Share

BAB 5 : Gilirannya Memenuhi Bagian

“Nenek! Tidaak! Bangun Nek! Kumohon! Jangan tinggalkan aku! Neneek…!” Ratapan pilu Elara terdengar begitu menyayat hati.

Tubuhnya membungkuk, memeluk tubuh kaku sang nenek di atas brankar yang telah ditutupi selimut hingga muka.

Rasa sakit yang bagai mengiris seluruh sisa jiwa dan harapan dalam dirinya, membuat Elara tak henti memohon dalam tangis.

“Neneek…”

Ia tidak ingin ditinggalkan seperti ini.

Ia sudah tidak memiliki siapapun lagi.

Bagaimana ia akan merasa rela ditinggalkan begitu saja oleh seseorang yang paling memerhatikan dan tulus menyayangi dirinya, setelah mendiang ibunya?

“Kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa, maaf kami tidak bisa menolongnya,” Seorang dokter berkata untuk kesekian kalinya pada Elara, sebelum ia akhirnya meninggalkan bangsal tempat Elara dan tubuh kaku Nyonya Willow berada.

Elara tidak lagi menanggapi dokter tadi, karena ia telah menghujani dokter itu dengan puluhan, bahkan ratusan pertanyaan mengapa tindakan operasi yang dilakukan justru membuat neneknya kehilangan nyawa.

Seorang perawat menepuk lembut pundak Elara. “Nona, uruslah administrasi dulu, agar nenek Anda bisa segera Anda bawa dan dimakamkan.”

Bukan perawat itu yang tidak berperasaan. Namun kematian adalah hal yang sering terjadi di dalam lingkungan rumah sakit.

Perawat itu hanya akan memberikan simpati seperlunya, lalu mengingatkan keluarga pasien untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.

Elara mengangguk pelan.

Ia menyusut kedua sudut matanya, mengenyahkan buliran bening yang sejak tadi turun begitu deras dan tidak mampu ia hentikan.

Dengan bertopang pada pinggiran brankar, Elara mencoba bangkit dan berjalan keluar.

Suara penjelasan dokter sebelumnya, bergema dalam benak Elara.

‘Nenek Anda telah lama memiliki komplikasi pada jantungnya, tapi tidak mendapatkan perawatan yang seharusnya. Saat dibawa ke IGD, nenek Anda mengalami aritmia dan terjadi cardiac arrest. Diduga, pemicunya berlangsung sebelum kecelakaan terjadi.’

Langkah Elara terhenti.

‘Pemicunya berlangsung sebelum kecelakaan terjadi.’

Itu adalah saat neneknya datang ke kediaman White dan menerima pengusiran itu.

“Hey.”

Suara teguran pelan menarik Elara dari lamunan dan segera mengarahkan pandangan ke asal suara.

Pria bermata kelabu itu telah berdiri di dekat Elara --entah sejak kapan, menatapnya intens.

“Turut berduka,” Suaranya mengalun pelan, masih dengan nada prihatin. “Biar aku yang mengurus admin-nya dan urusan pemakaman.”

Tanpa sempat menolak, Arion telah berbalik dan meninggalkan Elara berdiri mematung di tempatnya.

Dalam waktu singkat, Elara mendapati Arion telah menyelesaikan segalanya.

Itu di pagi berikutnya, ketika Elara berdiri dan menyaksikan peti jenazah itu diturunkan dan tanah merah menutupinya sempurna kemudian.

Elara hanya memiliki waktu beberapa jam dalam semalam, menemani neneknya dalam tidur abadinya.

Memandangi wajah sang nenek dan mengucapkan salam perpisahan yang terlalu pilu untuk dilisankan.

Dirinya hanya sendiri melalui kehilangan ini.

Tentu, ada seorang pria bermanik kelabu yang menemaninya. Namun ia hanya orang asing yang tiba-tiba menjadi suami Elara.

Bahkan keluarga White, tidak satu pun menunjukkan batang hidungnya menghadiri pemakaman ini --tidak, bahkan Tony sendiri.

“Bahkan bekas menantumu pun tidak datang untuk mengucapkan salam perpisahan, Nek…” Tawa ironi Elara berhembus samar.

Di depan makam Nyonya Willow, Elara berdiri kaku dengan hati yang berselimut hawa dingin.

Kembali, pikirannya mengembara.

Pada perkataan Ruth, pada perkataan dokter dan pada perkataan Tina.

Neneknya melamun saat berjalan keluar kediaman White, setelah mengalami pengusiran itu.

Jika neneknya tidak shock, ia tidak akan mengalami serangan jantung dan kecelakaan. Jika neneknya tidak kecelakaan, maka ia tidak akan meninggalkan Elara!

