Ray seakan tak percaya dengan penglihatannya. Berkali-kali dia mengucek matanya berharap netranya itu salah.
"Pak, ini korban tabrak larinya, apa Bapak mau bawa ke rumah sakit?"
"Oh!" Ray terhenyak, ada air hangat yang tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya.
"Baik, Pak. I-ini, calon istri saya yang hilang," suara Ray bergetar dan segera mengangkat tubuh Move yang sudah terasa dingin.
Orang-orang di sekitar itu hanya bengong mengetahui bahwa pria itu calon suami korban tabrak lari.
"Kasihan wanita itu, dia buta. Makanya tadi mau nyeberang diserempet pengendara motor dan terjatuh kepalanya membentur batu,"
Moga-moga dia selamat, ya," suara orang-orang yang ada di sekitar situ rame-rame berghibah.
"Farhan! Farhan! Buka pintunya," teriak Ray yang membopong tuubuh Mobe yang sudsh lunglai.
Farhan kaget mendengar suara Ray yang sangat panik.
"Ya Alloh, Move!" Kini giliran dia yang panik melihat wanit
"Careld, apakah dia__Dokter Careld hanya menghela napas lalu menghembuskannya dengan berat. Ada kegundahan di hatinya yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. 5 menit sudah berlalu namun dokter itu masih membisu."Careld!" teriakan itu membuat seisi ruangan itu terkejut. Terlihat Ray benar-benar naik pitam, antara rasa takut dan penasaran yang tak kunjung di jawab oleh Carel Alderal Subastian."Ray, tenang, Nak," suara lembut mamanya tidak seketika meluruhkan emosinya."Careld, katakanlah, insya alloh kami siap menerima apapun itu hasilnya," kembali Alliya mama Ray berkata dengan lembut, supaya dokter muda itu segera berbicara.Sesaat dokter itu kembali menghela napas. Lalu, "dia selamat meskipun belum melewati masa kritis, tapi__"Tapi apa, Reld? Bilang," suara Ray memburu tak sabar menunggu jawaban dari Careld sepupunya."Kemungkinan besar dia buta permanen," luruh badan Raya Dinata. Merosot ke bawah dan terduduk di lantai. Hat
Ray memburu suara itu, dengan cepat dia mendekati wanita yang kini benar-benar dicintai dan satu-satunya tanpa ragu lagi. "Move kamu sudah sadar?" Suara itu menggema di telingaku. Kubuka mataku perlahan. Lantas mengangguk. Hati Ray terasa teriris melihat anggukan dariku. Kerusakan kornea mata yang permanen karena kepalaku jatuh membentur batu dan langsung berhubungan dengan saraf mata. Kebutaanku yang kemarin semakin parah karena kecelakaanku. Bahkan efek kecelakaan kemarin, aku buta permanen, itu kata dokter yang menanganiku. Masih bersyukur nyawa masih bisa diselamatkan. Karena keadaanku kemarin sungguh sangat mengenaskan. "Aku haus," kataku dengan bibir bergetar. Oh dengan segera pria tampan itu buru-buru beranjak mengambilkan air mineral buatku. Ku edarkan pandanganku. Perasaan tadi masih terdengar suara tante Alliya dan juga Farhan. Dan itu memang benar. Meteka semua masih di sini. Dan jujur aku sangat terharu. Aku pikir aku n
Melihat keterbengongan mereka, aku hanya terdiam lalu menyuapkan sup ayam kesukaanku ke mulutku tanpa merasa bersalah dengan keterdiaman dan keterbengongan mereka. Sebenarnya ada apa sich? Kok sampai sebegitunya mereka melihatku. Kaget mungkkn aku hidup lagi. Beberapa jsm yang lalu aku kan divonis sekarat. Setelah habis makan supnya, alu memperhatikan satu per satu wajah-wajah hetan di depanku. Mungkin iya, aku lebih tak acuh, aku caoek jadi orang patih dihina mulu. Agak tetgesa akj beranjak dari tempat tidur pasien. "Move, mau kemana?" tanya Ray panik dan segeta menghadangku. Aku mdngerutkan dahi kuat-kuat fan menatap wajah Ray drngan tatapan bingung. "Kudekatkan bibirku ketelinganya. "Aku msu pipis," bisikku pelan. Wajah Ray seketika mrmetsh malu. "Mau ikut?" tanyaku menggoda dan tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung berjalan menuju kama mandi dengan tatapan bingung yang mereka perlihatkan. "Ray, panggil Careld," tiyah Alliya, mamanya.
