Share

Kesederhanaan Hidup Nara

Saat pagi-pagi buta, Nara telah terbangun. Ia pun memulai aktivitasnya seperti biasa: bergerak bangun, mencepol rambutnya, lalu berjalan menuju dapur.

Nara mulai memasak untuk sarapan pagi. Setelah itu, ia mencuci dan menjemur baju. Kemudian, mencuci piring. Seusai dapur telah siap dengan makanan untuk sarapan, ia beralih membersihkan diri dan bersiap untuk mengawali hari dengan mengais ilmu.

Selama hidup bertahun-tahun, ia seperti berperan seorang istri. Gadis yang cantik itu, sudah terbiasa hidup sederhana, bahkan sampai kekurangan. Namun, yang sangat ia sayangkan sampai saat ini ia belum sama sekali mengenal wajah ibunya.

"Oke, siapkan baju ayah dan bangunkan mereka."

Nara kembali bergerak setelah ia siap dengan mengenakan seragamnya. Kini gadis itu sedang menatap posisi tidur sang ayah bersama sahabatnya.

"Huh, gara-gara om-om ini ayah tidurnya terlihat sangat sempit!" gumamnya.

'Bagaimana caranya aku menyingkirkan pria ini dari kontrakan? Kehidupan ayah seolah terbagi dua dengannya,' ucap hati gadis itu.

"Ayah bangun ...."

Bukannya sang ayah yang bangun, tapi justru sahabatnya yang membuka matanya. 'Manis sekali wajahnya,' batin Arsen.

"Mungkin Ayahmu masih mengantuk."

Nara tidak menggubris, ia tetap fokus membangunkan sang ayah. "Ayah ... nanti telat. Ayo cepat bangun ....!"

'Sepertinya, gadis ini masih belum bisa menerima kehadiranku,' batin Arsen.

"Iya Sayang ... ayah akan bangun beberapa menit lagi!" 

Dengan sewot, Nara pun mencubit dada bidang sang ayah. Alhasil Dhafian terpaksa bangun. Sementara Arsen terus menatap gadis itu.

"Pokoknya kalau belum bangun juga, sarapan Nara habiskan semua!"

Dhafian mengusap wajahnya, lalu membenarkan rambutnya yang berantakan. "Anakku seperti ibunya, sangat galak!"

"Setahuku Uni itu sangat lembut."

"Sudahlah, jangan membahasnya!"

"Kau sendiri yang memulai."

***

Setelah sarapan mereka telah usai, kini Arsen sudah menunggu Nara memakai dasi dan sepatunya. 

"Ayah, sepatu Nara menganga!"

Arsen menatap miris kondisi putri dari sahabatnya itu. Nara sedang memakai sepatunya di atas teras, sementara ia sedang merokok duduk di bangku.

Dhafian datang sudah siap dengan seragam kerjanya. Ia melihat-lihat sepatu anaknya yang sudah koyak parah. Sudah dua tahun, Nara belum mengganti sepatunya.

Dalam hati pria itu sangat sedih, tetapi ia berusaha untuk tak menampakkannya. 

"Astaga sepatumu lapar," ujarnya membuat senyum Nara terbit. "Gajian esok, ayah akan belikan yang baru dan yang terbagus," lanjutnya.

"Benar ya, Yah? Tapi, tidak mungkin Nara memakai sendal jepit ke kampus ...."

"Iya Sayang ... sekarang pakai yang ada dulu ya, ayah janji akan belikan semua perlengkapan kuliahmu nanti!"

"Baiklah ...."

Arsen melepaskan putung rokok dari bibirnya, lalu ia mengambil alih sepatu itu. "Masih bisa diperbaiki!"

Arsen masuk ke dalam, pria itu mengambil sebuah lem untuk menyatukan sepatu itu. Namun sebelum itu ia terlebih dahulu menjahitnya, dan setelahnya ia menambah lem untuk memekatkan sepatu itu.

Jadilah seperti semula. Sepatu Nara menyangket seperti awal, sudah tidak lagi terbuka.

"Cobalah!"

"Hmm, okey bisa!"

"Thanks ya Arsen," ucap Dhafian.

"Santai ...."

"Ayo berangkat!"

***

"Nanti Nara gak mau nunggu lama!" ketus Nara kala ia sudah tiba di depan kampus.

"Siap!"

Arsen mengulurkan tangannya. Tetapi, Nara mengabaikan, gadis itu langsung melengos pergi. "Bagaimana caranya agar aku bisa mengambil hatinya? Sikapnya sangat bertolak belakang dengan Dhafian yang selalu care," gumamnya.

Setelah menepakki kampus, Nara tersenyum tatkala ia melihat seorang lelaki yang selalu membuat jantungnya tidak aman. 

"Hadehhh, kak Vero itu selalu tampan setiap hari. Ihh kenapa sih, heran deh!" gumamnya seperti gadis kesemsem.

Ya, Nara memang mempunyai perasaan kepada seorang kapten basket yang berjulukan bad boy kampus. Senior Nara yang selalu ia idam-idamkan sosoknya. 

