***"Enggak usah panik, mukanya biasa aja."Mendengar ucapan Felicya, Rafly hanya bisa mendengkus pelan sementara kedua tangannya yang bermuara pada kemudi terlihat sedikit mengalami tremor.Tegang. Sekiranya itulah yang dirasakan Rafly ketika kini dia sedang di perjalanan menuju rumah sakit untuk membawa Felicya yang sepertinya akan segera melahirkan usai mengalami pecah ketuban beberapa menit lalu.Hpl masih dua minggu lagi, Felicya sepertinya akan melahirkan bayinya lebih awal dan beruntung ketika waktunya tiba, Rafly sedang berada di rumah."Aku enggak panik, cuman deg-degan aja," kata Rafly tanpa mengalihkan fokusnya dari jalan.Berbeda dengan Rafly yang terlihat panik, Felicya justru sebaliknya. Perempuan itu masih cukup tenang karena rasa sakit di perutnya pun belum terlalu sering dia rasakan.Rasanya masih seperti digigit semut, itu pun datangnya belum terlalu sering."Enggak panik, tapi tangannya gemetaran," ucap Felicya. "Aku cuman mau lahiran, Raf. Bukan mau mati. Enggak us
***"Aku bukan sakit parah kan, Dan? Kok harus ambil darah segala?"Duduk di brankar rumah sakit, Adara memandang Danendra yang duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas.Pingsan di kamar mandi hotel, Danendra sigap membawa Adara menuju rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan dan yang diminta oleh dokter adalah pengambilan darah.Tentunya langkah tersebut diambil setelah dokter mendengar keluhan yang dipaparkan Adara selama beberapa hari ke belakang termasuk hari ini."Enggak, Ra. Kamu enggak sakit kok," kata Danendra menangkan."Terus kenapa harus ambil darah segala?""Buat pastiin keadaan kamu aja, Sayang," ucap Danendra. Mengusap punggung tangan sang istri, Danendra memberikan kecupan di sana.Saat ini keduanya tak berada di ruang rawat karena memang dokter harus mengetahui lebih dulu keadaan Adara.Jika mungkin tak parah, Adara pasti diizinkan pulang setelah hasil tes darah keluar. Namun, jika sebaliknya, mungkin Adara harus menjalani perawatan di rumah sakit."Elara sama siapa
***"Kamu manggil aku, Rafly?"Adara mengurai pelukannya dari Danendra lalu memandang suaminya itu dan menggelengkan kepala agar tak terjadi kesalahpahaman."Enggak, Dan. Aku bukan manggil kamu.""Terus?"Adara sedikit memiringkan badannya lalu mengarahkan jari telunjuk ke arah Rafly yang semakin mendekat."Rafly," kata Adara. "Ada Rafly."Danendra menoleh dan ternyata benar. Rafly berjalan ke arahnya sambil memasang wajah panik. Saking panik, Rafly bahkan tak menyadari keberadaan Adara maupun Danendra karena ketika lewat, pria itu berlalu begitu saja.Ditambah, suasana koridor memang sedikit ramai."Rafly!"Adara yang penasaran, akhirnya memutuskan untuk memanggil Rafly—membuat pria itu berhenti melangkah lalu menoleh."Adara."Sebelum menghampiri Rafly, Adara tentu saja menuntun Danendra untuk ikut serta karena bagaimanapun juga dia harus menghargai posisi sang suami."Raf," panggil Adara lagi ketika sekarang dia sudah berdiri di depan Rafly. "Kamu kok ada di sini?""Iya, Ra. Felicy
***"Sudah ya, Pak. Terima kasih.""Iya, Suster."Pengambilan darah selesai, Danendra kembali menurunkan lengan kemejanya yang beberapa menit lalu dilipat.Beranjak, dia mengedarkan pandangan sebelum akhirnya keluar dari ruangan khusus tempat pengambilan darah untuk menemui Adara yang sejak tadi menunggu di luar seorang diri.Tak mau didiamkan Adara atau mungkin timbul masalah lainnya dengan sang istri, Danendra akhirnya mengalah dengan bersedia mendonorkan darahnya untuk Felicya karena kebetulan perempuan itu belum mendapatkan donor.Sempat tersinggung karena ucapan Danendra, Rafly awalnya menolak ketika Danendra mengutarakan niatnya. Namun, kondisi Felicya yang semakin mengkhawatirkan membuatnya mau tak mau menerima semua itu."Dan, gimana? Udah?" tanya Adara yang langsung beranjak usai melihat Danendra keluar."Udah," kata Danendra. "Sekarang kita pulang, kamu harus istirahat.""Enggak dulu," kata Adara."Kok enggak dulu sih, Ra?" tanya Danendra."Aku pengen pastiin dulu kondisi Fe