Hatiku meringis nyeri mengingat kejadian menyakitkan itu. Hari lahirku hadi awal malapetaka dan itu kado yang tak kan pernah bisa aku lupakan. Saat itu Ray akan bertunangan entah sama siapa dan saat itu juga adalah hari lahirku yang tak pernah kuinginkan ada kejadian menyakitkan. Aku terjatuh dan buta lalu Farhan berniat mendonorkan matanya untuk menebus segala kesalahannya yang tak sengaja mendorongku hingga jatuh. Hingga pada akhirnya aku lari dari rumah sakit dan tertabrak oleh pengendara motor yang tak bertanggung jawab sampe pada titik aku sudah tidak diselamatkan. Namun kuasa Tuhan yang maha dasyat, aku selamat dan kebutaan permanen ku pun sembuh total. Luar biasa kuasa illahi, maha dasyat kuasa sang khalik. Dan itu membuktikan kekuatan dan kuasa Tuhan. "Farhan, terima kasih sudah mengikhlaskan matamu buatku. Tapi Tuhan punya kuasa lain, mata yang ada di tempat kamu itu milikmu bukan milikku dan akan tetap menjadi milikmu. Percayalah akan kuasanya
Aku masih terpana dengan kejadian ini. Masih terhipnotis dengan sikap tante Alliya, mamanya Raya dan Farhan Dinata.Bahka Feronika menangis bukan hanya karena tamparan wanita paru baya itu tetapi karena sikap wanita itu yang tiba-tiba tidak berpihak kepadanya."Tante, salahku apa? Kenapa, Tante menamparku?" Rintih Feronika menghiba sambil mengusap-usap pipinya yang sudah memerah."Fero!" Suara itu tidak seperti biasanya. Begitu tenang dan tegas tanpa senyum sedikit pun."Dari kecil orang tuamu tidak pernah mendidikmu untuk menghina harga diri orang lain apalagi menjatuhkannya, tapi kenapa kamu memilikk sifat sepicik ini? Awal mula kamu membenci Move, Tante paham karena kesakitanmu kehilangan Ray. Tapi kenapa barusan Tante dengar kamu bawa-bawa masalah janda?" Berhenti sejenak unguk menelan saliva."Apa kamu pikir di dunia ini wanita punya pilihan untuk menjadi janda? Siapa yang mau menjadi janda? Tidak satu pun yang menginginkannya. Kamu jang meleb
"Farhan!" teriakku sambil menubruk tubuhnya yang benar-benar mengeluarkan darah dari dadanya dan ini bukan sekedar halusinasiku seperti beberapa minggu yang lalu."Farhan, bangun! Ini aku, kamu nggak boleh begini!" ucapku histeris. "Tolong, panggil dokter!" teriakku kembali lebih panik.Dan kulihat Ray sudah datang dengan dokter Careld. Tubuh Farhan yang sudah lemah dan terdiam segera dipindahkan dan di buka baju yang membalut badannya. Terlihat di sana di dada Farhan luka itu menganga dan darah masih terus mengalir. Sama persis mimpiku beberapa minggu yang lalu.Jantung buatan itu terbuka karena beban tubuh Feronika yang tiba-tiba memimpanya tanpa sengaja. Aku, Ray dan sluruh yang ada di situ panik. Nerujing di ruang gawat darurat dan Profesor LinHuang di panggil segera.Aku lihat wanita paruh baya itu menangis tersedu di tempat duduk penungguan. Di sampingnya om Halim suaminya. Ray yang sedang tak berbaik hati mukanya sedang Dattan yang barusan da
Nit nit nit ...Suara itu sebenarnya menggangguku uang sedang larut dalam kesedihan. Namun aku simak. Ini sebenarnya suara apa. Aku merenggangkan pelukannya Rau."Ini suara apa Ray?" tanyaku sambil menyusut air mata yang terus mengalir di pipi tirusku.Ray hanya bergeming dan seolah mendengarkan sesuatu."Suara monitorkan, Sayang,"Mak jleb di hatiku mendengar Ray memanggilku begitu."Iya, memang monitor, tapi monitor siapa?" tanyaku sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan."Ya Tuhan! Farhan!" Aku menjerit bukan lagi kaget. Lengkingan jeritanku terdengar sampai ke luar ruangan. Membuat orang yang di luar langsung masuk terutama Profesor LinHuang dan dokter Careld."Farhan," jeritku kembali tertahan.Dokter Careld mendekat tergesa di mana tubuh Farhan yang sudah dingin kembali menghangat."Puji syukur ya Alloh," aku makin terjerembab ke dalam dekapannya Ray. Kulihat Farhan menggerakan tangannya.
Kakiku berhenti seketika mendengar suara itu. Dengan gerakan reflek aku memutar badanku menghadap arah suara itu.Feronika Alfarest, wanita itu menatapku dengan pandangan mengharap sesuatu. Dengan pandangan yang dingin aku mendekati wanita itu."Move," panggilnya luruh membuat hatiku seketika mencelos. "Maafkan, Aku,"ucapnya dengan suara menguar perih terdengar di hatiku.Kupeluk erat wanita itu dan kubusikkan sesuatu yang mampu membuatnya bangun dari segala mimpi buruknya."Aku sahabatmu, Fero. Bangunlah, jangan menyerah," ternyata ucapan itu mampu membuat wanita yang umurnya jauh di bawahku itu tersedu. Kutepuk pelan punggungnya lalu kuelus dengan lembut."Dok, bagaimana perkembangannya?""Dia butuh teman oebdukung, mbak Move. Dan saya rasa, Mbak lah yang cocok untuk mendampinginya,""Tapi, Dok," aku hanya memandang tak mengerti."Kami ini saling bermusuhan," akhirnya aku meloloskan ucapan pahitku.Dokter itu hanya ter