***"Ra, udah selesai?"Adara yang masih merapikan bajunya menoleh pada Danendra yang kini menyembulkan kepala di pintu kamar.Setelah kejadian tak mengenakkan di warung bakso, Adara dan Danendra memutuskan untuk pulang ke apartemen karena kebetulan jarak apartemen Danendra dari warung tempat mereka makan tadi tak terlalu jauh.Tak hanya mengganti atasannya yang basah, Adara mengganti semua pakaiannya. Tak lagi memakai celana katun, Adara kini memutuskan untuk memakai rok yang dipadupadankan dengan kemeja putih juga cardigan senada.Rambutnya yang masih sedikit basah pun digerai. "Udah, sebentar ya, sisir rambut dulu.""Oke."Kembali berdiri seperti semula, Danendra memutuskan untuk menunggu di ruang tamu dan tak berselang lama Felicya datang dari dapur."Dan, aku buat makanan," kata Felicya. Menyimpan kotak makan di pangkuannya, dia memutar roda kursi mendekati Danendra lalu memberikan kotak makan tersebut pada pria yang dia cintai itu.Mbak Siti—asisten rumah tangga Felicya datang,
***"Kok diem aja daritadi? Kenapa?"Adara yang sejak tadi duduk sambil memeluk kedua tangannya di dada hanya menoleh sekilas, ketika pertanyaan tersebut meluncur dari mulut Danendra setelah keduanya menempuh perjalanan selama lima belas menit dari apartemen."Enggak apa-apa," jawab Adara singkat."Enggak apa-apa, tapi mukanya kaya gitu," ucap Danendra. "Kaya lagi bete.""Emang bete," jawab Adara apa adanya."Bete kenapa? Sini bilang sama aku," pinta Danendra yang membuat Adara kini sedikit memiringkan posisi duduknya."Bete kerena suami aku dibekelin makanan sama perempuan lain," ucap Adara. "Mana perempuan itu mantannya lagi eh ... enggak tau mantan apa masih pacaran sih."Alih-alih tersinggung, marah, atau sebagainya. Danendra justru menanggapi ucapan Adara dengan tenang lalu memberanikan diri untuk bertanya."Kamu cemburu?" "Cemburu?" tanya Adara. Dia menatap Danendra dari samping. Orang bilang, cemburu adalah tanda cinta. Jika seseorang cemburu itu berarti dia mencintai orang ya
***"Percobaan pertama, berhasil."Felicya tersenyum sambil memandangi sebuah buku catatan kecil yang dia pegang. Bukan sembarang buku catatan, buku kecil dengan jilid berwarna coklat tersebut berisi sesuatu yang sangat penting bagi Felicya.Dunia berpihak padanya, beberapa menit setelah Danendra dan Adara pergi, Felicya mendapat telepon dari salah satu temannya yang menjadi pegawai di salah satu apartemen. Bukan perempuan, teman Felicya tersebut bernama Edgar.Berawal dari curhatan Edgar yang katanya diminta membersihkan sebuah unit apartemen yang ditinggal pemiliknya, Felicya seolah diberi jalan karena secara kebetulan unit apartemen yang dibersihkan Edgar adalah milik Rafly Sanjaya—tunangan Adara yang sudah dinyatakan meninggal seminggu lalu.Meminta Edgar untuk mencari benda penting di unit apartemen Rafly, Felicya akhirnya mendapatkan sebuah notebook alias buku catatan kecil yang ternyata berisi tulisan tangan Rafly.Di dalam buku catatan tersebut terdapat berbagai macam kesukaan
***"Ah, capek."Adara melangkah lunglai menyusuri lorong apartemen sambil menenteng tas juga buket bunga di tangannya. Membawa mobil sendiri, Adara tak pulang bersama Danendra.Menempuh perjalana setengah jam dari kantor, Adara sampai di apartemen pukul setengah lima sore. Danendra sudah pulang atau belum? Adara tak tahu karena sejak jam kerjanya berakhir, dia belum menghubungi Danendra gara-gara ponselnya yang mati karena lupa dicharge."Akhirnya hafal," kata Adara sambil menekan deretas password apartemen milik Danendra. Membuka pintu, dia melangkahkan kakinya masuk lalu membuka satu-persatu pantopel yang dia pakai dan menyimpannya di rak yang tersedia.Mengganti alas kaki dengan sandal rumah, Adara melangkahkan kaki menuju kamar. Namun, tepat di depan pintu langkahnya terhenti ketika suara Felicya terdengar."Baru pulang?"Adara menoleh lalu memandang mantan pacar Danendra tersebut. "Iya," jawabnya."Danendra mana?""Enggak tau, masih di kantor kayanya," ucap Adara apa adanya. Tak