***"Udah selesai belum, Mbak?"Beberapa menit lalu pergi ke kamar untuk mengganti baju, Danendra kembali ke dapur menghampiri salah satu pelayan rumah yang dia tugaskan membuat sesuatu.Bukan memasak makanan enak atau semacamnya, perintah Danendra pada pelayan tersebut adalah; membuat bumbu petis untuk mangga yang dia bawa bersama Adara.Tak jadi mencuri, Danendra dan Adara mendapatkan mangga tersebut dengan cara baik-baik karena ketika mereka beberapa menit berhenti di dekat pohon mangga, sang pemilik keluar.Tahu siapa Danendra, pemilik rumah tersebut jelas mengizinkan laki-laki itu untuk memetik mangga muda berapa pun yang dia inginkan.Tak sedikit, Danendra yang memanjat sendiri pohon mangga tersebut, memetik sepuluh buah untuk dibawa pulang.Danendra bilang selain sore ini, dia mungkin akan menginginkan mangga tersebut di lain waktu."Sedikit lagi, Den," kata Mbak Susi."Waw." Danendra tersenyum melihat coklat dan pekatnya bumbu petis yang masih diulek. "Enak kayanya ya.""I-ya
***"Raf."Rafly yang hampir saja terlelap seketika terkesiap setelah mendengar suara parau Felicya memanggil namanya.Sejak dipindahkan ke ruang rawat juga Adara yang pulang bersama Danendra, Rafly tak sedetik pun beranjak dari kursi di samping ranjang Felicya.Pria itu setia di sana sambil memegangi tangan Felicya hingga kini, akhirnya perempuan itu bangun."Fel, kamu bangun?" tanya Rafly antusias."Aku," ucap Felicya. Dia mengedarkan pandangannya—mengenali tempat dia berada sekarang sambil mengingat-ingat lagi apa saja yang terjadi padanya."Perut aku," ucap Felicya sambil mengusap perutnya menggunakan tangan kiri lalu memandang Rafly. "Raf, anak kita mana? Baik-baik aja, kan? Anak aku enggak kenapa-kenapa, kan?""Enggak," ucap Rafly. "Anak kita baik-baik aja kok, Fel. Dia sehat.""Mana?" Rafly melirik box bayi di samping kirinya—membuat Felicya ikut menoleh ke arah yang sama."Lagi tidur," kata Rafly."Ya ampun." Felicya tersenyum lalu dengan sangat hati-hati dia mengubah posisin
***"Dan, Danendra ... kamu di mana, Dan ... lho?"Adara yang baru saja membuka matanya seketika menyipit ketika dia tak mendapati Danendra tidur di depannya."Danendra mana?"Adara yang semula tidur dengan posisi miring, lantas beringsut lalu duduk sambil mengedarkan pandangan—mencari keberadaan sosok suaminya yang entah ke mana."Danendra."Masih kondisi setengah sadar, Adara turun dari kasur. Sebelum melanjutkan untuk mencari Danendra, dia berjalan menuju box bayi untuk melihat Elara yang masih terlelap.Melongok ke kamar mandi, Adara tak menemukan Danendra di sana."Danendra ke mana sih?" tanya Adara ketika dia melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari.Terdiam, perhatian Adara beralih ketika dari bawah sana terdengar suara gerbang dibuka."Danenendra mau ke mana?"Adara bergegas. Membuka pintu kamar, dia melangkah dengan sedikit cepat menuruni tangga hingga akhirnya sampai di ruang tamu.Membuka pintu, Adara akhirnya menemukan Danendra yang baru saja masuk
***"Dan, masih mual?!"Adara yang saat ini berdiri di ujung kasur sambil menggendong Elara, kembali melontarkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang saat ini masih berada di kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.Morning sickness. Selain ngidam yang dialami Danendra pada kehamilan kedua Adara, mual dan muntah yang biasanya terjadi pada perempuan hamil pun ikut dirasakan putra kedua Alexander tersebut.Usai menghabiskan sarapannya seperti biasa, Danendra tiba-tiba saja merasa mual dan di kamar mandilah dia berada sekarang.Adara ingin membantu. Namun, Elara yang pagi ini rewel membuatnya tak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan apa yang sedang dialami Danendra."Masih, Ra!" sahut Danendra lalu di detik berikutnya yang terdengar Adalah suara Danendra sedang muntah—membuat Adara rasanya ikut mual karena suara suaminya itu tak pelan.Selain karena Danendra adalah laki-laki yang memiliki suara besar, faktor kamar mandi pun menjadi sebab kenapa suara muntah Danendra terdeng