***"Seka dulu ya, Pak.""Iya, Suster."Danendra yang sejak tadi terus memandang pintu—menunggu kedatangan Adara, langsung mengalihkan pandangannya pada perawat yang baru saja selesai mengganti infus.Kegiatan rutin, pagi ini saatnya Danendra diseka. Belum bisa bergerak banyak, Danendra memang selalu diseka dua kali sehari untuk menghilangkan keringat karena sampai kondisinya benar-benar pulih, dia tidak dianjurkan turun dari kasur.Buang air kecil pun, Danendra masih menggunakan kateter."Ada keluhan enggak, Pak?" tanya sang perawat ketika dengan sangat hati-hati dia membuka satu persatu kancing baju yang dipakai Danendra."Enggak sih, Sus. Cuman kadang masih suka pusing tiba-tiba aja," kata Danendra."Oh kalau itu nanti disampaikan ke dokter Ferdi ya, Pak.""Iya suster."Selesai membuka kancing, perawat tersebut melirik Aksa yang masih terlelap di sofanya. Kembali ke rumah sakit pukul dua belas malam, Aksa memang belum bangun sejak pagi tadi.Sebenarnya ketika Adam pulang, pria ber
***"Mau langsung ke rumah sakit apa gimana?""Kayanya langsung aja, Mas.""Oh oke."Menempuh perjalanan selama hampir tiga jam, Clarissa sampai di Jakarta pukul sembilan pagi setelah Ronald menjemputnya pukul enam pagi tadi.Hampir seminggu semenjak pertemua pertama mereka, Clarissa dan Ronald memang bisa dibilang mulai dekat. Bahkan, dari Ronald pula Clarissa tahu tentang Danendra yang mengalami kecelakaan.Karena memang mobil Danendra yang rusak langsung masuk bengkel tempat Ronald bekerja."Kamu lapar enggak sih, Mas?" tanya Clarissa tiba-tiba, pada Ronald."Kenapa emangnya?""Ya kalau lapar, kita bisa berhenti dulu buat sarapan," kata Clarissa. "Kamu berangakat ke Majalengka tadi jam tiga pagi, kan? Udah sempat sarapan emangnya?""Belum sih.""Kan."Jatuh cinta pada pandangan pertama, begitulah sekiranya yang terjadi pada Ronald setelah bertemu Clarissa. Berusaha mendekati perempuan itu, Ronald bahkan rela menyewa mobil untuk menjemput Clarissa yang ingin menjenguk Danendra hari
***"Buka mulutnya kok dikit banget sih, Dan? Yang gede dong, biar sandwichnya masuk."Pemeriksaan kateter selesai, saatnya Danendra sarapan dan sebagai istri yang baik, Adara bersiap untuk menyuapi sanwich untuk sang suami."Ini juga udah gede," kata Danendra dengan raut wajah yang masam."Enggak masuk sandwichnya," keluh Adara. "Ayo yang gede lagi buka mulutnya.""Dipotong aja.""Mager.""Ya udah enggak usah," ketus Danendra. "Simpan aja lagi sandwichnya.""Kok disimpen sih, Dan? Kan mau sarapan.""Tiba-tiba enggak nafsu," kata Danendra."Dan." Adara menghela napas sambil memandang suaminya yang masih memasang raut wajah tak bersahabat.Penyebabnya tentu saja Aji—sang perawat yang baru saja bertugas memeriksa kateternya. Yang membuat Danendra sebal, setelah melakukan tugas, Aji tak langsung pergi dari kamar rawatnya.Yang dilakukan pria itu justru mengajak Adara mengobrol bahkan keduanya saling bertukar nomor ponsel. Cemburu? Jelas. Meskipun baik, gen Adam si pencemburu mengalir di
***"Jadi Mbak maafin aku, kan?"Pelukannya dengan Adara terlepas, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Clarissa pada perempuan di depannya itu."Seharusnya aku yang minta maaf karena udah salah paham sama kamu," kata Adara. "Mana waktu itu aku nampar kamu.""Enggak apa-apa, Mbak. Waktu itu Mbak kan lagi kalut," kata Clarissa maklum. "Sekarang aku juga udah enggak ada hubungan apa-apa lagi kok sama Mas Rafly.""Baguslah." Meskipun tak kenal pada Clarissa, Aksa berceletuk. "Kamu cantik, jadi cari aja laki-laki lain yang lebih baik dari Rafly. Di luaran sana banyak kok laki-laki yang lebih ganteng dari dia.""Kak Aksa nih ya," kata Adara."Kakak ngomong kenyataan," kata Aksa.Setidaknya Aksa bisa bernapas lega karena dia yang hampir diintrogasi Adara akhirnya lolos berkat kedatangan Clarissa dan Ronald.Bukan takut atau apa, Aksa hanya takut Adara ataupun Danendra tak suka dengan apa yang dia dan Danish lakukan pada Rafly dan Felicya karena sejauh ini Aksa pantau, baik adik maupun adi
***"Seriusan mau pulang?"Merasa tak ikhlas, Danendra memandang wajah istrinya itu dengan tatapan nelangsa setelah beberapa menit lalu Adara mengatakan akan pulang."Iya seriusan, kenapa?" tanya Adara sambil merapikan meja nakas yang sedikit berantakan."Aku sama siapa kalau kamu pulang?" tanya Danendra. "Kalau aku butuh apa-apa gimana?""Ada Danish, Sayang," kata Adara. "Barusan dia bilang lagi di jalan sama Ayuma. Lagian aku enggak enak juga sama Mama. Seharian El kan sama Mama.""Ada asip kan di kulkas?""Ada sih, cuman kan kasian Mama harus jagain El," kata Adara.Danendra menghela napas sambil memandang istrinya itu. "Oke, sekarang kamu boleh pulang," ucapnya. "Tapi nanti sore ke sini lagi ya? Aku pengen tidur sama kamu malam ini.""El?""Siapin lagi aja asipnya," kata Danendra. "Malam ini aja. Ya? Kangen akutuh beberapa malam enggak sama kamu.""Tapi Mama.""Nanti aku telepon Mama buat titipin El.""Kalau enggak boleh?""Harus boleh," kata Danendra."Ck, kamu tuh," ujar Adara.
