Share

BAB 3 : Pencatatan Pernikahan

04:55 sore.

Rasa sesak itu benar-benar terasa menghimpit di dada Elara.

Ia baru saja menemukan dirinya memang berada di jalan buntu.

Setelah penandatanganan satu berkas, Elara mendapatkan sejumlah uang --cukup banyak, dari ayah tirinya. Namun saat ia mengutarakan maksudnya pada pihak Rumah Sakit, ia tidak mendapatkan jawaban sesuai harapannya.

Meskipun tadi Elara mengatakan bersedia membayar mahal pada pihak Rumah Sakit untuk darah neneknya, pihak Rumah Sakit menolak mentah-mentah.

Mereka mengatakan tidak mampu mencari atau mendapatkan darah Rh-Null dalam waktu sesingkat itu. Itu darah yang langka. Bahkan jika pun ditemukan, pihak lain telah lebih dulu membelinya dengan harga sangat tinggi.

Elara membuang napas beratnya. Ia kini berdiri di depan pintu ruangan yang sama.

Kamar dengan angka 707 di atasnya.

Itu bangsal di Rumah Sakit tempat nenek-nya dirawat. Tapi bukan bangsal milik sang nenek. Melainkan milik pria yang memiliki golongan darah langka, yang sama seperti nenek nya.

Pria yang Elara temukan, atas informasi dari salah satu petugas di ruang IGD saat pertama kali ia datang setelah menerima berita kecelakaan neneknya.

Pria yang kebetulan ada di Rumah Sakit itu dan terluka, diketahui memiliki darah yang berjenis sama dengan sang nenek.

Pria yang juga memberikan persyaratan gila sebagai pertukaran untuk darahnya.

Elara mendorong pintu dan melangkah masuk.

Pria bajingan itu kini telah berganti pakaian pasien dan duduk santai di sofa samping brankar dengan tangan menyilang di depan perutnya. Bersikap menunggu, seolah tahu Elara akan datang.

Ia mengangkat kepala dan menatap Elara yang melangkah ragu, namun terlihat bertekad mendekat padanya.

Elara memantapkan hati dan balas menatap pria itu tanpa takut.

Langkahnya terhenti tepat satu meter di hadapan pria itu dan Elara mendadak sedikit linglung.

Mata pria itu seperti lautan dalam, menghipnotis dan tajam, dengan kilatan yang tak terbaca.

Elara nyaris merasa kehilangan diri pada pusaran intens di dalamnya.

Selama hidupnya, ia baru menyaksikan keindahan seperti ini. Wajah pria itu adalah contoh kesempurnaan.

Konon, setiap orang mempesona dengan cara yang berbeda. Dan pria ini membawa definisi pesona tersebut ke tingkat yang sungguh sangat berbeda.

Bibirnya berwarna merah muda yang memikat, dan fakta bahwa bibir itu melontarkan kalimat gila dan licik, tidak mengurangi pesona misterius yang dimiliki pria itu.

Ia tampak seperti berada di usia akhir dua puluhan --mungkin dua puluh tujuh atau dua puluh delapan, dengan bahu lebar dan tangan yang berurat.

Pria itu benar-benar bajingan yang tampan --secara harfiah, secara fisik dan dengan semua cara lainnya.

Aneh memang.

Bahkan sekalipun --dari pakaian yang dikenakan pria itu sebelumnya, pria itu seorang buruh kasar, ia memiliki aura kewibawaan yang definit.

Senyum miring mengembang di wajah pria itu saat dia berbicara, dan keterlenaan gadis bermata zamrud itu langsung terhempas.

"Jadi apa keputusanmu?” Suara malas itu tetap tidak bisa menutupi efek seksi dan sensual yang menguar dari pria tersebut.

Elara menelan ludah. “Ba-baiklah. Aku akan menyerahkan diriku.”

“Itu bagus.”

“Dengan satu syarat,” Elara buru-buru menambahkan.

Pria itu menunggu.

“Terserah kau mau menyebutku kuno atau apa. Tapi aku tidak melakukan hubungan badan sebelum menikah.”

Kedua alis pria itu melangit. “Kau ingin aku menikahimu?”

Dengan tangan saling meremas kuat, Elara mengangguk, memantapkan hati dan mengusir sisa keraguan terakhir dengan tindakan nyata. “Ya.”

Pria itu menatap Elara sekian detik, lalu menunduk.

Terlewat oleh pengamatan Elara, seringai samar terbentuk di wajah pria yang masih menunduk itu.

Fokus Elara terlalu melekat pada jemari pria tersebut yang melakukan gerakan mengetuk di atas pegangan kursi.