"Hayoo, lagi liatin kak Vero yaaaa!" Tiba-tiba kedatangan gadis seumuran Nara mengejutkannya.

"Yita!!! Bisa nggak sih, sehari aja kalo datang ngagetin kayak reog!" ketus Nara. 

Nara hanya mempunyai tiga sahabat, yaitu Yita, Andrea, dan Inoy. Selain itu, tidak ada yang mau berteman dengan gadis itu karena Nara dianggap gadis miskin yang tidak cocok kuliah di sebuah universitas yang elit ini.

Walaupun Dhafian seorang satpam, tapi pria itu bisa membiayai pendidikan tinggi untuk anaknya dengan hasil usaha kegigihan. Hanya satu niatnya, semata-mata berharap agar Nara tidak bernasib sama sepertinya.

"Sorry Nar. Eh, tapi kak Vero pernah tanyain kamu tau!"

"Masa sih?"

"Jangan sama Vero, dia itu cowok brengsek. Gue kenal banget gimana karakter dia. Dia itu kalo cari cewek kayak cari upil, dicari-cari pas ketemu dibuang. Sekadar rasa penasaran aja!" sahut Andrea dengan argumennya yang konyol.

"Inoy gak langsung dibuang, tapi Inoy cicipi dulu!"

"Mending lu jangan nyaut deh!" geram Andrea. Inoy itu lelaki, tapi sampai sekarang masih diragukan jenis pria itu apa.

"Ya bener juga," pendapat Yita.

"Mending ikutin kata gue, jangan suka sama Vero. Bocah belagu kayak dia gak pantes buat lo yang cantik Nar. Lo itu terlalu polos buat buaya berjenis predator kayak dia. Vero sekali jalan bisa buat cewe hamil, nah kalo lo di posisi itu gimana? Masih muda, mau nikah masih sibuk kuliah, ya kan?"

"Nikahnya nanti aja kalo kita libur setelah semester, bisa 'kan?" Lagi-lagi Inoy menyahut dengan kata-kata yang menguras emosi pendengar.

"Inoy belum ngerasain sunat tiga kali ya?"

"E-eh iyadeh Inoy diem!"

"Ma'lum lolipop si Inoy udah abis!"

'Masa sih?' Mendengar itu, Nara mulai ragu. Tapi, apa kita bisa pungkiri rasa suka di hati? Dia ingat perkataan ayahnya untuk jangan mencari lelaki yang satu kampus.

'Tapi, Nara suka sama kak Vero.' batin gadis itu lagi.

***

Setelah menjalani perkuliahan yang melelahkan, Nara tidak sengaja menjumpai pria yang sangat ia sukai. Meskipun sudah diperingati temannya, semua terasa buyar. Kini jantungnya sedang berdetak tidak aman. 

"Hai Nar!" ucap pria bernama Vero itu.

"Oh hallo Kak!" sapa balik Nara dengan gugup.

"Mau pulang bareng?" tawarnya.

'Arrggghhh ... ayah tolong Nara, dia nawarin Nara pulang bareng gilak,' batin Nara sedang meronta-ronta.

"Gak bisa Kak, Nara udah dijemput."

"Oh oke, kalo jalan sama gue nanti malam gimana?" 

"Nanti Nara izin sama ayah dulu, ya!"

"Oke gue tunggu, kalo jadi gue jemput. Telepon aja nanti!"

"Oke Kak!" balas Nara berusaha tenang, padahal tidak bisa.

***

Selama perjalanan pulang, Arsen menatap aneh gadis yang diboncenginya dari spion motor. 

"Kenapa?"

"Lagi bahagia!" balas gadis itu tersenyum lebar.

'Sifat gadis ini susah ditebak. Terkadang dia bisa sangat cantik jika tersenyum full seperti itu, bisa menjadi sangat baik, dan bisa tiba-tiba jutek bahkan marahnya pun sangat mengerikan,' batin Arsen.

Saat mereka tiba di rumah, Nara segera masuk ke dalam kamar. 

"Nara aku akan kembali bekerja, jangan keluar tanpa izin!" pesan Arsen.

"Baik Om ...," jawabnya dengan jengah. 

'Mengatur seperti ayah!' sungut batinnya kesal.

Mengingat ayahnya, senyum gadis itu kembali terbit. Ia segera menelpon sang ayah untuk meminta izin. Masa bodo dengan ucapan sahabatnya, yang saat ini ia rasakan adalah suatu keinginan yang dulu selalu ia pendam. 

"Akhirnya, Nara bisa jalan sama kak Vero. Aaaa seneng banget!"

****

Setelah mendapat izin dari sang ayah, Nara benar-benar pergi. Dengan pakaian seadanya, gadis itu telah rapi. Penampilan dan riasan gadis itu sangat membuat Arsen terpaku akan pesonanya.

"Mau ke mana malam-malam begini?"

"Mau jalan, Nara titip rumah. Kalau mau makan lagi di dapur Nara sudah siapakan, tapi sisahin untuk ayah!"

"Sudah minta izin ke ayahmu?"

"Sudah!"

"Jalan dengan siapa?" tanya pria itu tanpa menutupi rasa penasarannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status