Alifa menyikut dengan kuat dada laki-laki tersebut. Doni kembali terhuyung ke belakang. "Apa kamu nggak lebih bajingan dari suamiku, Doni? Hanya laki-laki bajingan juga yang beraninya dengan perempuan. Kamu nggak ada apa-apanya dibandingkan Mas Farrel!" Alifa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman mengejek."Sialan kamu, Lif. Aku nggak peduli, dia harus merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintainya. Itu yang aku inginkan, Lif!" Doni tersenyum miring, kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Alifa terbelalak, ketika laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dan mengacungkan padanya.Alifa mundur beberapa langkah dengan waspada. Tatapan matanya mengikuti pergerakan Doni. "Tolong! Tolong!" Alifa tak ingin celaka. Ada janin di rahimnya yang terlebih dahulu harus dia pikirkan. Teriakan Alifa mengundang beberapa orang mencari keberadaannya.Doni yang tak ingin dihajar massa, langsung melarikan diri. Laki-laki itu memanjat pagar dan melompat keluar dari tempat pa
"Nggak adil banget! Aku nggak mengerti apa-apa, malah menjadi sasaran. Cepat kalian lapor polisi, Mas!" seru Alifa jengkel. Farrel mengangguk tegas, kemudian mengusap-usap bahu istrinya untuk menenangkan. "Iya, Sayang. Kami pasti lapor polisi. Aku harus bertemu Mas Bintang dulu," ucapnya pelan.Alifa mengangguk lemah. Berkali-kali dia mendengus kasar. Menyesalkan kejadian yang hampir mencelakai diri dan calon bayi mereka. Alifa juga merasakan, semenjak menikah selalu ada saja cobaan dalam rumah tangga mereka. "Gini, Lif. Kalau malam pas Gundul ngelatih, kamu jangan di rumah sendirian. Lebih aman kalau kamu di rumah Budhe Halimah atau di rumah Pak Bintang." Danang memberikan saran. Dia juga merasa kasihan pada Alifa yang menjadi sasaran Doni.Alifa mengangguk sekali lagi. "Berasa aku istri seorang buronan saja kalau kayak gini. Mas, Mas. Makanya, kalau punya teman itu pilih-pilih lah. Pemakai narkoba dijadikan teman. Ngrepotin hidup saja!" gerutunya jengkel."Iyaa, paham. Lagian, seka
"Aku pergi dulu, Vit. Nanti aku telepon Pak Kevin."Evita melangkah mensejajari langkah Alifa. "Aku ikut kamu, Lif. Kebetulan aku sudah kosong." Alifa menoleh sekilas pada Evita dan mengangguk."Vit, Vita!" Evita dan Alifa menghentikan langkah mereka ketika sampai di dekat anak tangga menuju ke lantai satu. "Dipanggil Pak Kevin, suruh cepat. Beliau mau ada kelas lagi soalnya. Daripada dimanyunin dosen ganteng!" seru seorang mahasiswi setengah berlari mengejar Evita dan Alifa.Evita menoleh pada Alifa meminta persetujuan. Alifa langsung mengangguk. "Pergi saja, Vit. Kayaknya penting!""Lif, aku nanti nyusul ya, kayaknya ini masalah tugas kemarin deh. Kenapa sih, sahabat kamu itu ngeselin, Lif?" gerutu gadis berhijab pashmina itu terkikik."Paling alasan saja. Sudah pepet saja, dia baik kok, sudah ya, bye!" Alifa menepuk pelan bahu sahabatnya. Evita membalikkan badan sembari berdadah-dadah ceria."Ojek Mbak?" tanya seorang tukang ojek yang baru saja tiba di tempat pangkalan ojek. Tanpa p
Doni menggenggam beberapa butir obat-obatan terlarang itu. Laki-laki itu seperti orang kesetanan. Alifa terus memberontak sekuat tenaga sembari mengeratkan rahangnya.Doni mencengkeram rahang Alifa dengan kuat. "Buka mulut kamu!" perintahnya bengis."Hmmp ... hmmpp!" Alifa memejamkan matanya, bersamaan air mata mengucur membasahi pipi. Namun rupanya, hal tersebut tak membuat Doni berbelas kasihan."Buka, aku bilang!" Doni semakin geram. Ingatan peristiwa empat tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Roni, adiknya yang masih tercatat sebagai mahasiswa semester empat itu, harus meregang nyawa di tangan regu tembak. Pemuda tersebut terbukti menjadi pengedar sekaligus bandar narkoba. Kehilangan orang yang dicintai adalah hal yang sangat menyakitkan.Tangisan Alifa saat ini tak sebanding dengan kenyataan tubuh adiknya terbujur kaku dengan label narapidana. Itu dikarenakan ulah Farrel dan teman-temannya yang melaporkan keberadaan persembunyian Roni."Hmmmph ... argh!" Alifa terus me
