Share

Dua

Rahmi sendiri yang tidak mau repot belanja kebutuhan rumah, dia lebih memilih memberikan uang kepada mamak setiap bulannya.

Dengan menyisihkan sebagian dari gajinya, sebagai penyenang hati mamak katanya agar rejekinnya lancar, tapi setelah bapak tidak bekerja dia memberikan mamak dengan jumlah yang cukup besar dengan alasan dia tidak tega bila mamak harus terus menerus mengajak bapak bertengkar tiap hari karena merasa kekurangan uang.

Aku yang dari awal saat bapak masih bekerja, lebih memilih mengisi kebutuhan rumah seperti belanja sabun cuci baju, cuci piring, bumbu bumbu dapur garam, micin, penyedap rasa, gula, kopi dan membayar air serta listrik tiap bulan, membuat mamak sedikit tidak enak jika meminta uang padaku.

Gaji bapak di gunakan mamak untuk membeli ikan dan sayuran, sisanya mamak pakai untuk kesenangan nya.

Sehabis sholat magrib aku masuk ke dalam kamar mamak, kebetulan bapak masih di masjid setelah isya' baru pulang. 

"Mak" sapaku pelan 

"Hmm kenapa?" Ucap mamak yang masih fokus menatap layar ponselnya.

"Boleh matikan dulu YouTube itu, atau mamak pause lah, Laila mau bicara serius" ucapku mengiba. 

"Bicaralah, biar mataku menonton telingaku mendengar kamu bicara apa" ucap mamak yang masih fokus memperhatikan channel salah satu artis idolanya.

Melihat jawaban mamak yang tak bersahabat aku lebih memilih berdiri, mengurungkan niatku. Saat ini ingin melangkah, aku di kejutkan dengan bahasa mamak yang benar-benar kasar menurutku.

"Anak tidak punya sopan santun" ucapnya.

"Laila kah orang yang mamak maksud?" Tanyaku membalikkan badan.

"Siapa lagi anak di dalam sini kalau bukan kamu?" Mamak berdiri dari posisi tidurnya.

"Bagaimana mamak bisa bilang aku tidak punya sopan santun, dari tadi ku ajak mamak bicara dengan nada lembut, bahasa sopan, aku ingin mengajak mamak bicara serius, tapi tanggapan mamak seperti itu, jadi bagaimana bisa aku bicara dengan nyaman kalau mamak sendiri fokusnya terbagi saat aku berbicara?"

"Sudah macam orangtua gayamu bicara, kalau mau bicara, bicara saja, kalau kamu mau di perhatikan dalam berbicara, kamu nikah sana, lalu punya anak, biar anakmu yang memperhatikanmu saat berbicara, aku ini mamakmu bukan adikmu" jawab mamak dengan suara lantang.

"Yasudah mak, Laila salah, minta maaf ya?" aku lebih memilih minta maaf ,karena aku tau tidak akan ada habisnya bila melanjutkan debat dengan mamak, bukan mendapatkan kemenangan, melainkan dosa, karena terus menjawab ucapan wanita yang sudah bertaruh nyawa untukku.

"Memang kamu salah dan sudah sepantasnya minta maaf, sini cium tangan mamak" ucapnya sambil menjulurkan tangannya ke arahku. Ku raih tangan mamak lalu menyaliminya. Sudah menjadi kebiasaan mamak saat anaknya menyalimi, mamak akan mengelus kepala anaknya dengan lembut.

"Mau bicara apa?" Tambah mamak.

"Mak maaf sebelumnya, kalau Laila memberi mamak jatah uang perminggu, kira-kira berapa nominal yang bisa mencukupi kebutuhan mamak?" Ucapku penuh dengan kehati-hatian, lalu kudapati sorot mata yang berbinar-binar mendengar penuturanku barusan.

"500.000 sepertinya cukup" ucap mamak mantap, aku rasa mamak asal menyebutkan nominal uang yang di butuhkan nya perminggu. Sebenarnya aku sudah memikirkan ini sebelum aku bertanya, aku sudah tau resiko apa yang harus ku tanggung.

"Tidak mampukah?" Tanya mamak lagi padaku dengan sedikit mencondongkan badannya kearahku.

"Insyaallah Laila mampu mak" ucapku mantap.

"Yasudah, kalau gitu mana uangnya?" Mamak mengulurkan telapak tangannya ke arahku.

"Besok Laila ambilkan di koperasi Mak, malam ini Laila tidak ada uang sebanyak itu"

"Kalau tidak ada uangnya, kenapa bertanya sekarang, ku pikir, adalah uang itu di tanganmu malam ini" jawab mamak memalingkan wajahnya.

"Tunggu sebentar, biar Laila tanya dengan Rahmi, mungkin dia ada simpanan. Laila  pinjamkan ke Rahmi dulu"

"Ehh jangan" jawaban mamak mencegahku berjalan meninggalkan kamarnya.

"Kenapa mak?" Aku menautkan kedua alisku.

"Kalau kamu pinjam uang sama Rahmi, nanti Rahmi gak bisa ngasih mamak, gak double lah mamak dapat uang dari anak-anak mamak" jelas mamak padaku.

"Ya Allah mamak, kalau sudah dapat jatah mingguan dariku kenapa masih berharap dari Rahmi lagi?" Tanyaku heran.

"Tadi pagi, ku minta uang ke Rahmi katanya nanti malam, kalau aku dapat dari Rahmi 500.000, darimu 500.000 total semua 1000.000 jadinya"

"Astaghfirullah haladzim mamak, Rahmi itu tak ada uang, kalau ada juga itu uang kebutuhan dia selama sebulan" aku mencoba menjelaskan pada mamak.

"Makan di rumah, tidur di rumah, mandi di rumah, cas ponsel di rumah, bawa bekal dari rumah, kebutuhan apa lagi si Rahmi itu, kalau semuanya sudah dia dapatkan dari rumah, semua juga gratis tak perlu bayar" jawab mamak menjabarkan semua yang anaknya lakukan di rumah ini.

"Mak, dia kan sudah dewasa butuh skincare, butuh kuota internet, butuh juga jalan sama kawan-kawannya kalau malam Minggu, pastilah dia butuh uang buat itu semua"

"Gaya-gaya pakai skincare mamak sampai setua ini pun tak pernah pakai skincare, cukup air wudhu mulus wajahku tanpa jerawat, gak internetan di rumah gak mati, cukup internetan di tempat kerjanya kan ada WiFi, kalau fahamnya dia dengan keadaan rumah sedang seperti ini, bapak tidak bekerja, kurangi dulu gaya dia jalan malam Minggu sama kawan-kawan" suara mamak mulai meninggi.

"Jadi menurut mamak, Rahmi tidak mengerti dengan keadaan rumah?"

"Begitulah adikmu" jawab mamak sambil memutar bola matanya.

"Mamak tidak pernah di kasih uang kah sama Rahmi setiap gajian? Tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Di kasihnya" jawab mamak ketus.

"Berapa Mak?" Aku mencoba mengetes kejujuran mamak.

"Di kasihnya aku 1.500.000 dua hari yang lalu" ternyata mamak jujur dengan nominal yang di beri Rahmi.

"Terus kenapa mamak minta lagi?"

"Kurang uang itu, harusnya di kasihkannya semua gajinya ke aku, kan kebutuhan rumah ini banyak" jawab mamak mantap.

"Yasudah mak, nanti aku coba bicarakan sama Rahmi" jawabku sebelum keluar dari kamar mamak.

Aku masuk ke dalam kamar, mencoba menemui Rahmi, menyampaikan apa yang harusnya ku sampaikan.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status