Shaka tentu tidak mengizinkan Kinan naik taksi ke kampus. Berangkat bersama akan menjadi rutinitasnya dan Kinan kalau gadis itu harus menghadiri kelas pagi. Meskipun kuliah siang, Kinan harus diantar dan dijemput oleh Pak Noto. "Masih ngambek, nih?" tanya Shaka saat di perjalanan. Dia lihat Kinan hanya diam saja. Sebenarnya, Kinan memang selalu seperti itu. Namun, rasanya belum puas kalau dia belum menggoda gadis itu."Siapa yang ngambek sih, Mas?" "Ya kamu lah, masa Pak Noto?" Pria paruh baya yang sedang fokus mengemudi terkiki. Namun segera saja dia menutup mulutnya. "Saya nggak ngambek. Lagian masalah saya apa kok ngambek?" elak Kinan. "Ya udah lah kalau nggak mau ngaku." Kinan mendesis. Kenapa dengan Shaka ini. Sepertinya ingin sekali Kinan mengakui sesuatu. Mendadak dada Kinan berdebar saat mengingat sesuatu. Semalam perasaan dia tertidur dengan ponsel yang masih dia pegang. Tapi saat bangun pagi tadi, ponselnya sudah ada di nakas. Berarti Shaka yang memindahkannya. Yang memb
Sepanjang perjalanan, Shaka diam dengan wajah yang menurut Kinan cukup menyeramkan. Ini pertama kalinya Shaka marah padanya. Marah yang benar-benar marah, sampai-sampai kilatan di matanya tedlihat jelas tadi. Kinan sampai bergidik ngeri, terpaku dan tercengang. Kini, untuk sekedar minta maaf pun tenggorokannya tercekat. "Kamu kenapa sih harus kaya gitu? Bikin orang khawatir aja?" Kinan terkesiap mendengar suara Shaka yang tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka. "Mmm ... m-maaf, Mas." Kinan menunduk sambil memainkan ujung kemeja yang dia kenakan. "Iya, tapi kenapa? Kamu kan bisa bilang dulu kalau mau nginep di tempat teman." Suara Shaka meninggi lagi. Sepertinya dia memang benar-benar kesal. "Kamu lagi kenapa, Kinan?" "Saya ...." Aduh, kalau ingat tentang hal yang membuatnya malu luar biasa itu, rasanya ingin menghilang saja saat ini."Ngambek gara-gara tahu siapa mantan pacarku?" Kinan seketika menutup wajahnya. Inilah saatnya dia diadili. Inilah saatnya Kinan menghadapi ra
Di kampus Kinan masih memikirkan aktifitasnya semalam bersama Shaka. Hampir saja dirinya menyerahkan diri seutuhnya pada pria itu. Untung saja semua terjeda. Pasalnya, dia belum yakin akan perasaannya pada Shaka. Baiklah, dia akui, dia mulai merasakan getaran di hati yang tak biasa pada suaminya itu. Mungkin dia mulai merasakan benih-benih cinta yang tumbuh. "Gimana dengan suami kamu, Kinan. Dia marah banget, ya?" tanya Lena saat keduanya menikmati makan siang di kantin. Semalaman Lena memikirkan Kinan dan suaminya. Melihat Shaka yang begitu marah, Lena merasa khawatir dengan sahabatnya itu. "Aman kok," jawab Kinan sambil mengulas senyum. "Cieh, ada yang dapat jatah kayaknya nih semalam," goda Lena."Nggak jadi. Ada gangguan. Eh!" Kinan buru-buru menutup mulutnya. Kenapa dia mengatakan hal itu pada Lena seakan dia kecewa semalam Shaka batal mencicipinya."Yah, sayang banget.""Udah, ah. Nggak mau bicara masalah itu." Wajah Kinan bersemu merah. "Kayaknya kamu udah mulai jatuh cinta
Hari berjalan dengan begitu cepat hingga kini tidak terasa sudah memasuki akhir pekan, hal itu membuat Kinan merasa jenuh. Dia yang biasanya selalu disibukkan dengan tugas-tugas kuliah kini waktunya sedikit senggang dan terasa membosankan, dia merasa perlu melakukan sesuatu hal yang membuatnya sibuk. Hingga tiba-tiba sebuah ide timbul di kepalanya, kenapa dia tidak membantu pekerjaan rumah saja. Sudah lama dia tidak menghabiskan waktu di dapur bersama Bi Imah dan Atun, mengobrol seperti dulu. Diliriknya Shaka yang masih tertidur di sampingnya. Saat hendak beranjak, tiba-tiba Shaka membuka mata. "Kamu kenapa senyum-senyum sendiri kaya gitu, Kinan ... lagi mikirin apa, sih?" tanya Shaka sambil menyipitkan mata memandang ke arah gadis di sampingnya itu. "Mikirin yang semalem, ya? Mau lanjut?" Oh, Tuhan, pagi-pagi Kinan sudah harus menghadapi kemesuman Shaka. Kinan mendecak dalam hati. Pura-pura tidur rupanya dia. Jadi sejak tadi Shaka memperhatikan gerak-geriknya. "Nggak apa-apa, Mas .