Demi apapun, saat ini Elara begitu tegang dan berdebar hebat. Bukan debar yang bagus, melainkan kecemasan.

Andai pria itu menolak, maka ia benar-benar berada di ujung kebuntuan. Ia hanya akan memberikan tubuhnya sukarela, tanpa ikatan apapun.

Dan itu penghancuran harga diri dan kehormatan yang mutlak bagi Elara.

“Baiklah.”

Elara terkesiap dan mengerjap. “Hah? Apa?”

“Kau mendengarnya. Kita menikah.”

* * *

Jemari lentik Elara sedikit bergetar saat ia menggerakkan pena untuk menandatangani satu berkas yang disodorkan pria bermata kelabu itu padanya.

“Sudah kau baca semuanya?” Pria bermata kelabu bertanya.

“Ya.” Elara menyerahkan pena itu pada pria di depannya yang segera mengambilnya, beserta map berisi lembaran perjanjian yang baru ditandatangani Elara.

Perjanjian yang berisi Elara bersedia menikah dengan pria itu, dengan imbalan pria itu memberikan darahnya.

“Lalu…” Gadis bermata zamrud itu menaikkan pandangannya. “Apa kau sekarang bisa melakukannya?”

Kedua alis pria itu terangkat. “Melakukannya sekarang? Di sini?”

Menyadari pria bermata kelabu itu salah menafsirkan kalimatnya, Elara buru-buru menyilangkan tangan di depan dadanya dan berkata. “Darahmu! Melakukan donor darahmu! Bukan soal ‘itu’!”

“Hm…”

“Apa? Mengapa kau diam? Kau tidak akan berkelit kan?”

“Itu sudah dilakukan.”

“Hah? Apa?”

“Darahku. Sudah dilakukan pengambilan darah sejam sebelum kau datang.”

“Kau menipuku?!” Kedua mata Elara membulat.

“Menipu apa?” Pria itu menepis santai. “Aku tahu kau akan kembali, jadi aku sudah melakukannya lebih awal.”

Elara ingin marah karena merasa ditipu pria itu, tapi ia sadar tidak ada yang salah dengan itu. Pria itu memang telah menyiapkannya lebih dulu, itu membuat prosesnya lebih cepat.

“Darahmu sudah siap? Jadi…”

“Ya, kau bisa segera menyelamatkan nenekmu.”

“Ah..” Elara tertegun sesaat, sebelum ia segera berbalik untuk keluar dari bangsal pria itu.

“Ck.” Pria itu berdecak melihat ketergesaan gadis bermata zamrud tersebut. Ia lalu melirik map di tangannya.

“Dia bahkan tidak membaca dengan teliti.” Pria itu hanya tersenyum miring kemudian meletakkan map di atas meja dekat ia duduk lalu bersandar santai ke belakang.

Di lantai bawah.

Elara meremas ujung kemeja longgarnya dengan kedua kaki berderap cepat --nyaris berlari hingga mencapai ruang ICU.

Rasa gelisah menyelimuti hatinya dan tidak mampu terhindarkan dari ekspresi di wajah cantik miliknya.

Ia bertanya pada petugas di sana tentang darah untuk neneknya itu.

“Ya benar Nona. Darah sudah tersedia dan telah dilakukan transfusi pada nenek Anda,” jawab petugas itu yang seketika membuat Elara membuang napas lega.

“Lalu bagaimana.. bagaimana dengan operasinya?”

“Kami akan segera melakukannya setelah Anda menandatangani persetujuan, melunasi biaya yang timbul dari penanganan sebelumnya dan juga menyimpan deposit.”

“Aku akan lakukan! Aku akan membayarnya!” Elara dengan tergesa menjawab petugas itu.

“Silakan Nona ke bagian pendaftaran untuk mengurus administrasi dan lainnya,” ujar petugas itu.

Elara mengangguk lalu berbalik untuk menuju konter pendaftaran. Ia memberikan deposit sejumlah uang dari yang ia dapatkan dari Tony White.

Ia baru saja bernapas lega, menyelesaikan urusan administrasi untuk neneknya, ketika pundaknya ditepuk dari belakang.

“Apa-- Kau?” Kening Elara mengernyit melihat pria bermata kelabu itu telah ada di belakangnya. “Ada apa lagi?”

“Sekarang kita ke balai kota.”

“Apa? Ini… terlalu sore. Untuk apa ke balai kota?”

“Kita urus pencatatan pernikahan kita.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
NormaJeans
ga sabar dia,,,,,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status