"Kamu kenapa sih?"Tak langsung memberi jawaban, yang dilakukan Felicya justru mengepalkan tangannya ketika kilasan kejadian semalam bersama Rafly lagi-lagi memenuhi pikirannya—membuat dia untuk sekali lagi, kembali memberikan tamparan pada Adara."Fel!" Kali ini suara Adara meninggi. Ditampar dua kali tanpa tahu alasan dibalik penamparan Felicya padanya tentu saja membuat dia emosi. "Kenapa sih kamu, hah?!""Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa?!""Aku kenapa?" tanya Adara. "Emang apa yang aku lakuin?""Apa yang kamu lakuin?" desis Felicya geram. "Yang kamu lakuin itu hancurin hidup aku, Dara. Gara-gara pizza yang kamu kirim buat Rafly semalam, aku kehilangan keperawanan aku.""Pizza?" tanya Adara sambil mengernyit. "Pizza apa? Kapan aku kirim pizza ke Rafly?""Enggak usah pura-pura polos dan suci," ketus Felicya. "Kamu itu licik dan jahat. Setelah rebut Danendra, bisa-bisanya kamu lakuin hal yang lebih jahat ke aku. Salah aku sama kamu apa sih, Ra?""Fel, maksud kamu apa sih?" tanya
***"Danish."Sebuah nama digumamkan Adara di sela-sela kegiatan mengemudinya. Pergi dari apartemen, Adara bergegas melajukan sedan hitam yang dia kendarai menuju rumah.Namun, sepanjang perjalanan pikirannya ke mana-mana. Kedua tangan fokus mengemudi, otak Adara sibuk memikirkan perkataan Rafly di apartemen tadi.Mantan kekasihnya itu mendapat kiriman pizza setelah sebelumnya mendapat chat dari nomor Adara. Karena sang pemilik nomor sama sekali tak merasa mengirimkan pesan pada Rafly, itu berarti pelakukan sudah jelas Danish.Ya, siapa lagi? Semalam, selain Danish tak ada lagi yang meminjam atau memainkan ponselnya. Dan jika benar Danish pelakunya, Adara juga yakin adik iparnya itu tak bekerja sendirian.'Tanya aja sama Kak Aksa, dia dalangnya'Sekarang, ucapan Danish tadi pagi pun kembali melintas di pikiran Adara—membuatnya bisa dengan mudah menyimpulkan semuanya."Kak Aksa sama Danish pelakunya," gumam Adara kemudian—ketika mobilnya memasuki pintu gerbang komplek perumahan yang di
***"Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungin aku."Selesai mengemasi semua pakaiannya, Rafly menghampiri Felicya yang sejak tadi duduk di sofa ruang tamu. Pikirannya kacau, Felicya memang tak pergi ke butik hari ini."Males," celetuk Felicya. "Buat apa juga aku hubungin kamu.""Jangan lupa, semalam aku baru nanam benih di rahim kamu," kata Rafly. "Kalau kamu hamil, bilang sama aku. Biar aku tanggung jawab atau paling enggak, kamu bisa serahin anak itu ke aku nanti. Jangan pernah punya niat gugurin kandungan kalau kamu beneran hamil.""Aku enggak se-pshyco itu," kata Felicya."Iya, tapi kamu nekad," kata Rafly."Ck.""Kerja sama buat misahin Dara sama Danendra, aku pikir semuanya selesai sampain di sini," ucap Rafly. "Aku enggak mau ngikutin ide gila kamu lagi buat pisahin mereka berdua karena memang Dara sama Danendra itu jodoh.""Pengecut banget kamu," celetuk Felicya. "Baru gini aja udah nyerah.""Aku bukan pengecut, aku cuman berpikir realistis," kata Rafly. "Kita enggak sebanding ka