Baiklah, sehubungan suami yang memerintah, Qizha pun naik ke kasur yang hanya muat untuk dua orang itu. Kasur juga tidak empuk, ranjangnya berupa dipan sederhana. Qizha berselimut kain tipis. Kipas angin menyala, suaranya pun berisik sekali. Qasam duduk di pinggir kasur sesaat setelah mematikan lampu, ruangan pun berubah menjadi remang- remang, penerangannya hanya melalui lampu dari luar yang masuk dari ventilasi. Brak brak brak.. gludak.Qizha kembali membuka mata saat mendengar suara berisik itu. Ia melihat Qasam tengah memukuli kipas angin, tak begitu keras memukulinya, hanya sedang berusaha membuat kipas tak bersuara.Qizha menutup mulutnya saat tawa itu meluncur keluar dari mulut, lucu juga melihat Qasam kebingungan mengurus kipas angin. Qasam berhenti memukul kipas saat pandangannya bertemu dengan Qizha, ia yabg berdiri di dekat kipas pun kembali ke kasur. "Kipasnya berisik sekali," ucap Qasam sambil menarik selimut yang dipakai oleh Qizha dan memasukkan tubuhnya menyatu di
Qasam kini berpenampilan seperti preman, sama seperti ketika dia menyamar saat mendatangi kampungnya Qizha. Ia mengenakan kaos ketat hitam dipadu celana jeans yang bagian pahanya sobek. Jaket kulit menggayut di pundak. Ia duduk nangkring di atas motor. Sorot matanya tajam mengarah pada wanita yang berjalan menuju ke arahnya. Tak lain Sina. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat, mendekat pada Qasam dengan raut gembira. "Mas Qasam! Kok tumben penampilan balik ke laptop?" Sina sok akrab. Bahkan kini dia sudah berani memanggil Qasam dengan panggilan 'Mas'. Qasam tidak mau memprotes urusan panggilan itu. Tak ada guna. "Sesuai kesepakatan, aku akan kasih uang kepadamu dengan satu syarat!" ucap Qasam."Syarat apa?" Sina tampak senang sekali. "Temui ayahmu, setelah itu baru aku berikan uang untukmu!" "Loh, memangnya kenapa dengan ayah?" Sina mulai tampak berpikir. "Lebih tepatnya pertemukan aku dengan ayahmu." Tak mungkin Qasam langsung minta ketemu dengan Agatha, hal itu tentu ak
Sina duduk menghempas di sisi kursi tempat Bily meneguk minuman dingin, di bengkel. Ayahnya itu bekerja di sana. Pakaiannya kotor oleh oli."Ayah, aku tadi bertemu dengan Qasam dan dia ingin menemuimu. qasam yang ternyata kaya raya itu sudah kukasih tahu kalau Qizha adalah orang yang meracuni Qansha, tapi dia tetap saja tidak mempercayaiku," ucap Sina. Kemarin dia telah menceritakan seluruh kejadian di rumah besar Qasam yang melibatkan perseteruan besar di keluarga itu, yaitu Sina menuduh Qizha pelaku yang telah meracuni Qansha. Agatha senang sekali mendengarnya, sedangkan Bily tampak tak suka dengan cerita itu. Dia sedih putri kandungnya disudutkan terus, bahkan dia pun tak tahu bagaimana nasib putrinya itu sekarang. Namun seperti biasa, dia tidak berani mengambil tindakan apa pun. Dia hanya diam dan diam. Bily kembali meneguk minum tanpa merespon perkataan Sina."Ayah, aku sedang bicara denganmu!" tukas Sina. "Aku sudah selesai bekerja. Pulanglah!" Bily dingin sekali. dia melepa
Bily terus melangkahkan kaki, ia berhenti di sebuah warung kecil. Lalu memesan makan, sepiring batagor saja ditemani segelas air mineral. Murah meriah. Dia hanya mengeluarkan uang sepuluh ribu saja untuk sepiring batagor dan segelas air mineral.Sesekali ia celingukan keluar area warung, memastikan tidak diikuti oleh Qasam. Tangannya gemetar saat menyuapkan nasi ke mulut. Dia tidak menggunakan sendok, melainkan makan menggunakan jari tangan. Air matanya berjatuhan, bahkan menetes ke nasi. Namun dia tetap terus makan meski dengan tangan gemetaran.Lagi, ia menoleh ke belakang, melihat ke area luar warung. Tidak ada tanda- tanda Qasam mengikutinya. Kalau pun mengikuti, pastilah Qasam akan jengah menunggunya di sana. Bily tak mau diikuti oleh Qasam hingga menantunya itu mengetahui tempat tinggalnya. Bily mengusap air mata dengan lengan bajunya, lalu membayar dan berlalu pergi dari warung. Dengan menarik topi di kepala untuk menutupi sebagian wajah, Bily melangkahkan kaki menyusuri gan
