Dengan tas punggung dan satu koper derek aku dan Hermin mulai menapak kaki di pelataran bandara. Setelah koper masuk bagasi aku dan Hermin mulai menuju pesawat. Semua seperti mimpi, aku bisa masuk pesawat untuk pulang ke Indonesia meskipun dengan nama Zhee Amalia dan berganti wajah.
Sepuluh tahun lebih aku menginginkan detik-detik seperti ini. Tapi begitu terwujud justru hatiku sedih dan sakit. Meninggalkan Iqbal, anak yang kusayangi dengan segenap hidupku sangatlah menyakitkan.
Pesawat perlahan mulai take off, debar-sebar dadaku saat pesawat mulai naik sangat menyiksaku. Apalagi aku dalam keadaan hamil besar, hanya dengan duduk lama sudah terasa tersiksa. Sebentar-sebentar pramugari berkeliling menawari minuman. Sebentar kemudian membagikan cemilan. Kini pesawat harus transit di Singapura untuk menuju ke Surabaya.
Berganti hari kemudian pesawat landing di Surabaya. Begitu keluar pesawat sontak semua berubah dengan dratis. Aku menatap wajah-wajah orang
Aku mulai melatih diriku hidup sendiri, sekalipun ada ibu di sampingku aku tidak berharap banyak. "Kamu sudah masak, Nak Zhee? Ini ibu ada sedikit lauk buat kamu sayur lodeh lombok tempe, sama urap lauknya ikan asin. Maklum masakan desa cuma begituan," ujar ibu. "Wah itu kesukaanku, ibuku sering memasakan itu untukku. Terima kasih, Bu!" ucapku sambil mataku berkaca-kaca. "Oh ya? Syukurlah kalau nak Zhee suka," sahut ibu. "Bagaimana keadaan kandungan kamu pasti semakin berat ya apalagi tanpa seorang suami di sisi kamu," lanjutnya. "Keadaanku baik-baik saja, Bu. Memang sekarang lebih sering merasa capek saja," jawabku sedih. "Duduklah, Bu! Akan kubuatkan teh jahe buat ibu," lanjutku. "Darimana kamu tahu aku suka teh jahe?" tanya ibu. "Nggak sih, feeling saja," sahutku sambil tersenyum. Aku membuatkan teh jahe buat ibu. Sekalian menaruh makanan dari ibu di meja makan. "Ayo diminum, Bu?" aku mempersilahkannya. Dret
"Benarkah ini Pangeran?" tanyaku ragu."Ini aku, Zhee," jawabnya serak parau."Pangeran, aku menunggumu! Aku takut kamu melupakan aku dan pangeran kecil kita," ujarku menangis."Zhee, perutku sakit sekali. Aku pernah meminta kepada Allah agar rasa sakit saat melahirkan biarlah aku yang menanggungnya. Saat ini aku benar-benar kesakitan, Zhee. Apakah kamu kesakitan juga? Apakah pangeranku sudah waktunya lahir?" tanya Muzammil menahan tangis karena masih kesakitan."Pangeran, kita video call ya?" usulku."Iya, Zhee," jawab Muzammil semangat. "Tapi kamu jangan terkejut ya?" pesan Muzammil.Kini panggilan beralih ke panggilan video dan Hermin memberikan ponselnya kepadaku. Aku menerima panggilan Muzammil. Betapa terkejutnya aku melihat suamiku mengenakan baju kebesaran seorang sultan. Aku terperanjat, terpana seolah aku berhadapan dengan orang asing. Aura yang memancar karena kharismanya serta ketampanannya membuat aku hampir tidak mengenalinya l
Aku terperanjat ternyata ibu sudah berdiri dan mendengarkan semua monologku di depan pusara ayah."Jadi kecurigaanku selama ini benar bahwa kamu adalah Fahim," gumam ibu."Maafkan saya ibu, saya tidak tahu bagaimana cara saya meyakinkan ibu kalau saya adalah Fahim. Bahkan aku datang dengan keadaan hamil besar tanpa suami. Saya takut hanya akan membuat ibu malu," ujarku menjelaskan.Ibu menghampiriku dan memelukku dengan erat. Kami saling menangis mencurahkan rindu dan sayang."Aku sudah curiga, tapi apa daya wajah itu bukan wajah Fahim. Meskipun kebiasaannya dan sifat serta perilaku sama persis Fahim," gumam ibu."Maafkan Fahim, Ibu!" bisikku lirih."Ibu mengerti ketakutanmu, Sayang," jawab ibu. "Selama didekatmu, ibu sempat berhayal dan membayangkan kalau kamu adalah Fahim putri ibu," lanjut ibu menggumam.Akhirnya aku bersama ibu bersimpuh berlama-lama di depan pusara ayah. Seolah sekalian memamerkan Erkan di depan ayah."Fah
Sebuah taksi berhenti di depan rumahku. Saat itu aku dan Erkan sedang bermain-main di halaman depan rumah. Aku terkejut hati penasaran, siapakah gerangan? Tidak mungkin Hermin karena Hermin baru saja pulang ke Ponorogo naik motor. Sambil menggendong Erkan aku berjalan mendekati taksi. Pintunya terbuka dan keluarlah Iqbal. Seperti mimpi di siang bolong rasanya. Aku mengucek mataku berkali-kali seolah meyakinkan apa yang sedang kulihat. "Umiiii ...!" teriak Iqbal. Antara percaya dan tidak aku terus berjalan menghampiri Iqbal. Di sisi pintu yang lain terbuka dan keluarlah Faruq. Aku mencubit pipiku sendiri, saat aku merasakan sakit baru aku meyakini bahwa semua ini bukanlah mimpi. Iqbal berlari menghampiriku dan memeluk tubuhku dengan erat. Kami berdua bersamaan menangis, tidak menyangka semua ini terjadi, semua seperti mimpi. Kuciumi wajah tampan yang imut dan mungil itu dengan air mata haru. "Berikan adikku padaku, Umi!" pinta Iqbal.
