***"Kancingin yang bener sweaternya, Sayang."Danendra mengukir senyum lalu meraih satu persatu kancing cardigan rajut yang dipakai Adara malam ini, untuk menutupi piyama satin abu yang dia pakai.Katanya, hormon selama masa kehamilan bisa berpengaruh pada sikap seorang perempuan. Terkadang berubah menjadi lebih manja, ataupin sebaliknya.Dan sepertinya masa itu sedang terjadi pada Adara, sekarang. Dia yang biasanya memilih tinggal di apartemen ketika Danendra menjemput Felicya, malam ini berbeda.Dengan alasan klasik—tak mau ditinggal sendiri di apartemen, Adara tiba-tiba saja merengek pada Danendra untuk meminta ikut menjemput Felicya.Sadar apa yang dilakukan istrinya bisa saja bagian dari ngidam, tentunya Danendra tak banyak protes dan langsung mengiakan permintaan Adara dengan syarat; perempuan itu harus mau memakai jaket karena cuaca malam ini bisa dibilang cukup dingin."Udah selesai," kata Danendra setelah cardigan yang dipakai Adara berhasil dia kancingkan."Makasih, Dan," k
***"Udah enggak mual lagi?"Adara menggeleng pelan ketika pertanyaan tersebut diucapkan Danendra. Usia kehamilannya yang masih terbilang cukup muda, wajar memang bagi Adara mengalami mual maupun muntah secara dadakan, seperti sekarang ini.Di tengah perjalanan, Adara tiba-tiba saja meminta Danendra untuk berhenti ketika perutnya yang semula normal, merasa mual.Menemukan jalanan sepi, Adara terpaksa turun dari mobil lalu memuntahkan isi perutnya di pinggir jalan dan tentunya—sebagai suami siaga, Danendra langsung menemani istrinya itu—meninggalkan Feli yang jelas menggerutu."Udah enggak," jawab Adara.Tak langsung bergegas. Adara memilih untuk berjongkok sebelum kembali masuk ke mobil."Minum lagi airnya, Ra," kata Danendra sambil menyodorkan sebotol air mineral yang kebetulan ada di mobilnya."Makasih, Dan."Meraih botol minum tersebut, Adara meneguknya kembali. Mengumpulkan tenaga, dia berusaha untuk berdiri—diikuti Danendra yang melakukan hal serupa."Pulang?" tanya Danendra."Iy
***"Kayanya kamu harus libur lagi hari ini."Mendengar ucapan Danendra, Adara yang sejak tadi duduk di karpet samping kasur seketika mendongak lalu memasang wajah tak terima."Enggak, Dan. Enggak mau," tolak Adara dengan segera. Rasanya satu hari libur saja sudah cukup untuk Adara, dan hari ini dia harus kembali ke kantor, meskipun pada kenyataannya kondisi tubuh sedang tak mendukung.Biasa terjadi. Adara yang setiap pagi biasanya baik-baik saja kini harus mengalami morning sickness setelah kehamilannya terungkap kemarin.Mual dan muntah juga rasa pusing yang mendera harus dia alami pagi ini dan tentu saja semua itu cukup menguras tenaga sampai-sampai dia terduduk lemas di bawah.Danendra? Melihat keadaan istrinya seperti ini tentu saja dia khawatir. Tak kuasa rasanya dia melepaskan Adara untuk pergi bekerja dengan keadaan yang tak baik-baik saja.Bahkan kini, Danendra mulai memikirkan ucapan Teresa yang menyarankan Adara untuk berhenti bekerja. Gilanya, sebagian pikiran Danendra j
"Kamu nyebelin tau enggak sih, Dan?""Aku minta maaf, Ra.""Ish."Adara mendesis pelan lalu di detik berikutnya dia berbalik badan. Belum sempat melangkah, Adara terpaksa harus menoleh lagi ketika tangan Danendra sigap mencekal tangannya."Mau ke mana?""Kamu tanya aku mau ke mana? Aku mau kerjalah, Dan," jawab Adara. "Aku udah minta Papa kamu liburin kamu seminggu," ucap Danendra lagi."Aku enggak peduli," kata Adara acuh. "Pokoknya aku mau kerja. Sekarang, lepasin tangan aku.""Ra." Dengan wajah yang memelas, Danendra memandang Adara. Namun, yang dilakukan istrinya justru melepaskan paksa tangan Danendra."Aku bilang, lepasin!"Tangannya bebas dari genggaman Danendra, Adada bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar untuk kembali bersiap-siap. Memasukkan barang-barang pentingnya ke dalam tas, Adara melangkah menuju pintu kamar.Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti ketika Danendra menghadangnya di ambang pintu."Danendra, awas," pinta Adara."Kalau mau kerja, sarapan dulu," kata Dan
