Share

BAB 4 : Telah Diincar Sebelumnya

Sungguh Elara telah pasrah.

Tangannya yang memegang akta pernikahan, sedikit bergetar.

Demi Tuhan, dirinya masih muda dan memiliki begitu banyak mimpi serta hal-hal yang ingin ia lakukan. Tapi saat ini, ia telah menjadi istri seseorang.

Elara melirik pria yang berdiri di sampingnya yang tengah menerima telepon.

Pria itu kembali mengenakan pakaian proyek yang tadi siang Elara lihat. Namun itu sama sekali tidak mampu menutupi kharisma misterius pria tersebut.

Wajah tampannya terlalu angkuh. Dengan rupa sempurna seperti itu --meski ia mengenakan pakaian lusuh sekalipun, wanita mana yang tidak terhipnotis oleh pesonanya?  

Elara terkesiap, pria itu telah mengakhiri teleponnya dan menoleh pada Elara.

“Aku kerja dulu. Mulai hari ini ada satu mulut lagi yang harus kuberi makan. Kau. Setelah selesai urusanku, aku akan kembali ke Rumah Sakit. Sekarang aku akan mengantarmu dulu kembali ke sana.” Tanpa berjeda, pria itu berkata pada Elara.  

“Tidak perlu. Aku akan pergi sendiri. Kau urus saja kerjaanmu,” tolak Elara segera.

Tidak mendebat, pria bermata kelabu itu mengangguk lalu menghentikan taksi yang kebetulan melintas.

Demikian pria itu kemudian menghilang, meninggalkan Elara di depan gedung balai kota.

Elara menengok ke belakang, ke arah gedung itu yang menyisakan sedikit kebingungan di hatinya.

Sepanjang pengetahuan Elara, pelayanan tutup pada jam setengah lima sore, namun saat mereka datang tadi di jam enam, mereka masih disambut dan dilayani.

“Apakah jam pelayanan memang telah berubah?” Kening berkerut Elara hanya bertahan sepersekian detik.

Elara memelihara keheningan sejenak lalu menunduk.

Mata zamrud-nya menatap akta nikah di tangannya. Rasa sedih itu kembali mendera. Semua bagaikan mimpi, ia bukan lagi seseorang yang bebas.

Hanya beberapa detik menikmati kesedihan itu, kepalanya kemudian mendongak, menahan airmata agar tak lolos dari batasnya.

“Ini demi nenek,” bisiknya berkali-kali.

Elara menarik napas dalam dan segera memanggil taksi.

Ia harus segera kembali ke Rumah Sakit dan menemani neneknya.    

* * *

Dhuuaagg!!

“A-ampun Bos! Ampun!!”

Suara pukulan, tendangan bercampur dengan teriakan kesakitan menggema di satu ruangan minim cahaya.

Tampak satu sosok tergantung dengan kedua tangan yang diikat ke atas.

Wajah lelaki yang tergantung itu sudah nyaris tak berupa, bengkak dan lebam dimana-mana disertai warna memerah dari darah segar yang membuat lelaki itu kian sulit dikenali.

Bibirnya yang kering dan pecah, membuka --meratapkan permohonan ampun yang sama sekali tidak dipedulikan oleh tiga sosok bertubuh besar dan tegap di sekelilingnya.

Pintu ruangan berukuran sepuluh kali lima belas meter itu terbuka.

Tampak lelaki bertubuh tinggi besar dan berpakaian kaos hitam ketat dan jas kasual yang mendorong pintu itu terbuka, lalu menyisi --untuk memberikan jalan pada seseorang di belakangnya.

Seseorang bertubuh tinggi dan atletis masuk ke dalam ruangan.

Ia berpakaian proyek yang terlihat kotor, kedua tangannya terselip di saku celana. Santai, namun langkah pelan pria itu terukur dan mengintimidasi.

“Tuan!!”

Suara serempak dan tegas dari tiga orang di dalam ruangan itu, terdengar nyaring. Mereka membungkuk, menghormati kehadiran pria berpakaian proyek itu.

“Tu-Tuan Arion! Maafkan saya! A-Ampuni saya!” Segera ratapan itu kembali terdengar saat lelaki yang tergantung itu mendengar sapaan hormat dari ketiga orang yang mengelilingi dirinya.

Ia sudah tidak bisa melihat --mata yang terlalu bengkak dengan pembuluh darah pecah di sana sini, menjadikannya mengandalkan pendengaran untuk tahu apa yang terjadi.

