***"Ra, are you okay?"Berdiri di depan pintu kamar mandi, raut kekhawatiran begitu nampak di wajah Danendra ketika kini di dalam kamar mandi sana, Adara terdengar muntah-muntah.Mengeluh tak enak badan sejak semalam, Danendra pikir Adara kelelahan. Namun, pagi ini dia dibuat khawatir karena istrinya itu tiba-tiba saja merasa mual lalu muntah-muntah."Sebentar, Dan."Beberapa menit menunggu, pintu kamar mandi terbuka dan yang dia lihat adalah wajah pucat Adara yang nampak begitu lemas setelah memuntahkan semua isi perutnya."Kamu baik-baik aja?" tanya Danendra khawatir."Perutku masih enggak enak sih," kata Adara sambil mengelus perutnya yang masih dibalut piyama satin."Ke dokter ya," ajak Danendra. "Aku takut kamu kenapa-kenapa.""Aku harus ngantor," kata Adara. "Kerjaanku lagi banyak.""No," jawab Danendra dengan segera. "Gak ada ngantor hari ini, kamu ke rumah sakit sama aku. Kita ke dokter.""Tapi Dan-""Tunggu," pinta Danendra.Berjalan menuju meja nakas, Danendra mengambil pon
***"Tahu gini aku naik taksi aja, sama-sama duduk di belakang."Omelan itu akhirnya dilontarkan Felicya ketika dia, Danendra, juga Adara sedang berada dalam perjalanan menuju butik.Adara ikut bersama Danendra, tentu saja yang mengalah untuk duduk di belakang adalah Felicya karena Danendra akan selalu mengutamakan Adara.Sebaik apapun sikapnya pada Felicya, bagi Danendra istri adalah yang utama dan tentunya di atas segalanya. Sedarurat apapun itu, dia tak akan pernah menomor duakan Adara karena kenyamanan perempuan itu paling penting baginya.Apalagi sekarang Adara sedang tak baik-baik saja."Mau turun?" tanya Danendra tanpa menoleh, sementara Adara hanya duduk bersandar sambil menikmati rasa pusing juga mual yang masih ada."Maksud kamu?" tanya Felicya."Barusan kan kamu bilang mendingan naik taksi aja daripada sama aku, tapi duduk di belakang," ucap Danendra. "Kali aja mau turun?""Kamu tega emangnya nurunin aku di jalan?""Daripada kamu enggak nyaman, kan?""Ish." Memeluk kedua ta
***"Saya sakit apa?"Tak langsung menjawab ucapan Adara, dokter perempuan bernama dokter Ria itu justru mengukir senyuman tipis sambil memandang Adara dan Danendra secara bergantian."Menurut hasil test darah yang baru saja dilakukan, Ibu Adara tidak sakit apa-apa," ucap dokter Ria. "Tapi ibu Adara sedang mengandung."Raut wajah Adara dan Danendra sama-sama terlihat cukup terkejut dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan dokter Ria.Tentu saja, tak ada angin, tak ada hujan—bahkan tak pernah disangka sebelumnya, Adara tiba-tiba saja dinyatakan hamil. Bukankah itu terlalu mengejutkan?Apalagi, baik Adara maupun Danendra belum berencana untuk memiliki momongan dalam waktu dekat. Namun, karena semua sudah terjadi, bukankah tugas keduanya sekarang adalah menjaga?"Me-mengandung?" tanya Danendra sedikit tergagap. "Maksud dokter istri saya hamil?""Betul, Pak," kata dokter Ria. "Jika dihitung dari tanggal terakhir Bu Adara menstruasi, sekarang usia kehamilan Bu Adara itu hampir menginja
***"Dan, maaf."Dua kata itu akhirnya diucapkan Adara untuk Danendra yang sejak tadi hanya diam sambil mengemudikan porsche hitamnya meninggalkan rumah sakit.Setelah ungkapannya, Danendra memang tak menunjukkan rasa marah sama sekali. Namun, dari diamnya pria itu, Adara cukup sadar jika suaminya itu kecewa dengan ucapannya.Tentu saja. Pria mana yang tak akan kecewa ketika di tengah rasa bahagia karena kehadiran calon buah hati, sebuah ucapan tak siap justru diucapkan dari calon ibu dari anaknya.Sekali lagi, Danendra manusia biasa. Dia tak sesempurna malaikat yang tak bisa marah atau kecewa."Maaf buat apa?" tanya Danendra tanpa menoleh pada Adara."Yang tadi," ucap Adara. "Aku minta maaf, seharusnya aku enggak ngomong gitu sama kamu.""Enggak apa-apa," kata Danendra. "Kamu belum siap itu wajar kok.""Dan.""Hm?""Jangan marah," kata Adara. "Aku seneng kok sama kehadiran janin di rahim aku, cuman aku emang belum sepenuhnya siap, tapi aku janji aku akan menyiapkan diri aku untuk