***"Hey, kamu kenapa masuk kerja?"Adara yang sedang melangkahkan kaki di lobi menoleh ketika suara berat seorang pria melontarkan sebuah pertanyaan padanya."Papa," panggil Adara pada Ginanjar yang baru saja datang."Papa tanya, kamu ngapain kerja?""Karena hari ini hari kerja," jawab Adara santai."Danendra udah minta izin kamu buat libur seminggu," ucap Ginanjar. "Jadi sana pulang.""Kalau Dara enggak mau?" tanya Adara yang membuat Ginanjar mendesah.Keras kepala. Anak perempuan satu-satunya, Adara menuruni sifat Ginanjar yang keras kepala juga ambisius."Nurut sama suami," ucap Ginanjar. "Suami kamu itu Danendra. Dia bukan orang sembarangan, jadi enggak usah macam-macam.""Adara enggak macam-macam, Adara cuman kerja," ucap Adara. "Lagipula khawatirnya Danendra itu berlebihan, Dara tahu badan Dara gimana. Dan Dara bisa jaga bayi Dara.""Kamu ini sekali aja nurut bisa enggak?" tanya Ginanjar. "Kalau Danendra lakuin sesuatu sama perusahaan Papa, mau tanggung jawab kamu?""Pa." Adara
***"Maafin aku, Dan. Aku egois."Sambil menyantap sandwich yang diberikan Danendra, Adara tak hentinya mengucapkan maaf pada suaminya itu atas apa yang sudah dia lakukan pagi ini.Tidak tahu diri. Lagi, julukan itu diberikan Adara pada dirinya sendiri yang memang tak tahu berterima kasih.Setelah semua yang dilakukan Danendra untuknya, Adara justru dengan mudahnya marah pada sang suami hanya karena masalah sepele.Penyesalan selalu datang di akhir. Begitulah yang terjadi pada Adara sekarang karena setelah mendapat kiriman sandwich juga susu ibu hamil dari Danendra, perasaan bersalah semakin menggunung di hati Adara.Bahkan sejak tadi—semenjak Fany pergi dan jam kerja dimulai, belum ada satu pu laporan keuangan yang dikerjakan atau diperiksa oleh Adara."Danendra," gumam Adara lagi setelah satu potong sandwich habis dia santap. Mengambil botol minum, dia meneguk susu ibu hamil yang sudah dingin itu lalu mengelap bibirnya dengan tisu. "Dia lagi apa ya, sekarang?"Tak mau terus kalut, A
***"Kurang malam pulangnya. Harusnya jangan jam enam, jam delapan atau jam sepuluh aja sekalian."Adara yang baru saja membuka pintu apartemen, seketika mematung di ambang pintu setelah mendapat omelan dari seorang perempuan yang kini duduk santai di ruang tamu sambil menikmati tayangan televisi."Mama," panggil Adara pelan, sementara wajahnya tentu sudah berubah pias secara tiba-tiba karena yang ada di apartemennya sekarang tentu saja bukan Monica, melainkan Teresa."Mama di sini?"Teresa yang tadi berucap tanpa menoleh, langsung memandang Adara—sementara posisinya masih tetap sama seperti tadi, bersandar pada pinggiran sofa dengan kedua kaki yang berselonjor."Iya di sini, kenapa? Enggak suka?" tanya Teresa dengan nada bicara judesnya seperti biasa. "Kamu ke mana dulu, jam segini baru pulang?""Lembur, Ma," jawab Adara apa adanya.Ditinggalkan sehari, pekerjaan Adara menumpuk. Tak suka mengabaikan pekerjaan, setelah jam kantor habis dia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya peker
***"Makan yang banyak, enggak usah diet-diet.""Iya, Ma."Adara hanya tersenyum tipis ketika Teresa kembali menyimpan sepotong ayam di piringnya. Padahal, ayam yang dia ambil pun belum habis.Ingin membantah, dia tak kuasa. Alhasil, Adara hanya pasrah dan memilih untuk menyantap dua ayam itu sekaligus."Gimana, enak enggak?" tanya Teresa di sela-sela makan malam."Enak, Ma.""Beneran?""Iya, Ma," kata Adara."Kalau ada yang kurang, bilang aja. Enggak usah canggung," ucap Teresa lagi."Iya, Ma."Setelahnya suasana meja makan kembali hening. Tak lagi mengobrol, Teresa dan Adara hanya fokus dengan kegiatan makan mereka masing-masing, hingga tak lama Teresa buka suara—membuat Adara yang hampir saja menyuapkan nasi ke mulutnya, langsung berhenti."Mama mau jemput Feli, kamu berani kan sendiri di apartemen?"Adara memandang Teresa. "Sekarang, Ma?" tanyanya."Iya, habis makan. Felicya tutup butiknya kan jam setengah sembilan," ucap Teresa."Oh iya.""Berani enggak, sendiri di sini?" tanya T