Membuka mata perlahan, menyingkirkan tangan kekar Gus Azmi yang melingkar di pinggang, menatap lamat-lamat wajah suamiku. Tampan, memesona dan terlihat nyenyak sekali tidurnya. Tidak seperti kemarin. Selalu gelisah.Tersenyum sendiri membayangkan kelakuan Gus Azmi yang sering terlihat salah tingkah."Mau ke mana, Sayang." Tiba-tiba dia mencekal lenganku, menarikku kembali ke dalam pelukannya tanpa membuka mata.Ih, mulai genit."Mau ke kamar mandi, Mas. Memangnya mau ke mana?" Mencoba melepaskan diri, tetapi dia begitu erat memelukku."Mas, istrimu ndak bisa napas ini loh!" Menggeliat manja.Bibir tipisnya melengkung indah. Matanya tetap terpejam, akan tetapi bibirnya ia daratkan di tempat yang sama kemudian melepaskan tubuhku.Setelah selesai dari kamar mandi. Kembali naik ke tempat tidur karena jarum jam masih menunjuk ke angka setengah dua dini hari. Lumayan masih ada waktu untuk tidur beberapa menit."Jam berapa, Sayang?" tanya suami setengah berbisik."Jam enam pagi, Mas," jawabk
“Aku minta maaf, Mas. Demi Allah, aku sedang berusaha mencintai njenengan sepenuh hati. Tolong bimbing aku, njeh. Jangan sampai aku salah melangkah.” Membalas tatapan pria itu.“Pasti, Sayang. Insya Allah, dalam waktu dekat Mas akan membuat kamu jatuh cinta sama Mas, dan melupakan cinta Adek sama Mas Bram.” Dia mengusap pucuk kepalaku dengan penuh cinta. Senyuman tidak lepas dari bibirnya, membuat diri ini salah tingkah jika terus ditatap seperti itu.“Njenengan kok sudah pulang?”“Kangen sama Adek. Sekalian mau makan siang bareng. Adek masak ndak? Kalau ndak masak, biar Masmu belikan makanan di luar.”“Sudah masak, kok. Tapi ndak tau njenengan suka atau tidak. Soalnya Adek, eh, aku nggak tahu makanan kesukaan njenengan itu apa.”“Apa pun yang Adek masak, Mas pasti suka.” Ia merangkul pundakku, berjalan bersisian menuju dapur.Kami santap siang bersama, menikmati masakan sederhana yang aku olah, hanya sayur asem, ikan asin, tempe goreng dan sambal petai. Tetapi aku lihat Gus Azmi begi
Aroma minyak kayu putih begitu menyengat, membuat seketika perut ini seperti sedang diaduk-aduk.Aku membuka mata perlah, menyingkirkan tangan Ning Mahfia, karena dia terus saja menempelkan benda berisi cairan berbau menyengat tersebut di dekat hidung.Huek!Huek!Membekap mulut, hendak beranjak dari tempat tidur namun kepalaku masih terasa sangat berat. Ning Mahfia menyodorkan sebuah kantong keresek, menyuruhku memuntahkan isi perut di dalamnya karena tidak kuat jika harus memapahku ke kamar mandi.“Ini, Bu. Minum teh anget dulu. Sepertinya Ibu masuk angin.” Seorang santriwati mengangsurkan segelas teh hangat dan langsung kusesap perlahan.“Terima kasih.” Aku berujar pelan sambil kembali menyandarkan kepalaku di sandaran dipan.“Sama-sama, Bu.”Pintu diketuk. Seraut wajah tampan nan memesona muncul sambil mengucap salam, berjalan menghampiri dengan wajah terlihat sangat khawatir.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Gus Azmi seraya mengusap lembut rambutku.Para santriwati yang berdiri seger
Selepas salat asar, kami berdua berangkat menuju klinik menggunakan sepeda motor, karena jarak antara klinik dan rumah tidak terlalu jauh. Kalau saja kepalaku tidak sedang pusing, lebih memilih jalan kaki karena terasa lebih romantis.Banyak sekali ibu-ibu hamil sudah mengantre ketika kami sampai di klinik. Untung saja Gus Azmi sudah mendaftar terlebih dahulu, jadi tidak butuh waktu terlalu lama untuk menunggu.“Ibu Mayla Yasni.” Asisten dokter memanggil namaku dari ambang pintu.Gus Azmi langsung membantu untuk berdiri, melingkarkan tangan di pundak, membimbingku masuk ke dalam ruangan dokter Virly.Setelah memeriksa buku kesehatan ibu dan anak yang sudah diisi dataku juga kehamilanku, Dokter berkaca mata itu memintaku untuk berbaring di atas tempat tidur yang tersedia, dengan posisi seperti orang mau melahirkan.“Maaf, ya Bu. Kalau sakit bilang saja. Agak sedikit kurang nyaman ya...” Dia memasukkan alat ultrasonografi transvaginal ke dalam liang sensitifku, karena usia kandungan mas