Karena kecelakaan itu, Elara harus kehilangan keluarga satu-satunya yang tersisa!

Keluarga White.

Ia sungguh-sungguh tidak akan memaafkan setiap orang dari mereka!

* * *    

“Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”

Pria di seberang Elara menatapnya lurus dan tenang. Ia bergeming di tempatnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Dua kancing kemeja teratas yang Arion kenakan, terbuka. Membuat sedikit otot dada yang padat dan keras mencuat terlihat.  

“Dan itu karena…?” Arion menggantung kalimat tanya darinya, membiarkan Elara untuk menyambung.

“Nenek ku sudah tidak ada. Ia tidak terselamatkan. Tidak ada gunanya lagi meneruskan perjanjian itu,” jawaban Elara memenuhi apa yang sudah Arion perkirakan.

Namun demikian, tidak ada satu senyuman tercetak di wajah pria bermata kelabu itu.

Seluruh tubuhnya terlihat santai, namun entah mengapa, Elara merasakan satu himpitan dan tekanan yang begitu kuat menerpa dirinya dari sorot main-main pria itu.

“Aku bahkan belum mengetahui namamu hingga saat ini. Kita hanya dua orang asing.” Bagaimanapun gadis itu juga tampak bersungguh-sungguh.

“Arion,” kata pria itu.

“Apa?”

“Namaku. Aku Arion Ellworth.”

Elara termenung. Bukan respon seperti ini yang ia harap akan ia dapatkan dari pria bermata kelabu di hadapannya itu.

“Sayangnya Nona Elara,” Bibir sensual pria pemilik manik kelabu itu membelah. “Kau tidak akan bisa melakukan itu.”

“Berhenti jadi istriku? Kau tidak akan melakukannya,” lanjut Arion.

“Kenapa tidak mungkin?” Kedua alis Elara menukik. “Aku yang memintanya, dan akan kulakukan!”

“Tidak akan.”

“Tidak usah berbelit-belit, lebih baik kita sekarang juga ke balai kota untuk menghentikan perjanjian konyol ini!”

“Jika kita berpisah atas keinginanmu, kau akan membayar sejumlah uang.”

Elara terdiam dan kepalanya tertekan mundur. “A-apa kau bilang?”

“Aku bilang, kau tidak bisa berhenti jadi istriku, karena dalam perjanjian ini kau harus membayar satu miliar dolar jika meminta pisah dariku.”

Letupan hebat terdengar dalam lorong pendengaran Elara.

Detik bergulir, Elara masih terpancang di tempat --terperangah menatap pria bermata kelabu di hadapannya.

Kedua manik zamrud-nya perlahan merangkak turun, berhenti tepat ke satu dokumen yang kemudian diletakkan Arion di atas meja.

Entah dari mana --Elara tidak menyadarinya tadi.

“Bacalah dengan baik.” Arion mengetukkan jari telunjuknya di atas lembaran kertas itu.

Untuk sesaat, Elara terlihat seksama menatap lembaran itu sebelum kemudian ia menyambarnya dari meja dan menyusuri huruf demi huruf yang menyebutkan klausul tentang perpisahan mereka dan sejumlah uang yang disebutkan Arion sebelumnya tadi.  

Elara selesai membaca berulang alinea tersebut, bibirnya bergetar samar saat ia mengutuk Arion penuh dengan rasa jijik. “Ka-kau… licik!”

“Kau sudah tahu itu dari awal. Kenapa masih kaget?” ujar Arion ringan, namun dampaknya membuat Elara nyaris sesak napas karena tergerus amarah.

“Hidup atau matinya nenekmu tidak ada urusan dengan kesepakatan kita, Nona Elara,” Suara rendah nan dalam Arion kembali memenuhi pendengaran Elara.

Itu suara yang sungguh indah dan seksi --demi apapun, jika saja pria itu menggunakannya untuk mengeluarkan kata-kata yang terdengar lebih menyenangkan.

Tapi bukan seperti itu yang selanjutnya terjadi.

Dengan tatapan dalam yang menyesatkan, Arion kembali berkata.

“Aku sudah memenuhi bagianku, tinggal kau memenuhi bagianmu.” Ia menatap lekat kedua manik zamrud di hadapannya. “Tidur denganku.”

* * *

Komen (21)
goodnovel comment avatar
reefisme
Oke siapp kak Latifa ^,^
goodnovel comment avatar
reefisme
Siap laksanakan kak Yanti.... ^,^ Temani terus yaa
goodnovel comment avatar
reefisme
Asiapp kak Widia... ^,^
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status