***"Makasih ya, Pak.""Sama-sama, Bu."Sore ini—ketika Adara hampir saja beranjak dari kursi kerjanya, seorang petugas kebersihan tiba-tiba saja datang lalu memberikan sebuah kotak berukuran sedang untuknya.Penasaran dengan isi kotak tersebut, Adara memutuskan untuk kembali duduk di kursi kerjanya lalu mulai membuka kertas kado yang membungkus tersebut dan tepat ketima kotak terbuka, Adara cukup dibuat tercengang dengan isinya."Coklat," gumam Adara sambil mengeluarkan dua buah coklat putih dari kotak tersebut dan tentu saja coklat tersebut adalah makanan yang paling disukai Adara.Tak suka coklat biasa yang kadang rasanya sedikit pahit, Adara lebih menyukai coklat putib dengan butiran almond di dalamnya dan lagi-lagi orang yang sering memberikan Adara coklat tersebut adalah Rafly.Sial. Sejak kejadian buket bunga beberapa hari lalu, Adara mencoba untuk melupakan dan tak menganggap penting kiriman tersebut karena benar kata Danendra, mustahil kiriman tersebut berasal dari Rafly.Nam
***"Dan, kamu marah sama aku?"Sempat terjebak macet, Adara dan Danendra sampai di apartemen pukul setengah tujuh malam. Turun dari mobilnya, Danendra langsung melangkah begitu saja tanpa menghiraukan Adara yang juga baru turun dari mobil yang dia kendarai, karena memang keduanya menggunakan mobil yang berbeda."Masuk, Ra," pinta Danendra ketika pintu lift terbuka."Dan." Alih-alih masuk, Adara justru memandang Danendra. "Kamu ma-"Ucapan Adara terhenti ketika Danendra menghela napas lalu melangkah lebih dulu ke dalam lift—membuat Adara dengan segera ikut masuk sebelum pintu lift tertutup kembali.Tak ada siapa-siapa, di dalam lift hanya ada Adara juga Danendra yang kini berdiri tanpa mengobrol.Danendra memandang lurus ke depan, sementara Adara memandang suaminya dari samping dengan perasaan yang tak enak tentunya, karena sore ini Danendra tak lagi menyembunyikan amarahnya.Pria itu terang-terangan terlihat kesal. Marah? Tentu saja. Danendra yang sabar pun pasti akan marah karena k
***"Ya ampun."Membuka matanya perlahan, Adara menguap lalu mengerjap beberapa kali. Di detik berikutnya dia sedikit terperanjat melihat sesuatu di depannya.Dada bidang milik Danendra yang putih, kokoh, mulus tanpa bulu menjadi pemandangan pertama yang dilihat Adara saat ini. Mendongak, matanya bertemu dengan dagu sang suami yang juga kokoh lalu setelahnya dia pun merasakan sebuah tangan membelit di pinggangnya."Ah, tadi ...." Sebuah senyuman terukir di bibir Adara ketika kegiatan panas yang dia dan Danendra lakukan terbersit di pikirannya.Tak ada paksaan, baik Adara maupun Danendra sama-sama menikmati apa yang mereka lakukan sampai akhirnya keduanya lelah dan tertidur tanpa memakai baju lebih dulu.Hanya selimut abu saja yang menutupi tubuh mereka yang telanjang tanpa sehelai benang pun menempel di sana.Adara naik. Dia yang semula tidur dengan posisi sedikit rendah kini mensejajarkan kembali posisi tidurnya dengan Danendra. Tidur di bantal yang sama, Adara memandang wajah tampan
***"Baik-baik kalian, titip Feli.""Iya, Ma. Mama hati-hati di jalan.""Iya."Pukul setengah sepuluh malam, Teresa berpamitan. Tak perlu diantar, perempuan itu mandiri turun sendiri menuju mobil dan supir yang menunggu di basemant apartemen."Mau langsung tidur?" tanya Danendra pada Adara."Aku lapar," kata Adara sambil mengelus perutnya yang terasa keroncongan. "Mau bikin mie deh.""Lho, kok mie?" tanya Danendra. "Mbak Siti kayanya masak lho, Ra.""Aku lagi pengen itu, Dan," kata Adara. "Kamu aja yang makan, aku bikin mie ya?""Kalau kamu makan mie, aku juga deh.""Dih ngikutin," celetuk Adara."Ngikutin kamu juga, kan? Bukan ngikutin orang lain," kata Danendra."Tapi Mama kamu pesan ke aku, kalau makanan kamu harus sehat," ujar Adara."Mama aku enggak ada," ucap Danendra. Meraih tangan sang istri, dia menarik Adara menuju dapur. "Ayo.""Ish, dasar."Sampai di dapur, keduanya langsung menyiapkan panci. Bekerja sama, Danendra hanya meminta Adara menyiapkan bahan sementara dirinya yan