Memantas diri di depan cermin, memindai wajah yang masih terlihat tampan meski usiaku sudah tidak lagi muda. Bujang tua, julukan teman-teman ketika bertemu. Tapi tidak mengapa. Memang kenyataannya sudah tua dan masih bujangan. Bukannya tidak laku, tetapi mencari yang terbaik.Dulu, Allah hampir menjodohkan dengan Lusi, tapi ternyata beberapa bulan sebelum pernikahan kami digelar, Sang Maha Rahim lebih dulu menyingkap tabir siapa Lusi sebenarnya.Bersyukur. Sangat berterima kasih kepada Allah karena tidak jadi menjodohkan diriku dengan Lusi. Walaupun sakit, tetapi tidak terlalu perih di hati. Masih bisa terobati ketika melihat senyuman Mayla yang selalu tergambar di bibirnya, mengembang diantara luka yang dia rasa.Mayla Yasni. Entahlah. Sejak pertama Ibnu memperkenalkan dia sebagai istri, aku merasa ada debar aneh. Mungkin ini cinta, tetapi cinta yang salah. Mayla istri sahabatku, dan aku tidak boleh miliki rasa kepadanya.Kutepis jauh-jauh rasa itu. Menghalau cinta yang kian bertumbu
Aku menghela napas. Benar juga kata Ibu. Tapi, aku tahu dan sangat yakin kalau Gus Azmi tidak akan mungkin menemui Mayla di asrama putri, sebab dia seorang yang sangat paham akidah juga ilmu fikih. Dia pasti tahu batas serta aturan.“Ya sudah, minggu depan kamu temui Nok Mayla. Kamu bilang ke dia, kalau Ibu akan melamar dia.”“Siap, Bos. Doain aku ya, Bu. Mudah-mudahan kali ini aku berjodoh dengan Mayla. Tidak ada halangan, juga rintangan yang menghalangi hubungan kami berdua.”“Aamiin.”Obrolan kami berdua berakhir. Aku semakin tidak sabar menunggu waktu, dimana aku akan datang memberi kejutan kepada Mayla, menyatakan semua perasaan yang sejak lama aku pendam, membawa pulang dan menikahinya.Ya Allah. Membayangkannya saja sudah indah. Apalagi jika semua sudah menjadi kenyataan. Setiap pagi, ketika membuka mata melihat perempuan berparas ayu itu berbaring di sisi, mengembangkan senyuman manja sambil mengucap kata cinta.Hari yang aku tunggu akhirnya tiba. Mempersiapkan diri dengan dan
Menopang kepala di atas kemudi mobil, memejamkan mata mencoba menepis rasa. Tetap hancur. Tambah perih tersayat-sayat lalu tersiram air garam.Ampun. Aku tidak kuat menghadapinya, ya Rabb.Tanpa terasa dua bulir air bening meluncur meninggalkan jejak lurus di pipi, disusul buliran-buliran lainnya yang semakin deras bagai air bah. Tidak masalah jika ada yang mengatakan aku cengeng. Tidak ada larangan juga, kan, jika laki-laki sedang dirundung nestapa juga luka kemudian dia menitikkan air mata?Ponsel yang tergeletak di atas dasbor terus saja berdering. Ada panggilan masuk dari Ibu.Aku harus bilang apa jika dia menanyakan perihal tentang Mayla?Aku gagal, Ibu. Anakmu kembali terluka untuk yang ke sekian kalinya.Astaghfirullahaladzim...Kembali mengucap istigfar, melegakan dada yang terasa terimpit batu besar. Aku ingin bangkit, tetapi tidak memiliki kekuatan. Otak serta pikiranku lumpuh seketika. Tidak mampu berbuat apa-apa hanya bisa membayangkan senyuman Mayla yang begitu menggoda.
Aku menghela napas panjang, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu lalu mengembuskannya perlahan. Mata ini kembali memanas, tetapi sekuat tenaga kutahan air mata yang sudah hampir melaju melewati pelupuk.“Apa Mayla bersedia? Kenapa dia tidak sekalian ikut?” tanyanya lagi.“Bu, Mayla....” Menggantung kalimat, mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan kabar ini kepada Ibu tanpa disertai derai air mata.“Mayla kenapa. Dia baik-baik saja kan?”“Iya, Bu. Kita lupakan saja dia, Bu. Aku sudah tidak berhak lagi memikirkan wanita itu. Sebab sekarang ini dia sudah menjadi milik Gus Azmi!”Alis Ibu bertaut sambil menatapku dengan mimik bingung. Apa penjelasanku terlalu berbelit-belit sehingga Ibu tidak paham dengan apa yang aku maksud. Haruskah mengulangi perkataan tersebut supaya dia mengerti?“Maksud kamu apa, Bram. Ibu ora mudeng?”“Ma–Mayla sudah menikah dengan Gus Azmi beberapa hari yang lalu. Dia menolak lamaran aku, Bu.” Tersenyum samar, menutupi luka yang menganga di d