"Ibu Alifa dan kandungannya baik-baik saja. Untung Anda cepat membawanya kemari. Sepertinya, Bu Alifa sempat memuntahkan minuman itu. Kalau tidak,..." Dokter itu tak sanggup melanjutkan ucapannya.Farrel mengangguk samar, hatinya begitu sakit melihat istrinya diperlakukan seperti itu. Farrel baru mengetahui jika Alifa tidak hanya dicekoki minuman beralkohol. Akan tetapi, juga sempat dipaksa menenggak beberapa butir obat-obatan terlarang.Bahu laki-laki itu berguncang. Dia menundukkan wajah di sisi tubuh Alifa yang masih belum sadarkan diri. Farrel menangis terisak di situ. Kevin yang berdiri di sampingnya menepuk pelan bahu laki-laki itu. Kevin juga merasa begitu bersalah. Secara tidak langsung, dirinyalah yang menyebabkan Alifa sampai mengalami peristiwa ini.Farrel mendongak menatap wajah pucat istrinya. "Maafkan aku, Sayang. Maaf, yang nggak bisa melindungi kamu. Doni brengsek," desisnya dengan tangan terkepal kuat."Sudah, Rel. Berhenti menyalahkan dirimu." Kevin berkata pelan. Ha
Alifa langsung mendekati Farrel dan berdiri di samping meja kerja laki-laki itu. Alifa mengambil beberapa kertas nota yang semua terdapat tanda tangan sang suami.Farrel mendongak, kemudian melingkarkan lengannya di perut sang istri. "Semua ini rejeki untuk kalian. Alhamdulilah, semenjak kamu hamil, Kemangi Ijo banyak banget pelanggannya. Cafè Biru juga begitu." Farrel berkata pelan sambil mencium perut Alifa.Alifa menunduk dan membalas pelukan suaminya. Dia mengusap-usap bahu laki-laki itu. "Kenapa harus main rahasia-rahasia segala sih, Mas? Terus ngaku-ngaku sebagai sopir juga, apa maksudnya?" cecarnya gemas.Farrel terkekeh, kemudian bangkit dari tempat duduknya. "Ya biar saja, orang tahunya Farrel itu berandalan. Ngapain juga sombong dan woro-woro punya cafe dan rumah makan?" dalihnya. "Ayo, kita keluar, kasihan teman-teman kamu nungguin."Alifa mengangguk dan mengikuti arah pandangan Farrel yang menatap layar monitor CCTV. Wanita itu terkikik karena telah mengabaikan keberadaan
"Maaf."Satu kata itu yang tertulis di balik foto tersebut. Alifa mengamati gambar perempuan yang berada di dalam foto bersama Farrel dan Sigit juga beberapa teman lainnya."Ada apa dengan gadis ini? Apa mantan Mas Farrel?" tanyanya.Alifa terkejut, ketika foto itu telah berpindah tangan. Dia menatap protes pada Farrel yang telah berdiri di sampingnya. Farrel meletakkan foto tersebut begitu saja, lalu memeluk tubuh istrinya. "Mas, perempuan dalam foto itu siapa?" tanyanya ketika bertemu pandang dengan sang suami.Farrel tak menjawab. Laki-laki itu malah menciumi pipi dan wajah istrinya. "Ish, Mas. Ditanya malah grepe-grepe!" Alifa kembali memprotes, ketika tangan Farrel tak hanya memeluknya, tetapi justru bergerilya.Farrel terkekeh tanpa dosa. "Itu almarhumah Karina, anaknya almarhum Pak Sutoro." Farrel menjawab lirih lalu melumat bibir Alifa tanpa memberikan kesempatan sang istri untuk kembali bertanya.Benar saja, Alifa tak punya kesempatan untuk bertanya lagi karena Farrel telah
Alifa mengusap pipi sang suami dengan lembut. Sepasang matanya menatap sang suami dengan tatapan dalam. "Kenapa nggak tidur? Apa yang kamu pikirkan, Mas?" tanyanya lirih.Farrel menggeleng samar, kemudian dia memeluk istrinya, mencium puncak kepala wanita itu. "Lagi nggak bisa tidur saja. Sudahlah, nggak apa-apa." Laki-laki itu menjawab sambil menarik selimut sampai batas leher.Tak puas dengan jawaban suaminya, Alifa mengguncang pelan lengan atas laki-laki itu. Farrel menggenggam jemari tangan Alifa dan menciumnya. "Mas, kalau ada masalah ngomong dong, jangan diam saja begitu. Dari gerak geriknya kelihatan, kalau lagi ada masalah." Alifa kembali mengungkit. Terdengar dengusan kasar dari bibir Farrel. Dia menoleh menatap istrinya dengan tatapan penuh arti. Laki-laki itu kemudian merubah posisi berbaringnya menjadi bersandar di kepala ranjang. Alifa ikut duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Farrel langsung menunduk dan bertemu pandang dengan Alifa. Rasa bersalah itu