ana
***"Jadi kapan mau berhenti kerja?"Adara yang sedang menyantap makan siangnya seketika langsung terbatuk ketika pertanyaan tersebut diucapkan Teresa secara tiba-tiba.Mengambil segelas air yang diberikan Danendra, dia berusaha menenangkan dirinya dulu sebelum kembali bertanya pada sang mertua."Maksud Mama?" tanya Adara."Kamu kan hamil, kapan mau berhenti kerja?" tanya Teresa—mengulang lagi pertanyaannya, membuat Adara melirik Danendra dan tentunya yang dilirik cukup paham karena setelahnya dka langsung buka suara."Dara enggak akan berhenti kerja, Ma," kata Danendra."Lho, kok enggak berhenti?" tanya Teresa. Dia kemudian menatap Adara. "Lagi hamil lho kamu ini, enggak boleh capek-capek.""Kerja Dara enggak capek kok, Ma," ucap Adara. "Kan kerjanya di ruangan, jadi irit tenaga.""Tenaga irit, tapi otaknya kerja," ucap Teresa. "Justru lebih bahaya kalau otak yang kerja. Stress dikit, kamu bisa pendaraha.""Jangan ngomong yang jelek dong, Ma," kata Danendra.Teresa mendesah. "Bukan n
***"Kancingin yang bener sweaternya, Sayang."Danendra mengukir senyum lalu meraih satu persatu kancing cardigan rajut yang dipakai Adara malam ini, untuk menutupi piyama satin abu yang dia pakai.Katanya, hormon selama masa kehamilan bisa berpengaruh pada sikap seorang perempuan. Terkadang berubah menjadi lebih manja, ataupin sebaliknya.Dan sepertinya masa itu sedang terjadi pada Adara, sekarang. Dia yang biasanya memilih tinggal di apartemen ketika Danendra menjemput Felicya, malam ini berbeda.Dengan alasan klasik—tak mau ditinggal sendiri di apartemen, Adara tiba-tiba saja merengek pada Danendra untuk meminta ikut menjemput Felicya.Sadar apa yang dilakukan istrinya bisa saja bagian dari ngidam, tentunya Danendra tak banyak protes dan langsung mengiakan permintaan Adara dengan syarat; perempuan itu harus mau memakai jaket karena cuaca malam ini bisa dibilang cukup dingin."Udah selesai," kata Danendra setelah cardigan yang dipakai Adara berhasil dia kancingkan."Makasih, Dan," k
***"Udah enggak mual lagi?"Adara menggeleng pelan ketika pertanyaan tersebut diucapkan Danendra. Usia kehamilannya yang masih terbilang cukup muda, wajar memang bagi Adara mengalami mual maupun muntah secara dadakan, seperti sekarang ini.Di tengah perjalanan, Adara tiba-tiba saja meminta Danendra untuk berhenti ketika perutnya yang semula normal, merasa mual.Menemukan jalanan sepi, Adara terpaksa turun dari mobil lalu memuntahkan isi perutnya di pinggir jalan dan tentunya—sebagai suami siaga, Danendra langsung menemani istrinya itu—meninggalkan Feli yang jelas menggerutu."Udah enggak," jawab Adara.Tak langsung bergegas. Adara memilih untuk berjongkok sebelum kembali masuk ke mobil."Minum lagi airnya, Ra," kata Danendra sambil menyodorkan sebotol air mineral yang kebetulan ada di mobilnya."Makasih, Dan."Meraih botol minum tersebut, Adara meneguknya kembali. Mengumpulkan tenaga, dia berusaha untuk berdiri—diikuti Danendra yang melakukan hal serupa."Pulang?" tanya Danendra."Iy
***"Kayanya kamu harus libur lagi hari ini."Mendengar ucapan Danendra, Adara yang sejak tadi duduk di karpet samping kasur seketika mendongak lalu memasang wajah tak terima."Enggak, Dan. Enggak mau," tolak Adara dengan segera. Rasanya satu hari libur saja sudah cukup untuk Adara, dan hari ini dia harus kembali ke kantor, meskipun pada kenyataannya kondisi tubuh sedang tak mendukung.Biasa terjadi. Adara yang setiap pagi biasanya baik-baik saja kini harus mengalami morning sickness setelah kehamilannya terungkap kemarin.Mual dan muntah juga rasa pusing yang mendera harus dia alami pagi ini dan tentu saja semua itu cukup menguras tenaga sampai-sampai dia terduduk lemas di bawah.Danendra? Melihat keadaan istrinya seperti ini tentu saja dia khawatir. Tak kuasa rasanya dia melepaskan Adara untuk pergi bekerja dengan keadaan yang tak baik-baik saja.Bahkan kini, Danendra mulai memikirkan ucapan Teresa yang menyarankan Adara untuk berhenti bekerja. Gilanya, sebagian pikiran Danendra j