Dalam rest room, dua dara yang cantik jelita baru saja terlibat adu mulut. Meski tak benar-benar sampai bertengkar, tapi keduanya masih membentang jarak untuk sekadar saling menerima.
"Elu kena pelet di mana?" tanya Lalita.
"Mending elu tarik semua ucapan elu buat Ari!" Lara masih melipat tangan di dada. Rahangnya mengeras, meski tak lagi ada nada penekanan dalam perintahnya.
"Gue ini sobat elu dari kecil, Ra, gue tau siapa elu, gue tau semua tentang elu, Ra! Ini bukan elu sepenuhnya!" Di balik punggung Lara, Lalita mengacungkan telunjuk untuk melampiaskan tiap emosinya yang membara.
Lara yang duduk menghadap ke cermin dinding enggan menimpali acungan Lalita. Ia lebih fokus pada pernyataan yang mencemarkan nama pria yang kini merajai jiwa. "Nggak ada yang pernah tau sedalam apa lautan, Ta. Elu semua, Eiffor, emang kenal gue dari dulu. Tapi, nggak pernah tau gimana hati gue sejak dulu!"
<
"Enggak, Ta, elu tau sendiri gue kek gimana. Gue nggak akan berhenti. Gue ... gue mulai kecanduan sama kehadiran Ari, Ta," aku Lara pada kawan karibnya.Kini, Lalita makin merasa berada di jalan buntu. Ia berniat datang ke Universitas Kalang Kabut untuk menyelesaikan masalah Lara dan Tarissa, malah mendapat fakta yang membuatnya senang sekaligus sengsara."Kalo Lara Ama Tarissa sama-sama suka sama itu montir, bakal makin ribet ntta urusan."Gumaman Lalita menyiratkan banyak kegelisahan. Apalagi, ia tahu betul, kedua kawannya itu sama-sama keras kepala. Tak akan ada yang pernah mau mengalah. Terlebih Lara. Siapa pula yang mau merasakan sakitnya cinta?Lara sudah tenang seperti sebelumnya saat terik matahari berganti gulungan awan hitam. Ponsel Lara menyalak, menuntut jawab sang empunya. Namun, ia enggan untuk sekadar menerima panggilan.Lalita yang merasa tak enak, langsung meliri
Di tengah guyuran hujan untuk kali pertama, Rendi kembali memikirkan Lara. Melihat gadis secantik itu menangis sebenarnya membuat Rendi ikut teriris. Ia teringat kembali sosok sang bunda.Sedikit banyak, ia ingat bagaimana bundanya menjadi sosok lain pada sebuah ikatan resmi. Menjadi penghalang kebahagiaan keluarga kecil Ari.Hal itu pula yang terus menghantui Rendi. Rasa bersalah terus mengantarnya agar selalu menyayangi sang kakak. Memberi kembali kasih sayang keluarga yang sempat diambil paksa.Walaupun Rendi tahu itu bukan kesalahan sang bunda, tetapi membiarkan dirinya tetap berada di jalan yang sama setelah mengetahui kebenaran yang ada sebuah kesalahan. Demi ia, bunda rela dicap menjadi penggoda.Rendi telah sampai di rumah indekostnya saat Ari juga terlihat baru menutup pintu kamar. Diliriknya jam tangan saat menyadari ini bukanlah jam pulang kerja."Tumben jam segini uda
Ari baru saja merebahkan diri di ranjangnya saat terdengar guyuran air yang menyiram kepala. Ya, akibat ulah Rendi yang masuk tanpa izin membuat kamarnya sedikit banjir. Terang saja, ia harus bekerja ekstra untuk mengeringkan lantai agar tak terjadi kecelakaan kecil.Beruntung, hari ini ia sama sekali tak bekerja. Jadi, tenaganya masih belum terkuras. Hanya saja, kepalanya terasa begitu nyeri sekarang."Keknya efek ujan-ujan, ini."Seketika perut Ari menyalak meminta jatahnya untuk sekadar diisi dengan segenggam nasi atau bahkan mi instan berkuah pedas.Tanpa menunggu, Ari menderap langkah ke arah dapur umum: menjerang air, lalu meraih empat mi instan sekaligus."Satu mana greget. Apalagi abis kerja rodi," monolog Ari.Ia sudah mensejajarkan dua mangkuk besar, serta meracik bumbu pada masing-masing wadah. Sembari menunggu air mendidih, Ari mencoba menonton te
