil," kata Aksa. "Biasanya kalau pertama kali tuh suka tokcer. Ananta gitu soalnya. M