“Diam keparat!!” Salah satu lelaki di kanannya memukul, memberi peringatan. “Kamu tidak pantas menyebut nama Tuan!”

Arion --pria berpakaian proyek itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar lelaki itu diturunkan.

Segera setelahnya, lelaki itu ambruk tersungkur di lantai dingin dan penuh tetesan darah miliknya.

“Tuan! Tu…an!” Lelaki itu tidak menyerah, ia menggerakkan kedua tangannya dan beringsut mendekat --tentu dengan kepala tertunduk dalam.

Raut wajah Arion tidak berubah, tetap datar dan tenang. Namun aura dingin darinya merebak begitu kuat, membuat suhu dalam ruangan itu seketika seolah menurun drastis.

Lengan pakaian yang ia gulung hingga siku, mengizinkan salur urat lengan yang keras di sana menyombongkan diri.

Aura yang menekan dan sosok Arion yang tanpa kata di sana, justru membuat lelaki itu hampir terkencing di celananya. Kehadirannya sendiri sudah sangat menindas dan membuat seluruh tubuh lelaki itu kian menggigil.

Tahu dengan pasti. Nyawanya ada di tangan Arion.

“Tu-Tuan…”

“Siapa yang menyuruhmu untuk mencelakai Tuan Arion?” Bukan Arion yang bersuara, melainkan Max --lelaki bertubuh tinggi besar dan berkaos hitam ketat, yang bertanya.

“Tidak! Saya tidak bermaksud mencelakai Tuan!! Saya tidak tahu, kalau itu Tuan! Saya-- Errgghh!!”

Lelaki di lantai itu memekik tertahan.

Sepatu Arion membungkam mulut lelaki itu dengan cara menjejaknya kuat.

“Jangan terlalu bertele-tele, katakan dengan benar. Mungkin akan ku ampuni,” ujar Arion dingin. Ia pun melepaskan kakinya dari wajah lelaki itu.

“Sa-saya hanya me-mendapat perintah untuk menabrakkan mobil itu ke arah pengendara motor dengan plat yang tercantum. Saya sungguh tidak tahu Tuan pengendara motor itu. Saya--”

“Cukup,” Arion menyela. Ia lalu membalikkan tubuh dan berkata pada Max. “Bereskan dan buang tubuhnya ke laut.”

“Tuan!! Tidak!! Saya mohon!! Tuan tadi mengatakan akan mengampuni saya! Tuan!!”

Teriakan mengenaskan lelaki itu tidak dihiraukan, dua orang langsung bergerak begitu Max memberi kode. Mereka menyeret lelaki itu yang terus berteriak minta ampun, keluar ruangan.

Max kemudian beralih pada Arion yang telah menyelipkan cerutu di sela bibirnya. Dengan hormat ia mendekat lalu menyalakan pemantik untuk cerutu yang kini digigit Arion.

“Aku masih bermurah hati membiarkan dia langsung mati tanpa siksaan lebih lanjut,” desisnya dengan gigi yang masih menjepit cerutu. “Setidaknya kecelakaan itu membuat keuntungan lain untukku.”

Yang Arion maksud adalah pertemuannya dengan Elara di Rumah Sakit siang tadi.

Itu adalah sesuatu yang di luar rencana Arion semula, namun menghasilkan keberhasilan yang lebih nyata sebelum rentetan rencananya pada gadis itu terlaksana.

Elara telah Arion incar, sejak seminggu lalu ia melihat gadis itu menyelamatkan neneknya yang mengidap Alzheimer, dari berandalan yang mengganggunya.

Nenek Arion lepas dari pengawasan perawatnya dan sempat menghilang.

Saat Arion menemukannya, ia melihat Elara yang mengusir dua berandalan lalu membantu mengobati sang nenek yang terluka akibat didorong jatuh sebelumnya.

Sejak hari itu, keinginan Arion untuk memiliki Elara, muncul.

Dan bukan Arion, jika ia tidak bisa mewujudkan keinginannya itu.  

Arion mengembuskan asap dari cerutu yang ia hisap. Matanya menyipit saat ingatan tentang Elara ia kesampingkan sementara. “Periksa rekening pengkhianat itu. Kita harusnya menemukan sesuatu dari sana.”

Max yang berdiri di sampingnya mengangguk hormat.

Namun detik berikutnya, ponsel Max bergetar.

Ia mengangkat, mendengarkan dan menjawab telepon itu dengan efisien, lalu beralih pada Arion sekian detik berikutnya.

“Tuan, ada masalah di Rumah Sakit.”

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status