"Kinan! Hei, Kinan!" panggil Shaka. Namun Kinan telah menghilang di balik pintu ruang laundry. Shaka pada akhirnya memilih untuk mengikuti Kinan kemanapun dia melangkah, dan membuat keributan di belakangnya. Kecuali di kamar Nyonya Rose, dia bersikap sopan dan tidak aneh-aneh pada Kinan. Semua itu dia lakukan tentu saja untuk mencari perhatian Kinan. Namun sayangnya apapun yang dia lakukan selalu saja diabaikan oleh gadis itu. Shaka jadi kesal sendiri. Dia ngambek dan pergi ke kamarnya lalu menutup pintu dengan keras sehingga Kinan yang ada di dapur bersama Bi Imah dan Atun pun terkaget-kaget. Dada Kinan berdebar kencang. Pasti Shaka marah karena dia terus mengabaikan pria itu. "Tuan Shaka ngamuk, Mbak," tutur Atun cemas. "Mendingan Mbak Kinan ke sana, deh." "Biarin ajalah, Tun." Kinan berusaha mengabaikan semua itu. "Jangan, Mbak. Kalau Tuan Shaka marah beneran itu ngeri." Atun berusaha membujuk Kinan. Dia ingat dulu sewaktu Tuannya itu marah pada Kinan, secara random Shaka ma
Shaka begitu terkejut dengan kedatangan Nikita ke rumahnya. Tunggu, dia memang benar-benar Nikita. Mantan kekasih yang sudah tiga tahun tidak pernah dia temui lagi. Kabarnya dia pergi ke London untuk melanjutkan pendidikannya. Namun, saat ini perempuan itu benar-benar berdiri di hadapannya. Penampilannya tidak berubah. Tetap cantik dan bahkan lebih terlihat cantik dan elegan dibanding dulu. "Nikita baru datang dari London. Mama antar ke sini karena dia pingin ketemu kamu." Ucapan Rima membuyarkan lamunan Shaka. Dia kemudian melempar pandangannya pada Kinan yang berdiri di dekat pintu. "Kamu, ngapain berdiri saja di situ. Bikinin minum tamu, dong!" perintahnya. "Iya, Nyonya." Kinan melewati mereka untuk pergi ke dapur. "Ee, Ma__" Rima buru-buru mengangkat tangan mencegah Shaka untuk bicara. Dia tidak boleh memberitahukan siapa Kinan pada Nikita. "Gimana sih pembantu kok lelet banget," gerutu Rima. Shaka terkejut mendengar ucapan sang mama yang mengatakan Kinan seorang pembantu. Dia
"Sana ke kamar Mas Shaka sendiri!" seru Kinan sambil mendorong bahu Shaka menjauh."Kalau aku nggak mau, gimana?" Shaka dengan santainya mencekal lengan Kinan dan menarik gadis itu ke pelukannya. "Kalau gitu saya tidur di kamar Atun!" gerutu Kinan seraya berusaha melepaskan diri dari pelukan Shaka."Kalau kamu tidur di kamar Atun, dia aku pecat sekarang juga!" Mata Kinan membulat. Ancaman macam apa itu. Mana bisa main pecat orang tanpa alasan yang jelas."Aku serius loh," tegas Shaka. "Jadi, pilih Atun dipecat, atau kamu tidur di sini sama aku, atau kamu balik ke kamar kita?" Kinan mendesis sebal. Pilihan yang dibuat Shaka tidak ada yang bagus. Sungguh Kinan sedang tidak ingin berdekatan dengan makhluk menyebalkan ini. Pokoknya dia sedang kesal dan malas melihat wajah Shaka. "Pilih di sini aja, kan?" Shaka menaik-naikkan kedua alis sambil memasang ekspresi jahilnya. "Tapi lepasin!" Shaka menuruti ucapan Kinan. Gadis itu beringsut menjaga jarak di antara mereka. Dia memutar badan
Tubuh polos Kinan membuat Shaka tak lagi mampu menahan gelora yang menggelegak dalam dada. Ini adalah saat-saat yang ditunggunya selama ini. Mencicipi si perawan yang begitu sulit dia dapatkan. "Kalau sakit, gigit saja pundakku, ya?" bisik Shaka seraya menciumi leher Kinan. Gadis itu mengangguk. Dia melingkarkan kedua lengan di leher pria itu. Matanya terpejam saat dia merasakan ada sesuatu yang menggesek area pribadinya di bawah sana. Semakin lama gesekan itu berubah menjadi hujaman. Hingga satu hujaman terdahsyat membuat Kinan menjerit dan refkeks kuku-kuku jarinya mencengkeram punggung Shaka. "Maaf, ya?" Shaka menghentikan aksinya saat melihat wajah memelas Kinan yang tengah menahan sakit. Mata gadis itu berkaca-kaca. Entah dia menangis karena gerbangnya yang selama ini terjaga dengan baik berhasil dibobol oleh Shaka, atau karena dia sedang merasakan kesakitan yang teramat sangat. Atau bahkan dia merasakan keduanya. "S-sakit banget, Mas," ucap Kinan seraya membenamkan wajahnya d