Dua kakak beradik itu sudah menghabiskan semangkuk mi instan berkuah pedas saat mereka telah berpisah. Rendi yang memilih ke luar dari kamar sang kakak setelah mendapat banyak penjelasan, telah merebahkan diri ke ranjangnya. Hal serupa dilakukan oleh Ari pula.Kantuk yang menyergap keduanya usai merasa puas dengan santapan, belum juga berhasil membuat mata memejam. Terlebih, saat keduanya mengingat percakapan yang mengisi waktu bersamaan dengan menyeruput panjangnya mi instan."I-itu, milik pacarku tadi, Ren," aku Ari sembarangan. Ia sendiri tak yakin itu milik siapa. Yang pasti, sebelum ini ia tak pernah memasukkan wanita mana pun kecuali Lara pagi buta tadi.Rendi masih mengeratkan rahang. Ia mencoba menetralkan emosi yang hampir meluap entah karena apa. "Gue kenal ini cardi, Ri."Ari mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menarik Rendi untuk duduk di sofa. Disodorkannya mi instan jumbo agar segera disant
Lara baru saja bangun saat ponselnya menyalak. Nama 'Montir Beloved', terpatri di layar lima inci-nya.Sontak saja, Lara menguatkan diri untuk langsung beranjak bangun. Diminumnya segelas air sebelum akhirnya menerima panggilan dari sang kekasih.Sembari bersandar pada bahu ranjang, Lara memainkan bola matanya ke atas. "Iya, RI? Kenapa pagi-pagi gini telepon?""Koe lupa kemaren ngomong apa?" tanya Ari antusias.Lara yang baru bangun hanya mampu menggumamkan mulut tak jelas. Ia mencoba mengingat apa yang akan dilakukan, yang pernah dikatakannya pada Ari. Memoarnya pun mulai memutar kejadian kemarin."Kita harus jadi kekasih, Ri!" tegas Lara. Keinginan yang merangkap perintah itu sama sekali tak diberi celah untuk ditolak mentah.Ari hanya menganga mendapati kejadian serupa yang ia lakoni lebih dari dua bulan sebelumnya. Bukan hanya masalah hati kini, tetapi ju
"Elu kenapa ngindarin gue?" Pesan dari Tarissa telah dibuka sejak sejam sebelum Ari mulai menelepon Lara. Susah baginya untuk menghalau rasa pada gadis yang tatapannya telah dipuja sejak hari kedua bekerja. Ada hasrat menggebu yang terus dipendam Ari sejak saat itu. Sayangnya, ia tak tahu pasti rasa apa yang membuatnya memuja dua bola mata selegam malam milik Tarissa. Sudah berulang kali Ari menulis balasan, lalu kembali menghapusnya kala ancaman Lara mengiang di telinga. Ia tak ingin mengecewakan wanita, tetapi juga tak ingin kehilangan kesempatan untuk masa depan yang cerah. Akhirnya, dengan susah payah Ari menghapus pesan yang ada. Lantas pergi ke luar kamar demi mencari sesuap nasi untuknya dan Rendi. Beruntungnya, di pagi hari pada jam yang sama, sebuah mobil bak terbuka dengan meja dan etalase panjangnya selalu berhenti di ujung gang. Ialah penjual makanan khas Mi
"Maksudnya, elu udah nggak mau ngebuat Lara balik ke Eiffor? Elu mau ngebiarin dia dimanfaatin sama Ari?"Pesan itu terus masuk ke dalam ponsel milik Lalita. Sang empunya enggan untuk membahas lebih jauh terkait rencana sebelumnya. Bagaimanapun juga, ia sendiri sudah mengerti watak Tarissa yang sebenarnya."Udah, bales aja kalo emang mau ngebales," saran Lara.Sudah puluhan kali ponsel Lalita berdering, menyalak minta sang empunya mengangkat. Tiap kali pula, kawan karibnya selalu memberi saran yang sama. Sayangnya, ia sudah terlanjur patah hati.Sepeninggal Lara yang ditendang dari grup Eiffor, tiga dara itulah yang menguasai. Mereka berencana membuat Lara kembali seperti semula. Jauh sebelum Lalita tahu siapa jati diri sosok yang diikuti perintahnya."Kagak, Ra. Gue tetep nginep sini, ya! Sampek keadaan membaik," pinta Lalita.Bukan perkara keselamatan atau
Mini Cooper warna hijau metalik milik Lara telah membelah jalanan bebas hambatan penghubung antarJawa. Jam baru menunjuk ke angka sebelas, saat Ari mulai menepikan laju mobil menuju ke area peristirahatan."Aku capek, Ra, kita berenti bentar, ya?"Lara tak menyahut. Ia lebih sibuk memandang hal yang bahkan belum pernah dibayangkan sebelumnya. Tangannya yang menumpu dagu, sama sekali tak kebas meski telah dua jam berada di posisi yang sama.Ari tak perlu menunggu jawaban Lara, ia hanya butuh minum dan istirahat sebentar. Walaupun ia seorang montir, tetapi berkendara jauh bukanlah hal yang bisa ia lakukan dengan santai.Mesin mobil telah berhenti menderu ketika Ari mulai merenggangkan tubuh. Ia masih belum sadar bahwa Lara masih terpaku. Entah mengapa, ia tak ingin atau lebih tepatnya berusaha menghindari tatapan Lara sejak kejadian pagi tadi."Ngapain, Bos?!"