Rendi baru saja tiba di UKLAKA saat mobil Lara mulai masuk ke depan pintu pagar. Mengingat Ari tak pulang semalam, membuatnya lekas mengejar untuk mendapat informasi aktual.
Sayangnya, saat mobil telah terhenti tepat di samping aula utama, pada parkiran khusus orang-orang penting di sana, bukan Lara yang turun. Sosok itu tak pernah dilihat Rendi sebelumnya. Ia mendekat, demi melihat pada kabin yang lain.
"Cari siapa, lu?" tanya Lalita.
"Ari. Eh, maksud gue, Lara ke mana?"
Mendengar dua nama disebut bersamaan, sontak Lalita mendekat. "Elu siapa?"
"Gue Rendi. Adiknya Ari. Di mana Ari?"
Lalita terkesiap. Tampang keduanya tak sama. Dilihatnya Rendi dari ujung kaki hingga kepala. "Gue nggak yakin elu adiknya."
"Tanya aja sama Lara. Ari ke mana? Lara?"
Melihat tingkah Rendi yang tampak akrab dengan Lara, Lalita pun me
"Ngapain di sini?"Pertanyaan pertama yang dilempar Lara setelah melihat sosok Rendi berada di kamarnya. Ia menatap, begitu nyalang. Seolah-olah tengah menangkap basah seorang pencuri atau bahkan kriminal lainnya."Gue nungguin," ujar Rendi. Dagunya diangkat sebentar."Nungguin gue?" tanya Lara penuh penekanan."Lah, ngapain juga gue nungguin elu? Itu, tuh. Gue nungguin Ari!"Sontak saja, Lara mengalihkan pandang pada posisi kanan ranjang. Di sampingnya, Ari tampak tidur pulas dengan wajah pucat pasi.Perlahan lengan Lara mendekat hingga mendarat di kening Ari. Namun, cepat pula ia kembali menarik diri. "Panas."Lalita yang mendengar percakapan Rendi dan Lara dari luar pun segera masuk. "Gue yang nyuruh Rendi mindahin Ari ke dalem. Di luar dingin, Ra. Kesian. Pagi tadi, dia menggigil. Mungkin, panasnya nggak turun semaleman." 
Lara bergeming. Ia masih tak habis pikir bahwa Tarissa berbuat sejauh ini. Ia bahkan tak pernah menduga, bahwa kawannya itu akan mengincar hal lain selain Ari."Jadi gimana?"Pertanyaan Lalita kian membuat Lara berpikir keras. Ia bahkan tak lagi peduli dengan sosok pria yang mulai mengerjap.Ari menatap Lalita dan Lara secara bergantian. Meski baru bangun dan membuka mata, ia telah mendengar semua cerita yang diurai."Dia cuma sakit hati karena ngerasa dikhianati." Ari menjeda kalimatnya saat dua gadis itu menatapnya serius. "Solusinya ya cuma dengan cara nyembuhin hati."Lalita menjentikkan jemarinya di hadapan Lara. "Intinya, balikin Ari buat nyegah dia biar nggak macem-macem!"Ari mengangguk, lalu mulai duduk saya baru sadar rencana yang dilontarkan Lalita. "Eh, bukan itu juga maksudku!"Lara membingkai wajahnya, lalu menatap Ari lekat
Rendi dan Ari baru saja tiba saat jam menunjuk ke angka sepuluh. Perjalanan yang tak memakan banyak waktu membuat keduanya lebih cepat sampai ke tempat yang dituju.Ari telah merebahkan tubuh, sembari sesekali membingkai dagu. "Aku seganteng ini, ta, tibakno?"Rendi yang mendengar monolog Ari pun mencebik. "Nggak usah bangga. Mereka berantem gegara elu. Harusnya elu nggak boleh lari, Ri."Ari hanya mendecih. Mau saja jika ia mengumpati sang adik tiri, tetapi ia masih ingin berpikir jernih. Jika ia menceritakan semuanya, sama saja ia membuko borok sendiri."Aku cuma nggak mau jadi kambing congek, Rend. Dioper sana, oper sini. Nggak semua yang keliatannya gampang itu beneran mudah. Adakalanya, kita juga mesti nolak yang namanya jalan pintas.""Jadi sekarang udah beneran sadar? Ato cuma karena si Lara?"Ari menggeleng, lalu diraihnya air mineral dalam kemasan ya
"Ra, mending elu ngomong lagi sama Ari. Dari cerita elu, gue yakin dia juga suka sama elu."Lara masiu terlihat mondar-mandir sembari mengigit ujung kukunya bergantian. "Ini bukan masalah sukanya, Ta. Ini tentang nyawa. Tarissa Udai berbuat sejauh ini. Dan itu yang bikin Ari nolak! Bukan cuma gegara apa.""Elu tau apa kelemahan Ari. Jadi seenggaknya elu bisa neken dia sebentar, Ra."Lara menggeleng, enggan mengikuti saran dari sang kawan. "Enggak segampang itu. Gue kenal Ari. Dia orang yang berpegang teguh sama apa yang dia mau.""Termasuk kalo elu yang jadi taruhannya?" Pertanyaan Derisca membuat Lara dan Lalita mendelik heran."Elu ngomong apa, Der?" Kini, Lalita menuntut jawab."Kalo suka, dia pasti nggak rela Lara kenapa-kenapa. Kalo Ari nggak mau, itu tandanya dia nggak suka sama elu, Ra."Lara mengangguk. Derisca benar. "Tapi ini bu