Bily terlalu lemah, muncul rasa rendah diri saat ia sakit- sakitan dan tak memiliki pekerjaan, sehingga a hanya pasrah saat istrinya memaki.dan menghujat atas ketidakberdayaannya yang tak bisa memberikan banyak uang seperti yang diinginkan sang istri. Tak jarang wajahnya dilempari pakaian kotor, disuruh mencuci baju karena hanya menganggur di rumah. Dan Bily tak bisa berbuat apa- apa, sudah terlanjur merasa rendah diri.Kini, Bily telah memiliki keberanian yang entah munculnya dari mana. "Aku memang bodoh sudah menuruti semua kemauanmu, tapi sekarang tidak lagi. Aku tidak akan mendukung semua kemauanmu!" seru Bily marah. "Kau memaksaku membawa pulang uang banyak. Dan segini saja yang mampu aku lakukan. Lalu aku harus apa?""Kau ini bagaimana? Jelas- jelas kau ini mengajakku hidup susah, menyia- nyiakan hidupku, membuatku sengsara dan terlantar begini, lalu kenapa kau malah nyolot begitu? Tidak sadarkah kau sudah mengajak istrimu ini hidup susah?""Iya, aku sadar. Sepenuhnya aku sada
Penampilan Qasam yang sama seperti dulu saat dia pertama kali memasuki rumah Bily sebagai preman, membuat Agatha langsung mengenali pria itu, menantu yang dulu sempat dihina dan dimaki.Qasam mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari kursi, namun tak menemukannya. Kakinya pegal sejak tadi berdiri. Pada akhirnya ia menyandarkan punggung ke dinding tang terbuat dari papan reot itu. Tangannya menyilang di dada."Kenapa kalian kelihatan tegang begitu? Ada apa?" Qasam mengambil satu bungkus kuaci yang terselip di celah dinding. Mungkin diselipkan di situ sebagai stok untuk makanan penghuni rumah ini saat ingin ngemil. Qasam dengan santainya membuka kuaci dan menyantapnya, ia mengernyit menatap wajah Agatha dan Bily silih berganti, wajah- wajah itu masih mengawasinya dengan tegang. "Hei, ayolah, rileks saja, ibu mertua! Tidak perlu memperlihatkan ketegangan begitulah, ayo kita bersantai sejenak." Qasam tersenyum miring. Mulutnya sambil mengunyah kuaci. "Apa maksudmu kemari?" tanya Agath
Agatha panik. Beberapa kali ia mengusap wajah dengan telapak tangan. Keringat muncul ke permukaan wajahnya.Bily tertunduk pasrah. Dia sudah bosan dengan keadaan itu. Dia pun tak mau banyak bicara. Terserah Qasam saja mau berbuat apa. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentangku," ucap Bily. "Kalau kau mau menghukumku, maka hukum saja. Aku tidak masalah. Memang aku bersalah, sudah bersekongkol dengan istriku dalam kasus ini." "Bagus! Akhirnya kau mengaku juga! Kesalahanmu memang tidak bisa ditoleransi. Kau sudah berusaha turut serta membantu dalam kasus pembunuhan. Apa pun alasannya, itu salah besar dan aku tidak akan mungkin membiarkanmu terbebas dari hukumanku," tegas Qasam. Bily menghela napas panjang. Helaan napas itu terdengar berat sekali. Dia mengusap wajah dan menatap Qasam."Apa kau akan melaporkanku ke polisi?" tanya Bily pasrah. "Lakukanlah. Aku pantas mendapatkannya.""Bersabarlah! Jangan terburu- buru. Aku tidak suka menyerahkan hukuman ke pihak yang berwajib, aku l
Qizha berjalan memegangi payung, berlindung di bawah guyuran hujan deras. Ia baru saja turun dari taksi yang mengantarnya sampai di depan kantor. Tiba- tiba ia dikejutkan oleh air yang nyiprat hebat ke badannya sesaat setelah mobil melintasi air hujan yang menggenang di pinggir jalan. Separuh baju Qizha basah. Kotor oleh tanah. Mobil itu berhenti, kemudian mundur dan berhenti tepat di depannya. Kaca jendela mobil bergerak turun. Wajah Habiba menyembul. Wanita itu duduk di kursi belakang tanpa menoleh kepada Habiba. Ada Husein di sebelahnya. "Ambil itu!" titah Habiba sambil melempar dompet ke tanah. Tak dapat menghindar, Qizha pun memungut dompet itu. Namun, muka Qizha ditampar oleh air yang nyiprat setelah ban mobil yang dinaiki Habiba melintasinya. "Akh!" Qizha terkesiap, wajahnya sempurna tersiram air kotor. Mobil Habiba berhenti di depan. Sengaja menunggu.Qizha menatap mobil itu dengan tatapan tak menentu, sadar bahwa mertuanya sedang menunggu dompet yang dia pungut. langk