Mumpung di Jakarta aku ingin naik MTR juga kereta bawah tanah. Benar-benar perubahan yang dratis untuk Jakarta. "Aku pernah ke Jakarta sepuluh tahun yang lalu, keadaannya belum seperti ini," gumam Faruq. "Hah, apa? Jadi tuan muda pernah ke Jakarta? Kalau sepuluh tahun yang lalu itu artinya aku sudah bekerja di rumah tuan muda dong?" tanyaku penasaran. "Iya, sudah," jawabnya tegas. "Kenapa tuan muda tidak pernah bilang?" tanyaku kecewa. "Emang kenapa, kalau aku bilang kamu mau ikut begitu?" sahut Faruq ketus. "Ya nggak juga. Mana mungkin boleh ikut, pasti kamu takut aku kabur kan?" sahutku. "Itu tahu, entah kenapa Fahim, cinta gila yang kumiliki membuat aku selalu takut kehilangan kamu," gumamnya. "Itu posesif, bukan lagi cinta tapi obsesi kamu saja. Kamu lelaki terkejam yang kutemui di bumi ini," gumamku sambil mengenang. "Sudah jangan kamu ingat-ingat, entar sakit hati lagi," sahut Faruq. "Lalu kamu mengusir ak
"Bagaimana bisa mereka asal mengambil. Tanpa ada komunikasi apa-apa sebelumnya," ujar Faruq kecewa. "Sebenarnya pangeran juga tidak menginginkan ini, tapi keputusan istana dikarenakan pangeran belum punya putra lagi selain Erkan," ujar Hema. "Kenapa kamu tidak lekas mengandung sih, kamu yang orang asli Tukasha," ketus Faruq. "Kamu bilang apa, Faruq? Siapa sih yang tidak ingin punya anak? Aku juga sudah berusaha, Faruq," jawab Hema sedih. "Yang pangeran takutkan yang datang mengambil Erkan bukan utusan istana. Melainkan para musuh kerajaan karena bagaimanapun dia adalah calon penerus tahta. Orang Indonesia tidak tahu mana orang istana yang mana musuh," kata Hema. "Siapapun yang datang dengan tujuan merebut Erkan dari Zhee itu menyakitkan buat Zhee dan pasti akan mendapat perlawanan," ujar Faruq sedih. Faruq melihat aku shock sontak tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya sekarang Faruq sedang berada di Indonesia bersama Fahim. "Si
Aku hanya menatap wajah suamiku yang lama sekali kurindukan. Air mata terus meleleh, bukan saja aku Muzammil pun demikian juga. Cinta dan rindu kami berdua begitu menyakitkan dan mengenaskan. "Aku mencintaimu. Zhee! Aku lebih suka hidup di Inagara sebagai Muzammil," ujar Muzammil sambil menangis. "Aku lebih menginginkan kamu datang kepadaku sebagai Muzammil bukan Pangeran Tukasha. Aku hanya menginginkan cinta yang tulus dan sederhana dari seorang Muzammil" jawabku. Begitu ingin rasanya berada dalam dekapannya. Kehangatan napasnya, aroma tubuhnya masih lekat di hatiku. "Aku percaya cintamu padaku tidak akan ternoda meskipun Faruq berada di sampingmu," ucap Muzammil berharap. "Jangan khawatir, Pangeran! Cintaku padamu tidak akan habis dan tergantikan," hiburku. "Zhee, aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangi Erkan. Kapan kita bisa berkumpul seperti dulu lagi," runtuk Muzammil sedih. "Aku ingin kau datang ke rumahku sebagai Muzammil bukan Pangeran Tukasha," kataku lagi mengin
Pagi sekali Faruq dan Iqbal olah raga bermain bola di halaman depan rumah. Aku dan ibu memasak menyiapkan sarapan. Aku melihat mereka bedua mandi keringat. Setiap orang yang lewat depan rumahku selalu terpana dengan ketampanan bapak dan anak itu. "Ayo sudah istirahat dulu, setelah itu mandi kemudian sarapan!" usulku. "Adik sudah bangun, Umi?" tanya Iqbal, "Sudah, Sayang," jawabku. "Dia baru saja mandi. Makanya Kak Iqbal juga cepetan mandi terus main sama adik," lanjutku. "Fahim, hari ini kita jadi ke Imigrasi bukan" tanya Faruq. Aku kelabakan harus menjawab apa, padahal aku memutuskan untuk tidak ikut ke Inagara. Tapi aku takut melukai hati Faruq. "Fahim!" panggil Faruq karena melihat aku melamun. "Iya," jawabku reflek. "Apa hari ini kita jadi ke Imigrasi membuatkan paspor untuk Erkan?" tanya Faruq mengulangi. "Kita bicarakan nanti, kita sarapan dulu, Tuan muda," jawabku menghindar. "Apa itu artinya kamu mulai berubah pikiran, Fahim?" tanya Faruq kecewa. "Tuan muda, aku har