"Ari! Ngapain di sini?" Lalita tak habis pikir. Pria di depannya itu masih dalam kondisi buruk saat pulang tadi, tetapi kini ia telah kembali duduk di sofa dudukan tiga."Tak pikir-pikir, mending aku bantuin kalian."Lalita menepuk dahinya pelan. Ia menyayangkan sikap Ari yang terlambat mengambil keputusan, tapi juga berterimakasih karena telah bersedia berkontribusi untuk menyatukan Eiffor."Ini bukan apa-apa. Maksudku, aku gini ya karena nggak suka aja ada yang betengkar gegara aku. Jangan kepedean, ya!"Ari menekankan kalimat terakhirnya, berharap ada sosok lain yang menimpali. Ia celingukan saat tak mendapat sahutan."Lara pergi."Sontak, Ari bangkit. Lantas berjalan menuju ke kamar Lara di lantai dua. Benar saja. Kosong. Bahkan tak ada siapa pun kini."Ke mana?""Kafe Ungu. Dia ketemuan sama Tarissa."&nbs
Ari telah sampai di kafe Ungu, tetapi dua perempuan itu sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Telah berulang kali ia menyisir demi memastikan memang tak tertinggal sesenti pun. Sayangnya, mereka memang tak ada di sana.Ari frustrasi. Ia duduk di salah satu sofa berpunggung tinggi. Ia lelah. Bahkan keringat telah memandikan dirinya di siang yang terik ini.Sontak, Ari ingat. Daripada harus mencari bukankah lebih baik menghubungi? Lantas, dipanggilnya nomor Tarissa berulangkali. Sayangnya, nomor itu berada di luar koneksi.Ari menyugar rambutnya dengan gusar. Ia tak lagu tahu harus bagaimana sekarang. Perlahan tapi pasti, ia mulai tertawa. Lantas, meminta minuman untuk melegakan kerongkongan.Sementara itu, Lara telah ditawan oleh Tarissa. Diikatnya sang kawan pada kaki-kaki meja. Kedua tangannya bebas, tapi tak akan mampu meraih tali temali untuk meloloskan diri.Lara paling
Ari makin frustrasi, tetapi ia menyadarkan diri untuk tak minum minuman beralkohol tinggi. Ia butuh kendali penuh atas dirinya sendiri untuk berpikir jernih.Hingga sebuah panggilan menuntut jawab. Ia melirik ponselnya. Tarissa.Tanpa aba-aba, Ari menerima panggilan itu setelah meredakan gejolak dalam dadanya yang bertalu. "Iya, Tar?""Elu di mana, Ri?"Ari berpikir sejenak. Beruntung, kafe ini tak sedang riuh tamunya hingga tak menunjukkan eksistensi yang akan terdengar ke seberang sana. "Di rumah. Kenapa, Tar?"Lama keduanya dipasung senyap. Dada Ari berdetak lebih cepat, membuatnya kian tumpat. Ia tak tahu bagaimana kondisi Lara yang mungkin berada di tangan Tarissa."Hei? Kalo nggak ngomong matiin aja."Ari mencoba memancing. Ia memikirkan cara lain. Mungkin ada jalan ke luar dari permasalahan ini tanpa harus menceburkan diri ke luban
Ari baru saja tiba ke kosnya saat ponselnya berdering nyaring memekakkan telinga. Pelan, diangkatnya nama yang tertera di layar. Tarissa."Baru juga tadi ketemu. Ada apa lagi?"Entah mengapa, euforia dalam hatinya berbeda dengan saat Lara yang menghubungi. Tak ada degup yang dirasa menyenangkan saat mendapati nama Tarissa di layar ponselnya."Elu siap-siap, ya. Besok, mau atau enggak elu mesti pindah dari sana. Gue udah nyiapin semua yang elu butuhin. Jam 7 pagi."Ari menghela napas panjang. Kali ini, ia yang menjadi korban atas keterpaksaan. Inikah karma instan di dunia?"Iya."Seketika panggilan telepon terputus begitu saja. Direbahkannya diri ke ranjang, lantas mengingat betapa beberapa hari terakhir ini adalah yang paling menyenangkan momentnya selama mengenal Lara.Ia merubah posisi tidurnya hingga miring ke arah tempat yang biasa di